Penjelasan Seputar Sejarah
dan Fiqih Gerhana
Oleh: Ibnu Zahid Abdo el-Moeid*
Shalat wajib 5 waktu disyariatkan saat
peristiwa Isra' dan Mi'raj. Adapun Isra' dan Mi'raj terjadi pada hari Senin
Legi tanggal 27 Rajab –3 H (hijriah)/19 Maret 619 M (masehi). Sebagian riwayat
mengatakan 16 bulan sebelum hijrah, sebagian lagi mengatakan 5 tahun sebelum
hijrah. Sedangkan shalat gerhana baru disyariatkan 6 tahun 2 bulan setelah
Isra' dan Mi’raj. Shalat gerhana disyariatkan pertama kali pada tahun ke-5
hijrah, yakni ketika terjadi gerhana bulan total pada malam Rabu 14 Jumadal
Akhirah 4 H, bertepatan dengan 20 November 625 M.
Sejak disyariatkannya shalat gerhana, 14
Jumadal Akhirah 4 H/20 November 625 M sampai Rasulullah SAW wafat pada hari
Senin Legi, 14 Rabi’ul Awal 11 H/8 Juni 632 M terjadi 3 kali gerhana matahari
dan 5 kali gerhana bulan. Menurut riwayat, Rasulullah SAW wafat tanggal 12
Rabi’ul Awal. Lebih detalinya gerhana yang terjadi dalam kurun waktu tersebut
berdasarkan perhitungan hisab tadqiqi, lihat tabel di bawah.
Sejak disyariatkannya shalat gerhana sampai
beliau wafat, Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana hanya dua kali. Yang
pertama saat gerhana bulan, 14 Jumadal Akhirah 4 H yang bertepatan dengan 20
November 625 M; dan yang kedua saat gerhana matahari, 29 Syawal 10 H yang
bertepatan dengan 27 Januari 632 M. Namun di dalam kitab Syarah Shahihul
Bukhari Liibnil Bathal disebutkan bahwa Rasulullah SAW shalat gerhana
beberapa kali.
Kenapa Rasulullah hanya shalat satu kali
gerhana bulan dan satu kali gerhana matahari, padahal setelah disyariatkannya
shalat gerhana, menurut hisab masih terjadi 4 kali gerhana bulan dan 3 kali
gerhan matahari? Memang betul secara hisab terjadi beberapa kali gerhana bulan
dan matahari namun waktu terjadinya gerhana bulan maupun matahari terlalu dekat
dengan terbit dan terbenamnya bulan atau matahari, sehingga waktunya sempit.
Berikut sedikit uraian kronologi gerhana yang
ada di tabel atas.
1. Enam bulan setelah
gerhana bulan yang pertama kali disyari'atkan tepatnya 15 Dzulhijjah 4 H/17 Mei
2626 M terjadi gerhana bulan parsial namun waktunya menjelang shubuh dan
beberapa saat setelah shubuh bulan tenggelam dalam keadaan gerhana.
2. Sebelas bulan
berikutnya tepatnya 29 Dzulqo'dah 5 H/21 April 627 M terjadi gerhana matahari,
namun persentasi piringan matahari yang tertutup hanya 5 persen, kemungkinan
besar tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
3. Sebelas bulan
kemudian tepatnya 14 Dzulqo'dah 6 H/25 Maret 628 M terjadi gerhana bulan dengan
persentasi gerhana 31 persen namun terjadi saat-saat maghrib. Awal gerhana
terjadi sebelum bulan terbit, sehingga saat terbit, bulan sudah dalam keadaan
gerhana, lalu beberpa menit sebelum waktu isya', gerhana sudah berakhir.
4. Enam bulan
berikutnya tepatnya 29 Jumadal Ula 7 H/3 Oktober 628 M terjadi gerhana
matahari, namun persentasi piringan matahari yang tertutup hanya 12 persen.
kemungkinan besar tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Awal gerhana
terjadi sebelum matahari terbit dilihat dari Madinah, sehingga saat terbit, matahari
sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberpa menit setelah matahari terbit,
gerhana sudah berakhir.
5. Lima bulan
berikutnya tepatnya 14 Dzulqo'dah 7 H/15 Maret 629 M terjadi gerhana bulan
total di tengah malam. Bulan Maret adalah mulai berakhirnya musim dingin.
Aktifitas malam masyarakat Arab masih rendah karena beberapa hari sebelumnyah
suhu udara masih dingin. Disamping itu sisa-sisa mendung kemungkinan masih
banyak sehingga bulan yang sedang gerhana luput dari perhatian masyarakat
Madinah saat itu, selebihnya wallohu A'lam.
6. Dua belas bulan
berikutnya, tepatnya 15 Dzulqo'dah 8H/4 Maret 630 M terjadi gerhana sebagian
dengan persentasi puncak gerhan sekitar 68 persen, namun terjadi saat-saat
maghrib. Awal gerhana terjadi sebelum bulan terbit, sehingga saat terbit, bulan
sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberapa menit (23 menit) setelah matahari
terbenam (waktu maghrib) gerhana sudah berakhir.
7. Duapuluh tiga
bulan berikutnya tepatnya 29 Syawal 10 H/27 Januari 632 M terjadi gerhana
matahari dengan persentasi puncak gerhana 82 persen. Bertepatan dengan
peristiwa gerhana tersebut, tepatnya malam hari sebelum gerhana, Sayyid Ibrohim
putra Rasulullah SAW dari ibu Maria Al-QIbtiyah wafat. Pada saat gerhana
matahari inilah pertama kali sekaligus terakhir kalinya Rasulullah SAW
melaksanakan shalat gerhana matahari.
Kontroversi Gerhana Matahari Zaman Nabi
Ketika terjadi gerhana, kita pasti teringat
akan wafatnya sayyid Ibrohim, putra Rasulullah SAW dari Maria Al-Qibtiyah binti
Syam’un (Istri Jariyah rosul hadiah dari penguasa Mesir, Juraij bin Mina
Al-Mukaukis) yang wafat saat terjadi gerhana matahari, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits :
عن عبد الرحمن بن حسان بن ثابت عن أمه سيرين قالت : حضرت موت إبراهيم
ابن النبى صلى الله عليه وسلم فكسفت الشمس يومئذ فقال الناس : هذا لموت إبراهيم
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :« إن الشمس لا تنكسف لموت أحد ولا لحياته ».
ومات يوم الثلاثاء لعشر خلون من ربيع الأول سنة عشر
Dari Abdurrohman bin Hasan bin Tsabit
dari ibunya Sirin katanya:“Saya telah menghadiri kematian Ibrahim putra
Rosululooh SAW. Dan pada hari tersebut terjadi gerhana matahari. Lantas orang
pada kasak-kusuk bahwa gerhana tersebut terjadi karena wafatnya Ibrohim,
kemudian Rasulullah SAW bersabda “ Sesungguhnya matahari dan bulan itu dua
tanda dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, tidaklah keduanya gerhana karena mati
atau hidupnya seseorang. Beliau wafat pada hari Selasa, 10 hari dari bulan
Rabi’ul Awal tahun 10 H.
Menurut riwayat yang kuat menyebutkan bahwa
gerhana matahari yang bertepatan dengan wafatnya sayyid Ibrohim terjadi pada
tanggal 10 Rabi’ul Awwal 10 H sementara menurut riwayat lain menyebutkan bulan
Romadlon dan bulan Dzulhijjah, bahkan ada yang menyebutkan terjadi pada saat
penjanjian hudaibiyah.
Hal ini sangat anomali dengan kaedah hisab
yang mana gerhana matahari mestinya terjadi pada pada akhir bulan qomariyah (penileman)
yakni saat ijtimak/konjungsi, sedangkan gerhana bulan terjadi pada saat
purnama/badr.
Dari penelusuran hisab, sejak tahun 8 (tahun
lahirnya sayyid Ibrohim) sampai 10 hijriyah hanya terjadi satu kali gerhana
matahari, yaitu gerhana cincin yang terjadi pada hari Senin Pon, 29 Syawal 10
H, bertepatan dengan 27 Januari 632 M, terjadi pada pagi hari jam 07:15 dan
berakhir pada jam 09:53. waktu Madinah. Dengan demikian maka kemungkinan besar
wafatnya sayyid Ibrohim adalah malam Senin, 29 Syawwal 10 H.
Lalu bagaimana dengan riwayat yang
menyebutkan terjadi pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal 10 H? Riwayat tersebut
tidaklah salah karena saat itu masyarakat Arab belum mempunyai kalender baku
yang menjadi patokan syar’i secara umum. Saat itu sistem kalender masih sering
berubah, kabilah Arab seringkali menambah atau mengurangi bilangan bulan dalam setahun
untuk kepentingan perang, kadang dalam setahun ada 13 bulan. Kalender qomariyah
mulai tertib setelah nabi menyampaikan ayat ke 36 surat At-Taubah pada waktu
khutbah hari Tasyrik di Mina.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي
كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ (التوبة 36)
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus” (At-Taubah 36)
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ
كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا
حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ
أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (التوبة 37)
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan
haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan
mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan
mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan
bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang
buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”
(At-Taubah 37)
Sebelum ayat tersebut turun, kalender bulan
qomariyah diselaraskan dengan kalender syamsiyah sehingga dalam 3 tahun
terdapat tahun yang jumlah bulannya 13 bulan. Sebelum dan sa’at berkembangnya
Islam di jazirah Arab, baik kalender Qomariyah (Lunar Calendar) maupun
Syamsiyah (Solar Calendar) sudah dikenal akan tetapi belum ada patokan tahunnya
serta kaidah-kaidah yang baku yang menjadi ketetapan kalender sehingga baik
awal tahun maupun awal bulan serta jumlah bulan dalam setahun tidak beraturan.
Baru pada masa kholifah Umar bin Khottob
beliau mengumpulkan segenap sahabat serta elit-elit pemerintahan pada hari Rabu
20 Jumadil Akhir tahun 17 dari hijrah yang bertepatan dengan 8 Juli 638 M,
untuk membahas perlunya sebuah kalender yang baku. Akhirnya disepakati sebuah
kalender yang berbasis bulan, Lunar System. Diputuskan bahwa awal tahun hijri
dimulai pada sa’at nabi berangkat hijrah ke Madinah yaitu tahun 622 M sedangkan
awal bulannya dimulai dari Muharrom, karena pada sa’at itu berakhirnya
aktivitas ibadah haji dan menuju kehidupan yang baru. 1 Muharrom 1 H bertepatan
dengan 16 Juli 622 M tepat pada hari Jum’at Legi.
Hukum Shalat Gerhana
Menurut Jumhurul Ulama’, shalat gerhana, baik
gerhana matahari maupun bulan hukumnya sunnah muakkadah, sunnah yang sangat
ditekankan, seperti Shalat Hari Raya. Menurut pendapat Malikiyah dan Hanafiyah
untuk gerhana bulan sunnah mandubah berbeda dengan shalat gerhana matahari yang
menurut mereka sunnah muakkadah. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa hukum shalat
gerhana adalah fardlu kifayah seperti shalat jenazah.
Firman Allah di dalam Al-Qur'an :
وَمِنْ
آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا
لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ
إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (فصلت 37)
Artinya : Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah engka sembah
matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah
yang kamu hendak.(QS. Fushshilat : 37)
Maksud dari perintah Allah SWT untuk bersujud
kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan
shalat gerhana matahari dan gerhana bulan. Di dalam hadits disebutkan:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ
يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا
فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
Artinya : Sesungguhnya matahari dan
bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi
gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati
gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga gerhana pulih kembali.
(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Shalat gerhana disunnahkan dilakukan secara
berjama'ah, lebih utama lagi dilaksanakan di masjid. Disunnahkan mandi sebelum
berangkat shalat gerhana. Tidak disunnahkan adzan dan iqomah ketika akan
melaksanakan shalat gerhana, tetapi cukup dengan seruan "Asshalatu
Jami'ah".
Imam shalat gerhana disunnahkan dengan suara
keras saat membaca Al-Fatihah dan Surat untuk gerhana bulan dan dengan suara
lirih untuk gerhana matahari. Menurut madzhab Hambali, Khottobi dan Ibnu
Mundzir disunnahkan keras juga pada shalat gerhana matahari.
Tata cara shalat gerhana sebagai
berikut:
1. Dikerjakan dengan
2 (dua) rokaat seperti shalat sunnah biasa, tanpa rukuk dua kali. Bahkan tidak
syah jika dilakukan dengan 2 kali berdiri dan 2 kali rukuk menurut pendapat
imam Abu Hanifah.
2. Dikerjakan dengan
2 rokaat, didalam setiap rokaat 2 kali berdiri membaca Al-Fatihan dan surat dan
2 kali ruku' tanpa memanjangkan bacaan surat setelah Al-Fatihah saat berdiri,
serta tanpa memanjangkan bacaan tasbih di dalam ruku' dan sujudnya.
3. Dikerjakan dengan
2 rokaat, didalam setiap rokaat 2 kali berdiri dan 2 kali ruku'. Pada setiap
rokaa't setelah membaca Al-Fatihah membaca surat yang panjang, lalu ruku' dan
membaca tasbih yang panjang, lalu berdiri membaca Al-Fatihah lagi, lalu membaca
surat yang panjang namun tidak sepanjang surat sebelumnya, lalu rukuk kembali dan
membaca tasbih yang panjang, lalu I'tidal, lalu sujud dua kali dengan
memanjangkan tasbih, sujud yang pertama lebih lama daripada sujud yang kedua.
Kemudian berdiri untuk roka'at yang kedua dengan tata cara seperti roka'at
pertama. Bacaan surat dan tasbih pada roka'at yang kedua lebih pendek dari pada
roka'at yang pertama.
Dari ketiga cara di atas yang paling utama
adalah nomor tiga.
Setelah selesai shalat disunnahkan khutbah
dua kali jika dilakukan secara berjama'ah, jika shalat sendirian tidak disunnahkan
khutbah. Namun menurut imam Ahmad, Abu Hanifah, dan Abu Yusuf tidak disunnahkan
khutbah walaupun berjama'ah. Di dalam khutbahnya disunnahkan menyeruhkan taubat
dari maksiat, memperbanyak shodaqoh, berbuat kebaikan, memperbanyak dzikir,
do'a dan istighfar.
Jika gerhana berbarengan dengan shalat
janazah maka didahulukan shalat janazah. jika berbarengan dengan shalat fardu
dan shalat Id maka didahulukan shalat gerhana jika waktu shalat fardlu masih
luas tetapi jika takut waktunya shalat fardlu habis maka didahulukan shalat
fardlunya daripada shalat gerhana. Apabila berbarengan dengan shalat Jum'at
jika waktunya masih luas maka didahulukan shalat gerhana lalu khutbah Jum'at
sekaligus khutbah gerhana. jika gerhana berbarengan dengan shalat taroweh dan witir
maka didahulukan shalat gerhana walaupun dikhawatirkan tidak cukup waktu untuk
shalat taroweh maupun witir.
Kapan makmum masbuq terhitung
mendapatkan raka'at?
Seperti kita ketahui bahwa tata cara shalat
gerhana ini berbeda dengan shalat biasa dimana terdapat dua kali rukuk dan dua
kali berdiri, kecuali pendapat Hanafi.
Menurut madzhab Maliki : Makmum terhitung
dapat rokaat jika makmum bisa mendapati rukuk yang kedua bersama imam dengan
thuma'ninah. Walaupun tidak mendapati rukuk yang pertama bersama imam tetap
terhitung dapat rokaat karena menurut Maliki rukuk dan berdiri yang pertama
adalah sunnah.
Menurut madzhab Syafi'i dan Hambali : Makmum
terhitung dapat rokaat jika makmum bisa mendapati rukuk yang pertama bersama
imam dengan thuma'ninah, sehingga jika hanya mendapati imam di dalam rukuk yang
kedua saja maka tidak terhitung dapat rokaat bersama imam.
Waktu Shalat Gerhana
Menurut ilmu hisab, di dalam gerhana bulan,
bayangan yang menutupi bulan itu ada dua. Yang pertama bayangan penumbra dan
yang kedua banyak umbra. Bayangan umbra adalah bayangan inti bumi sedangkan
bayangan penumbra adalah bayangan bias bumi, sehingga saat bayangan penumbra
menyentuh piringan bulan, tidak bisa diidentifikasi secara kasat mata, bulan
terlihat seperti biasa, utuh namun agak redup sedikit. Gerhana bulan baru bisa
diidentifikasi dengan mata telanjang ketika bayangan umbra menyentuh piringan
bulan.
Dengan demikian secara umum yang disebut
gerhana bulan yaitu sejak bayangan umbra (bayangan inti) bumi menyentuh
piringan bulan sampai seluruh bayangan umbra lepas dari piringan bulan. Adapun
gerhana matahari yaitu sejak bayangan umbra bulan menyentuh piringan matahari
sampai seluruh bayangan umbra lepas dari piringan matahari.
Menurut fiqih, masuknya waktu shalat gerhana,
baik gerhana bulan maupun matahari adalah sejak tertutupnya piringan bulan atau
matahari. Batas akhir waktu shalat gerhana matahari adalah pulihnya kembali
gerhana secara penuh atau terbenamnya matahari walaupun terbenam masih dalam
keadaan gerhana. sedangkan batas akhir gerhana bulan adalah pulihnya kembali
gerhana secara penuh atau terbitnya matahari walaupun bulan masih dalam keadaan
gerhana.
Menurut imam Syafi'I dan imam Malik, shalat
gerhana boleh dilakukan pada saat-saat makruhat karena termasuk shalat yang ada
sebabnya. Menurut imam Hanafi dan Imam Achmad tidak boleh, namun cukup dengan
membaca tasbih sebagai gantinya.
Bagaimana kalau menurut hisab terjadi gerhana
tetapi tertutup mendung?
Mengqiyaskan seperti halnya hilal, dari Ibnu
Daqiq Al-Iidi dan Ibnu Hajar di dalam kitab Tuhfahnya, Syeikh Bakhit Al-Muthi'i
menjelaskan bahwa jika menurut hisab yang qoth'i (kuat kepastinnya) hilal sudah
ada dan memungkinkan untuk bisa dilihat setelah maghrib, namun ternyata tidak
bisa dilihat karena terhalang mendung maka hal ini bisa menggunakan perhitungan
hisab untuk penentuan awal bulan. Jika penentuan awal bulan saja yang notabene
menentukan sesuatu yang wajib cukup dengan hisab yang qoth'i maka apalagi untuk
menentukan sesuatu yang sunnah, gerhana misalnya. Kita semua tahu bahwa hisab
hilal, gerhana bulan maupun gerhana matahari adalah perhitungan yang sama-sama
pasti dan meyakinkan.
Namun Ibnu Hajar di dalam kitab Tuhfah
terkait shalat gerhana mengatakan bahwa: Jika bulan atau matahari terhalang
oleh mendung sebelum gerhana terlihat tetapi menurut ahli hisab terjadi gerhana
maka tidak ada konskuensinya, artinya tidak sunnah shalat gerhana, karena hukum
asalnya tidak terjadinya gerhana. Namun jika bulan atau matahari terlihat
gerhana lalu kemudian mendung dan bimbang gerhana sudah selesai atau belum
walaupun menurut ahli hisab gerhana sudah selesai maka tetep sunnah shalat
gerhana karena hukum asalnya terlihatnya gerhana. Beliau menegaskan tidak ada
tempat bagi ahli hisab dalam hal ini, yakni tidak boleh berdasarkan hisab
semata walaupun hisab yang qoth'i sekalipun.
Apakah sunnah takbiran saat terjadi
gerhana?
Di masjid-masjid Jawa Barat, saat terjadi
gerhana diramaikan dengan takbiran seperti halnya takbiran hari raya. Mulai
awal gerhana sampai berakhirnya gerhana.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ
وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا (البخاري)
Artinya : Sesungguhnya matahari dan
bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana
matahari atau bulan tidaklah terkait kematian atau kehidupan seseorang.
Karenanya jika kalian melihat gerhana itu, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah,
shalatlah dan bersedekahlah (HR. Bukhari)
Sependek yang saya tahu para ulama dalam
koridor madzhab empat tidak memaknai "Fakabbiru" di dalam hadits
tersebut dengan takbiran seperti hari raya tetapi bermakna mengagungkan Allah
dalam arti kekuasaan Allah yang sangat luar biasa di mana benda-benda langit
yang besar (matahari dan bulan) tunduk dan patuh atas perintah Allah SWT. atau
dengan kata lain katakanlah "Allohu Akbar".
Wallahu A'lam
Harapan
Walaupun hukum shalat gerhana, baik Khusuful
Qomar maupun Kusufusy Syams adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat
dianjurkan) sebagaimana shalat Hari Raya, akan tetapi sangat sedikit dari umat
Islam yang peduli dengan syariat tersebut. Yakni acuh tak acuh dengan hal
tersebut, seakan-akan shalat gerhana adalah shalat yang tidak ada tuntunan dan
perintahnya.
Untuk itu demi melanggengkan syariat Islam
yang berupa shalat gerhana yang mulai langka di negeri ini serta demi syiarnya
Islam, maka apabila kita melihat/mengetahui fenomena gerhana marilah kita bersama
memperbanyak takbir, tahmid, istighfar, dan shadaqah serta melaksanakan shalat
gerhana. Shalat gerhana bisa dilaksanakan selama gerhana matahari berlangsung,
walaupun tidak total.
Referensi:
1.
Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Prof.
DR. Wahbah Al-Zuhaily
2.
Roudloh Al-Tholibin, Muhyiddin Yahya
bin Syarof Abu Zakariyah Al-Nawawy
3.
Irsyad Al-Murid, KH. Achmad Ghozali
Muhammad Fathulloh
4.
Al-Sunan Al-Kubro Li Al-Baihaqi, Ahmad
Bin Husein Bin Ali Al-Baihaqi
5.
Al-Durru Al-Aniq, KH. Achmad Ghozali
Muhammad Fathulloh
6.
Al-Tafsir Al-Munir, Prof. DR. Wahbah
Al-Zuhaily
7.
Tuhfah Al-Muhtaj, Ibnu Hajar
Al-Haitamy
8.
Syarah Shohihu Al-Bukhori Li Ibni
Al-Bathol, Abul Hasan Ali Bin Bathol Al-Qurtubi
9.
Kompasiana : http://www.kompasiana.com/moeidzahid/sekelumit-sejarah-dan-fiqih-gerhana_56cd312e81afbd010c1ed5f4
Penulis adalah anggota Lembaga Falakiyah PWNU
Jawa Timur; Dewan Pakar Lajnah Falakiyah PCNU Kabupaten Gresik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar