Selasa, 22 Maret 2016

(Ngaji of the Day) Talaffudh Niat, Tanpa Niat di Hati



Talaffudh Niat, Tanpa Niat di Hati

Niat memiliki arti penting dalam setiap ibadah. Keabsahan sebuah ibadah sangat  tergantung pada niat. Begitu pula dengan pahalanya, diterima atau tidak itu juga berkelindan dengan niat.

Ibadah yang tanpa didasari dengan niat baik semisal ingin pamer di hadapan publik, demi pencitraan politik, atau untuk menarik hati seorang gadis, tentu tidak akan bernilai apa-apa di mata Allah SWT. Itulah alasan Nabi Muhammad SAW mengatakan, ”Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niat,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menjadi dasar bahwa niat menjadi rukun dalam kebanyakan ibadah. Mayoritas ulama memosisikan niat berada dalam hati manusia. Sementara lisan hanya bukti atau penguat apa yang ada di dalam hati.

Selain itu, niat mesti muqtarinan bil fi’li untuk sebagian besar ibadah. Ketika seorang insan hendak sembahyang, ia harus berniat sambil takbiratul ihram. Bahkan, seperti yang dikutip Wahbah al-Zuhaili dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu, andaikan  berniat terlebih dahulu atau tidak berbarengan niat dengan takbir, shalatnya dihukumi batal menurut madzhab al-Syafi’i. Sementara menurut madzhab lain, masih dianggap sah jika selang waktu niat dengan takbir tidak terlalu lama.

Bagi sebagian orang, niat di hati sembari takbir memang tidak mudah. Tak heran bila orang yang berpegang teguh pada prinsip ini mengulang terus-menerus takbir sampai niat benar-benar tergeletak di hatinya seiring dengan takbir.

Namun pada dasarnya, orang yang tidak mampu berniat dengan model ideal ini diperbolehkan untuk sekadar melafalkan (talaffudh) niat sebelum takbir dan tidak mesti beriringan dengannya. Perihal ini sangat sesuai dengan prinsip Islam yang mudah dan tidak memberatkan. Melalui riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya agama ini mudah,” (HR Al-Bukhari, Ibnu Hibban, dan lain-lain).

Maka dari itu Abdurrahman al-Ahdal dalam al-Mawahibus Saniyah Syarhul Farahidil Bahiyah memperbolehkan orang awam, atau masyarakat yang keberatan melakukan hal ini untuk sekedar melafalkan niat tanpa membatinkannya di dalam hati. Berikut kutipannya:

(فليس يكفي اللفظ باللسان مع انتفائها) أي النية (من الجنان) أي القلب، وظاهره لو من العامي وهو ما يقتضيه من ظاهر كلامهم، لكن فيه عسر فينبغي أن يعتدبه الآن، أعني في زماننا الذي غلب فيه عدم الصلاة فضلا عن الإتيان بها ناقصة


“Pelafalan niat (tentu sebelum takbir) tanpa niat di hati jelas tidak memadai. Ini berlaku juga meski untuk orang awam. Demikianlah dikatakan para ulama. Namun demikian praktik ini tidaklah mudah. Karenanya pelafalan niat secara lisan tanpa dibarengi niat di hati untuk era sekarang terbilang memadai. Maksud kami, di zaman kita ini orang-orang yang tidak shalat malah lebih banyak ketimbang orang yang hanya kurang sempurna shalatnya.”

Pendapat ini sangat memudahkan bagi sebagian orang terlebih lagi di era multikrisis ini. Paling tidak adanya fatwa ini dapat memberi kenyaman bagi orang awam, orang yang merasa kesulitan, atau orang yang tidak terbiasa berniat dengan model ideal yang dianjurkan para ulama dulu.

Berdasarkan kutipan ini pula, ahli agama melihat kenyataan sosial sebelum merumuskan sebuah hukum. Terkadang standarisasi yang begitu ketat diturunkan untuk menarik perhatian masyarakat dalam beribadah dan beragama. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar