Senin, 28 Maret 2016

Azyumardi: Wasta



Wasta
Oleh: Azyumardi Azra

Istilah wasta jelas tidak populer di Indonesia--meski memiliki akar kosakata yang sama dengan istilah wasathiyah. Istilah terakhir ini mengacu pada 'jalan tengah' untuk menyebut Islam Indonesia, Islam wasathiyyah yang biasa disebut sebagai memiliki substansi, pemahaman, dan praksis 'jalan tengah'.

Dengan begitu, Islam Indonesia bersifat inklusif, akomodatif, dan toleran pada keragaman, baik sesama internal umat Islam maupun dengan para penganut agama-agama lain.

Sebaliknya, istilah wasta populer di Timur Tengah. Memiliki akar kata bahasa Arab yang berarti 'tengah' atau 'medium', istilah ini mengacu pada perantara, pialang, atau koneksi di antara seseorang yang sedang mencari pekerjaan atau berusaha mendapat perizinan atau pelayanan dari pemerintah atau pihak swasta dengan orang lain yang berada dalam posisi untuk menyediakannya.

Dengan begitu, wasta menggambarkan fenomena atau gejala sosial, politik, dan ekonomi yang menggunakan koneksi untuk mendapatkan pekerjaan, pelayanan, dan perizinan dari pemerintah dan pihak swasta. Lebih luas lagi, wasta juga berarti penggunaan koneksi untuk mendapat gelar (dari perguruan tinggi). Tanpa penggunaan koneksi, semua keinginan tersebut tidak mungkin tercapai--jauh dari jangkauan atau memerlukan waktu panjang mendapatkannya.

Dalam kaitan itu, buku suntingan Mohamed A Ramady, The Political Economy of Wasta; The Use and Abuse of Social Capital Networking (London & New York: Springer, 2016), merupakan karya penting, khususnya bagi masyarakat Muslim dan lingkungan lebih luas. Terdiri atas 12 artikel yang umumnya mengungkapkan praktik wasta di negara-negara Arab, penulis “Resonansi” ini turut memberikan kontribusi artikel tentang praktik wasta yang populer di Indonesia sebagai KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Praktik wasta meluas di dunia Arab atau Timur Tengah umumnya dan negara berpenduduk mayoritas Muslim lain, seperti Indonesia. Praktik kepialangan dengan menggunakan koneksi juga dapat ditemukan di Cina dalam istilah guanxi dan juga di wilayah lain--Afrika, Eropa, dan Amerika seperti tercermin dalam istilah ubuntu, harambee, piston, jeitinho, svyazi, naoberschop, dan big man.

Banyak perdebatan akademik tentang apakah wasta atau juga korupsi dapat mengandung dampak positif terhadap masyarakat dan negara secara keseluruhan. Pada dasawarsa 1970 dan 1980-an ketika banyak negara di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia menggiatkan pembangunan ekonomi dan sosial, ada kalangan ahli yang menganggap korupsi sah-sah saja. Kalangan ini bahkan berpendapat, korupsi yang juga terkandung dalam praktik wasta sebagai “tidak terelakkan dalam proses pembangunan”.

Karena itu, seperti dikemukakan Ramady, guru besar madya ekonomi dan keuangan pada Universitas King Fahd, Arab Saudi, meski wasta mungkin mengandung dampak positif, praktik ini umumnya dipandang negatif. Praktik wasta memengaruhi pengambilan keputusan pada setiap tingkatan pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat Timur Tengah. Wasta tak lain merupakan penyalahgunaan jejaring modal sosial (social capital networking) untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Lebih jauh, praktik wasta menyebabkan ketidaksetaraan di antara warga masyarakat. Melalui wasta, mereka yang memiliki jejaring modal sosial dengan kekuasaan, baik di lingkungan pemerintahan maupun swasta mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sebaliknya, mereka yang tidak punya jejaring modal sosial tersisih dari percaturan untuk mendapatkan kesempatan.

Wasta juga mengakibatkan birokasi pemerintahan dan perusahaan tidak efisien. Praktik ini mengakibatkan rekrutmen dan promosi tidak berdasarkan merit berupa pengetahuan, keahlian, dan pengalaman relevan. Jika praktik wasta kian meluas, bisa dibayangkan kian tidak efisiennya birokrasi pemerintah dan swasta.

Praktik wasta jelas mengandung unsur atau aspek korupsi karena ia merupakan “penyalahgunaan wewenang melalui mediasi atau kepialangan tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok”. Pialang atau mediator yang memanfaatkan jejaring modal sosial memengaruhi pengambilan keputusan, sehingga menjadi tidak adil dan fair.

Masalahnya kemudian, masyarakat Muslim di dunia Arab dan agaknya juga di kawasan lain memiliki tradisi saling 'menolong' warga dari rumpun keluarga, kabilah, atau suku yang sama. Inilah tradisi wasta, tolong menolong--termasuk untuk mendapatkan pekerjaan dan pelayanan dari pemerintah dan dunia bisnis. Meski ada liberalisasi dan globalisasi dalam berbagai sektor kehidupan, wasta dengan memanfaatkan jejaring modal sosial terus bertahan.

Jejaring modal sosial tidak hanya eksis dalam masyarakat Muslim Arab atau lainnya. Dalam masyarakat Barat juga terdapat jejaring modal sosial yang disebut old boy networks yang bekerja 'membantu' warga sesama etnis, agama, kelas sosial, dan pendidikan.

Dari perspektif ini, wasta seolah mendapat justifikasi. Namun, kian banyak pihak yang menolak justifikasi semacam itu. Sikap ini tidak lain karena dampak negatif praktik wasta terhadap kehidupan sosial, bisnis, dan pemerintahan. []

REPUBLIKA, 24 Maret 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar