Wasta
Oleh:
Azyumardi Azra
Istilah
wasta jelas tidak populer di Indonesia--meski memiliki akar kosakata yang
sama dengan istilah wasathiyah. Istilah terakhir ini mengacu pada 'jalan
tengah' untuk menyebut Islam Indonesia, Islam wasathiyyah yang biasa disebut
sebagai memiliki substansi, pemahaman, dan praksis 'jalan tengah'.
Dengan
begitu, Islam Indonesia bersifat inklusif, akomodatif, dan toleran pada
keragaman, baik sesama internal umat Islam maupun dengan para penganut
agama-agama lain.
Sebaliknya,
istilah wasta populer di Timur Tengah. Memiliki akar kata bahasa Arab yang
berarti 'tengah' atau 'medium', istilah ini mengacu pada perantara, pialang,
atau koneksi di antara seseorang yang sedang mencari pekerjaan atau berusaha
mendapat perizinan atau pelayanan dari pemerintah atau pihak swasta dengan
orang lain yang berada dalam posisi untuk menyediakannya.
Dengan
begitu, wasta menggambarkan fenomena atau gejala sosial, politik, dan
ekonomi yang menggunakan koneksi untuk mendapatkan pekerjaan, pelayanan, dan
perizinan dari pemerintah dan pihak swasta. Lebih luas lagi, wasta juga
berarti penggunaan koneksi untuk mendapat gelar (dari perguruan tinggi). Tanpa
penggunaan koneksi, semua keinginan tersebut tidak mungkin tercapai--jauh dari
jangkauan atau memerlukan waktu panjang mendapatkannya.
Dalam
kaitan itu, buku suntingan Mohamed A Ramady, The Political Economy of Wasta;
The Use and Abuse of Social Capital Networking (London & New York:
Springer, 2016), merupakan karya penting, khususnya bagi masyarakat Muslim dan
lingkungan lebih luas. Terdiri atas 12 artikel yang umumnya mengungkapkan
praktik wasta di negara-negara Arab, penulis “Resonansi” ini turut
memberikan kontribusi artikel tentang praktik wasta yang populer di
Indonesia sebagai KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Praktik
wasta meluas di dunia Arab atau Timur Tengah umumnya dan negara berpenduduk
mayoritas Muslim lain, seperti Indonesia. Praktik kepialangan dengan
menggunakan koneksi juga dapat ditemukan di Cina dalam istilah guanxi dan
juga di wilayah lain--Afrika, Eropa, dan Amerika seperti tercermin dalam istilah
ubuntu, harambee, piston, jeitinho, svyazi, naoberschop, dan big man.
Banyak
perdebatan akademik tentang apakah wasta atau juga korupsi dapat mengandung
dampak positif terhadap masyarakat dan negara secara keseluruhan. Pada
dasawarsa 1970 dan 1980-an ketika banyak negara di Asia dan Afrika, termasuk
Indonesia menggiatkan pembangunan ekonomi dan sosial, ada kalangan ahli yang
menganggap korupsi sah-sah saja. Kalangan ini bahkan berpendapat, korupsi yang
juga terkandung dalam praktik wasta sebagai “tidak terelakkan dalam proses
pembangunan”.
Karena
itu, seperti dikemukakan Ramady, guru besar madya ekonomi dan keuangan pada
Universitas King Fahd, Arab Saudi, meski wasta mungkin mengandung dampak
positif, praktik ini umumnya dipandang negatif. Praktik wasta memengaruhi
pengambilan keputusan pada setiap tingkatan pemerintah, dunia bisnis, dan
masyarakat Timur Tengah. Wasta tak lain merupakan penyalahgunaan jejaring modal
sosial (social capital networking) untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Lebih
jauh, praktik wasta menyebabkan ketidaksetaraan di antara warga
masyarakat. Melalui wasta, mereka yang memiliki jejaring modal sosial dengan
kekuasaan, baik di lingkungan pemerintahan maupun swasta mudah mendapatkan apa
yang mereka inginkan. Sebaliknya, mereka yang tidak punya jejaring modal sosial
tersisih dari percaturan untuk mendapatkan kesempatan.
Wasta
juga mengakibatkan birokasi pemerintahan dan perusahaan tidak efisien. Praktik
ini mengakibatkan rekrutmen dan promosi tidak berdasarkan merit berupa
pengetahuan, keahlian, dan pengalaman relevan. Jika praktik wasta kian meluas,
bisa dibayangkan kian tidak efisiennya birokrasi pemerintah dan swasta.
Praktik
wasta jelas mengandung unsur atau aspek korupsi karena ia merupakan
“penyalahgunaan wewenang melalui mediasi atau kepialangan tertentu untuk
mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok”. Pialang atau mediator yang
memanfaatkan jejaring modal sosial memengaruhi pengambilan keputusan, sehingga
menjadi tidak adil dan fair.
Masalahnya
kemudian, masyarakat Muslim di dunia Arab dan agaknya juga di kawasan lain
memiliki tradisi saling 'menolong' warga dari rumpun keluarga, kabilah, atau
suku yang sama. Inilah tradisi wasta, tolong menolong--termasuk untuk
mendapatkan pekerjaan dan pelayanan dari pemerintah dan dunia bisnis. Meski ada
liberalisasi dan globalisasi dalam berbagai sektor kehidupan, wasta dengan
memanfaatkan jejaring modal sosial terus bertahan.
Jejaring modal
sosial tidak hanya eksis dalam masyarakat Muslim Arab atau lainnya. Dalam
masyarakat Barat juga terdapat jejaring modal sosial yang disebut old boy
networks yang bekerja 'membantu' warga sesama etnis, agama, kelas sosial,
dan pendidikan.
Dari
perspektif ini, wasta seolah mendapat justifikasi. Namun, kian banyak
pihak yang menolak justifikasi semacam itu. Sikap ini tidak lain karena dampak
negatif praktik wasta terhadap kehidupan sosial, bisnis, dan
pemerintahan. []
REPUBLIKA,
24 Maret 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar