Jumat, 04 Maret 2016

Azyumardi: Kebebasan Beragama; Asia Pasifik (2)



Kebebasan Beragama; Asia Pasifik (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Kebebasan beragama di Asia Pasifik jelas masih merupakan agenda yang belum selesai dan karena itu mesti terus diperjuangkan. Pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan persekusi terhadap umat beragama juga masih terjadi di berbagai negara Asia Pasifik.

Asia Pacific Religious Freedom Forum (APRFF) pertama yang diselenggarakan di Taoyuan, Taiwan, pada 18-21 Februari 2016 berusaha menggalang jaringan untuk memperjuangkan dan meningkatkan kebebasan beragama secara global.

Berbicara dalam diskusi panel APRFF, penulis Resonansi ini berpendapat, pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan disebabkan beberapa faktor penting yang terkait satu sama lain. Pertama, adanya sistem politik dan kekuasaan yang tidak membenarkan kebebasan beragama atas dasar ideologi negara yang tidak kompatibel dengan agama; atau alasan semangat “kesatuan bangsa”; atau “pembangunan nasional”.

Tetapi, ada juga sistem politik dan kekuasaan yang memberikan kebebasan beragama dan berkeyakinan kepada para warga. Bahkan, kebebasan itu dijamin dalam konstitusi dan perundangan lain.

Namun, pemerintah yang berkuasa dan lembaga penegak hukum tidak memiliki kemampuan menegakkan kebebasan beragama yang dijamin UU. Akibatnya, berbagai kelompok intoleran yang melakukan kekerasan terhadap komunitas umat beragama lain terus dapat melakukan aksinya.

Karena itulah promosi kebebasan beragama memerlukan konsolidasi demokrasi dan sekaligus penguatan penegakan hukum secara adil, tegas, dan konsisten. Jika demokrasi dan penegakan hukum masih memble, selama itu pula negara dan rezim berkuasa gagal menjamin dan menegakkan kebebasan beragama.

Pelanggaran terhadap kebebasan beragama juga terkait banyak dengan kondisi ekonomi. Semakin lebar jurang antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin, kian besar pula kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan manipulasi agama, terutama untuk kepentingan politik dan ekonomi. Keadaan seperti ini dapat berujung pada peningkatan intoleransi di antara berbagai segmen masyarakat yang sering tumpang tindih dengan komunitas keagamaan.

Dalam konteks itu, penciptaan kemakmuran dan keadilan ekonomi dan kesempatan berusaha yang sama menjadi faktor penting bagi penumbuhan sikap toleransi dalam beragama. Dengan keadilan ekonomi, kehidupan sosial yang lebih harmonis dapat tercipta; berbagai kesenjangan budaya dan pendidikan di antara segmen-segmen masyarakat juga sekaligus dapat diatasi atau setidaknya dikurangi. Tak kurang pentingnya, dengan keadilan ekonomi, kecemburuan sosial dapat dicegah agar tidak meledak menjadi kekerasan yang bisa menjadi masif.

Pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan juga bisa bersumber dari sektarianisme agama bernyala-nyala; kian tinggi sektarianisme intra dan antaragama, semakin besar pula kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama.

Adanya sektarianisme keagamaan memang sulit dihindari karena seluruh agama mengandung mazhab, aliran, denominasi berbeda; sektarianisme itu semestinya tidak berkembang menjadi intoleransi satu sama lain.

Karena itulah sektarianisme keagamaan hendaknya tetap terkontrol dengan penguatan sikap saling menghargai dan menghormati yang menghasilkan moderasi dan inklusi. Dalam kaitan ini, dialog intra dan antar agama menjadi kebutuhan yang sangat urgen.

Selaras dengan pandangan penulis Resonansi ini, “Deklarasi Taiwan” yang dikeluarkan seusai APRFF antara lain menyatakan, “Kemajuan kebebasan beragama dan keyakinan memiliki korelasi langsung dengan pemajuan demokrasi, HAM, kemakmuran ekonomi dan masyarakat madani yang bergairah.”

Sebaliknya, pembatasan kebebasan beragama dan persekusi terhadap umat beragama secara langsung berkontribusi pada migrasi secara terpaksa. Akibatnya, terjadilah peningkatan jumlah pengungsi yang menyelamatkan diri dari persekusi yang dilakukan atau dibiarkan pemerintah. Keadaan ini akhirnya menimbulkan krisis di kawasan Asia Pasifik, seperti di Asia Barat (Timur Tengah), Myanmar, atau Afghanistan.

Karena itu, seluruh pemangku kepentingan perlu merespons krisis migrasi dan pengungsi dengan menyediakan tempat perlindungan yang aman dan memberikan pelayanan kemanusiaan kepada individu dan komunitas yang mengalami berbagai restriksi dalam kehidupan keagamaan mereka. Pada saat yang sama, perlu peningkatan kemanfaatan ekonomi bagi setiap dan seluruh mereka yang tersisih.

Akhirnya, untuk promosi kebebasan beragama, Deklarasi Taiwan juga menyatakan tentang pentingnya pendalaman dan penguatan lembaga-lembaga politik, budaya, dan pendidikan. Pada saat yang sama, perlu pula penguatan dan pemberdayaan dialog yang diabdikan untuk pengembangan toleransi beragama. []

REPUBLIKA, 03 Maret 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar