Rabu, 30 Maret 2016

Kang Komar: Rumahku Surgaku



Rumahku Surgaku
Oleh: Komaruddin Hidayat

Rasulullah pernah bersabda, rumahku surgaku. Baiti jannati. Ungkapan ini akan sangat dipahami dan dirasakan oleh mereka yang merintis kerja di Jakarta yang dimulai dari nol seperti yang saya alami ketika masuk Jakarta tahun 1974 tanpa agenda jelas.

Saya membeli rumah melalui kredit Bank BTN pada tahun 1983, ukuran 54 meter persegi, selama 15 tahun, lokasi di Pamulang, Tangerang Selatan. Salah satu kemewahan yang dirasakan ketika seseorang memiliki rumah sendiri adalah adanya zona privasi, hidup terasa merdeka ketika berada di rumah. Dan lagi terbebas dari bayar kontrakan setiap bulan atau tahun.

Sekecil apa pun, yang namanya rumah pribadi jauh lebih indah dan nikmat ketimbang tinggal di rumah kontrakan sekalipun lebih besar dan bagus kondisinya. Konon katanya, memiliki rumah pribadi hasil jerih payah sendiri jauh lebih nikmat ketimbang tinggal di rumah warisan orang tua. Saya sadar betul, kalau tidak nekat mengambil kredit BTN, sulit dibayangkan kapan akan punya rumah sendiri.

Tidak mungkin menunggu tabungan cukup untuk membeli rumah. Penghasilan dari gaji PNS waktu itu sekitar Rp50.000, angsuran bulanan Rp36.000. Untunglah istri saya, Ait Choeriah, juga bekerja sebagai PNS sehingga ikut membantu kebutuhan dapur. Dengan tanggungan dua anak dan seorang pekerja rumah tangga, hidup di Jakarta sebagai pegawai negeri mesti punya ketahanan mental tinggi.

Mesti kreatif mencari penghasilan tambahan. Cara termudah adalah mengajar di luar tugas utama di IAIN Syarif Hidayatullah. Kalau diputar kembali memori pergulatan hidup berkuliah sambil mencari biaya sendiri, lalu berumah tangga, kemudian nekat mengambil kredit rumah, saya sendiri heran, kok berani membuat keputusan yang menantang.

Tapi setelah berlalu, justru semua itu menjadi kekayaan mental yang indah dan lucu untuk dikenang. Kata orang, jika sudah memiliki rumah sendiri di Jakarta, berarti 50% beban hidup teratasi. Saya percaya saja ungkapan itu sebagai motivasi. Cara paling baik adalah menciptakan tantangan.

Berumah tangga pun kalau menunggu cukup modal harta dan punya rumah sendiri, bisa jadi mesti menunggu sampai tua atau malah akan hidup membujang. Karena pernah berkarier sebagai wartawan, saya jadinya banyak tahu bahwa orang-orang yang sekarang sukses pun dulunya merintis dari bawah. Kalangan Tionghoa yang banyak menguasai perekonomian Indonesia dulunya datang ke Nusantara bermodal tekad dengan menaiki perahu tongkang.

Tapi karena mereka gigih, tekun, dan tahan banting, banyak yang kemudian masuk deretan orang terkaya di Indonesia. Tradisi kerja keras ini diwariskan secara turun-temurun. Orang Inggris punya ungkapan bijak, it is easy to build a house, but not home. Membangun rumah dalam arti fisik adalah mudah. Yang sulit adalah membangun kehidupan rumah tangga.

Oleh karenanya kita tidak kaget, ada rumah tangga yang secara materi berlimpah, rumah mewah, tetapi kehidupan keluarganya tidak bahagia. Sebaliknya, banyak keluarga yang tinggal di rumah yang sederhana, tetapi hidupnya bahagia. Pendidikan anak-anaknya sukses. Hidup terhormat di tengah lingkungannya. Tentu saja yang ideal adalah lahir-batin, moril-materiil sukses.

Selamat dan bahagia dunia-akhirat. Orang tua sering membuat ungkapan, rumah tangga itu ibarat tempat berlabuh, melepaskan semua rasa penat dan gelisah. Mungkin saja ungkapan itu muncul karena nenek moyang kita banyak yang mencari nafkah sebagai pelaut. Atau pedagang lintas pulau yang selalu menghadapi ancaman ombak ganas, cuaca panas, dan meletihkan.

Makanya, yang paling didambakan adalah berlabuh, melepas rindu kumpul dengan keluarga dalam suasana aman dan nyaman. Bagi mereka yang tinggal di kota besar semacam Jakarta, suasana kerja dan lalu lintas kadang kala juga tidak kalah ganas dari lautan. Hidup penuh persaingan, lalu lintas macet, ancaman narkoba dan kejahatan selalu membayangi.

Jika rumah tangga tidak menawarkan kedamaian, sebesar dan sebagus apa pun bangunan rumah, mimpi indah memiliki rumah sendiri sebagai basis kehidupan rumah tangganya tak akan tercapai. Alhamdulillah, meski tembok bangunan rumah yang saya angsur melalui BTN terbuat dari batako, kami sekeluarga merasa memiliki istana sendiri.

Tak lagi hidup di rumah kontrakan yang sempit, sumur dengan airnya yang kadang keruh dan mesti berbagi dengan tetangga. Sekecil dan sejelek apa pun rumah sendiri yang sudah permanen, isian kartu tanda penduduk (KTP) juga ikut permanen, tidak nomad. Namun sejak tahun 2000 kami lalu pindah ke rumah baru yang lebih dekat dengan kampus, masjid, rumah sakit, dan kuburan. []

KORAN SINDO, 25 Maret 2016
Komaruddin Hidayat ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar