Rumahku
Surgaku
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Rasulullah
pernah bersabda, rumahku surgaku. Baiti jannati. Ungkapan ini akan sangat
dipahami dan dirasakan oleh mereka yang merintis kerja di Jakarta yang dimulai
dari nol seperti yang saya alami ketika masuk Jakarta tahun 1974 tanpa agenda
jelas.
Saya
membeli rumah melalui kredit Bank BTN pada tahun 1983, ukuran 54 meter persegi,
selama 15 tahun, lokasi di Pamulang, Tangerang Selatan. Salah satu kemewahan
yang dirasakan ketika seseorang memiliki rumah sendiri adalah adanya zona
privasi, hidup terasa merdeka ketika berada di rumah. Dan lagi terbebas dari
bayar kontrakan setiap bulan atau tahun.
Sekecil
apa pun, yang namanya rumah pribadi jauh lebih indah dan nikmat ketimbang
tinggal di rumah kontrakan sekalipun lebih besar dan bagus kondisinya. Konon
katanya, memiliki rumah pribadi hasil jerih payah sendiri jauh lebih nikmat
ketimbang tinggal di rumah warisan orang tua. Saya sadar betul, kalau tidak
nekat mengambil kredit BTN, sulit dibayangkan kapan akan punya rumah sendiri.
Tidak
mungkin menunggu tabungan cukup untuk membeli rumah. Penghasilan dari gaji PNS
waktu itu sekitar Rp50.000, angsuran bulanan Rp36.000. Untunglah istri saya,
Ait Choeriah, juga bekerja sebagai PNS sehingga ikut membantu kebutuhan dapur.
Dengan tanggungan dua anak dan seorang pekerja rumah tangga, hidup di Jakarta
sebagai pegawai negeri mesti punya ketahanan mental tinggi.
Mesti kreatif
mencari penghasilan tambahan. Cara termudah adalah mengajar di luar tugas utama
di IAIN Syarif Hidayatullah. Kalau diputar kembali memori pergulatan hidup
berkuliah sambil mencari biaya sendiri, lalu berumah tangga, kemudian nekat
mengambil kredit rumah, saya sendiri heran, kok berani membuat keputusan yang
menantang.
Tapi
setelah berlalu, justru semua itu menjadi kekayaan mental yang indah dan lucu
untuk dikenang. Kata orang, jika sudah memiliki rumah sendiri di Jakarta,
berarti 50% beban hidup teratasi. Saya percaya saja ungkapan itu sebagai
motivasi. Cara paling baik adalah menciptakan tantangan.
Berumah
tangga pun kalau menunggu cukup modal harta dan punya rumah sendiri, bisa jadi
mesti menunggu sampai tua atau malah akan hidup membujang. Karena pernah
berkarier sebagai wartawan, saya jadinya banyak tahu bahwa orang-orang yang
sekarang sukses pun dulunya merintis dari bawah. Kalangan Tionghoa yang banyak
menguasai perekonomian Indonesia dulunya datang ke Nusantara bermodal tekad
dengan menaiki perahu tongkang.
Tapi
karena mereka gigih, tekun, dan tahan banting, banyak yang kemudian masuk
deretan orang terkaya di Indonesia. Tradisi kerja keras ini diwariskan secara
turun-temurun. Orang Inggris punya ungkapan bijak, it is easy to build a house,
but not home. Membangun rumah dalam arti fisik adalah mudah. Yang sulit adalah
membangun kehidupan rumah tangga.
Oleh
karenanya kita tidak kaget, ada rumah tangga yang secara materi berlimpah,
rumah mewah, tetapi kehidupan keluarganya tidak bahagia. Sebaliknya, banyak
keluarga yang tinggal di rumah yang sederhana, tetapi hidupnya bahagia.
Pendidikan anak-anaknya sukses. Hidup terhormat di tengah lingkungannya. Tentu
saja yang ideal adalah lahir-batin, moril-materiil sukses.
Selamat
dan bahagia dunia-akhirat. Orang tua sering membuat ungkapan, rumah tangga itu
ibarat tempat berlabuh, melepaskan semua rasa penat dan gelisah. Mungkin saja
ungkapan itu muncul karena nenek moyang kita banyak yang mencari nafkah sebagai
pelaut. Atau pedagang lintas pulau yang selalu menghadapi ancaman ombak ganas,
cuaca panas, dan meletihkan.
Makanya,
yang paling didambakan adalah berlabuh, melepas rindu kumpul dengan keluarga
dalam suasana aman dan nyaman. Bagi mereka yang tinggal di kota besar semacam
Jakarta, suasana kerja dan lalu lintas kadang kala juga tidak kalah ganas dari
lautan. Hidup penuh persaingan, lalu lintas macet, ancaman narkoba dan
kejahatan selalu membayangi.
Jika
rumah tangga tidak menawarkan kedamaian, sebesar dan sebagus apa pun bangunan
rumah, mimpi indah memiliki rumah sendiri sebagai basis kehidupan rumah
tangganya tak akan tercapai. Alhamdulillah, meski tembok bangunan rumah yang
saya angsur melalui BTN terbuat dari batako, kami sekeluarga merasa memiliki
istana sendiri.
Tak lagi
hidup di rumah kontrakan yang sempit, sumur dengan airnya yang kadang keruh dan
mesti berbagi dengan tetangga. Sekecil dan sejelek apa pun rumah sendiri yang
sudah permanen, isian kartu tanda penduduk (KTP) juga ikut permanen, tidak
nomad. Namun sejak tahun 2000 kami lalu pindah ke rumah baru yang lebih dekat
dengan kampus, masjid, rumah sakit, dan kuburan. []
KORAN SINDO,
25 Maret 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar