Diplomasi RI, OKI, dan Israel
Oleh: Azyumardi Azra
Konsul Kehormatan RI untuk Palestina, Maha Abu-Shuseh, pengusaha
perempuan yang sukses, akhirnya dilantik Menlu RI, Retno LP Marsudi pada Ahad
lalu (13/3/2016). Sayang pelantikan itu dilakukan di KBRI Amman; bukan di
Ramallah, sebagaimana direncanakan pemerintah RI. Pelantikan itu ‘terpaksa’
dilakukan di Amman karena pemerintah Israel tidak memberi overflight clearance
bagi Menlu Retno dan delegasi RI untuk masuk ke Ramallah, Tepi Barat.
Penolakan Israel mengizinkan delegasi RI memasuki Ramallah yang
memperlihatkan terus berlanjutnya arogansi negara Zionis, juga
mencerminkan kekhawatirannya pada peningkatan diplomasi RI untuk terus
mendukung kemerdekaan berdaulat penuh negara Palestina.
Menlu Retno Marsudi sendiri dalam pernyataan meresponi penolakan
Israel itu menegaskan: “Penolakan izin overflight clearance tidak akan
berdampak apapun—saya ulangi, tidak berdampak apapun terhadap dukungan
Indonesia kepada Palestina. Saya berharap, bahwa di masa mendatang kita akan
membuka Kedutaan Besar Republik Indonesia di negara Palestina”.
Penegasan Menlu ini membuat Israel kian menjauh dari Indonesia.
Bukan rahasia lagi, Israel sejak waktu lama menginginkan dan berusaha keras
agar RI dapat membuka hubungan diplomatik di antara kedua negara. Israel
memandang, hubungan diplomatik dengan Indonesia—sebagai negara Muslim
terbesar—dapat membuka pengakuan lebih luas terhadap Israel di tingkat
internasional.
Tetapi Indonesia secara konsisten menolak walau dalam kasus-kasus
tertentu terjadi kontak dan hubungan diam-diam melalui orang perorang. Adalah
Presiden Soekarno yang memulai penolakan berhubungan dengan Israel. Bung Karno
mengeluarkan Israel (dan Taiwan) dari daftar negara yang ikut dalam Asia Games
1962 di Jakarta.
Tetapi pada 1993 Presiden Soeharto menerima PM Israel Yitzhak
Rabin di kediamannya di Jalan Cendana Jakarta. Pak Harto berhujjah, ia menerima
Rabin dalam kaitan dengan Indonesia sebagai Ketua Gerakan Non-Blok dan juga
guna menjajaki tindak lanjut Persetujuan Oslo. Inilah satu-satunya pertemuan
tingkat tinggi di antara kedua negara.
Selanjutnya pada 1999 Presiden Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid
menyatakan keinginannya membuka hubungan dagang langsung dengan Israel.
Mendapatkan tantangan dari kebanyakan umat Islam Indonesia, Presiden Gus Dur
‘terpaksa’ mengurungkan niatnya tersebut.
Presiden SBY membuka sedikit celah bagi Israel dengan menyatakan,
hubungan diplomatik antara kedua negara mungkin dapat dibuka setelah Israel
memberikan kemerdekaan dan kedaulatan sepenuhnya bagi negara Palestina.
Peningkatan aksi brutal Israel bersamaan dengan perampasan tanah Palestina
untuk pemukiman ilegal Yahudi, meningkatkan kecaman pemerintah dan masyarakat
Indonesia terhadap Israel, sehingga kemerdekaan Palestina kian jauh.
Jelas pemerintahan Jokowi-JK ingin meningkatkan peran Indonesia
dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina secara damai. Sejak masa kampanye
sebelum Pilpres 2014, Jokowi dan Jusuf Kalla menyatakan bakal membuka Konsulat
RI (KJRI) di Ramallah.
Jelas pula Israel menolak pembukaan KJRI. Karena itulah pemerintah
RI memutuskan mengangkat Konsul Kehormatan, yang lazimnya adalah dari kalangan
tokoh masyarakat lokal. Meski Konsul Kehormatan memiliki wewenang terbatas,
dalam konteks Palestina memiliki simbolisme penting. Israel nampaknya melihat
Konsul Kehormatan RI itu bagaimanapun mewakili kehadiran Indonesia di bumi
Palestina yang masih dikuasai Israel.
Melihat sikap Israel seperti itu, bisa dipastikan usaha Indonesia
memainkan peran mediasi lebih aktif dalam menciptakan perdamaian dan sekaligus
kemerdekaan negara Palestina sangat tidak mudah. Boleh jadi Indonesia akhirnya
harus berhadapan langsung dengan Israel.
Indonesia agaknya tidak bisa mengharapkan OKI dapat membantu upaya
mediasi Indonesia di Palestina maupun Dunia Islam lebih luas. KTT Luarbiasa OKI
tentang Palestina dan al-Quds al-Syarif di Jakarta 7-8 Maret 2016 sangat boleh
jadi tidak membuahkan hasil kongkrit—meski Presiden Jokowi mengritik keras
ketidakseriusan negara-negara OKI membantu Palestina. Hasil kongkretnnya sejauh
ini hanya pembukaan Konsul Kehormatan RI itu.
Indonesia juga tidak bisa berharap banyak pada negara-negara
Muslim yang memiliki (atau pernah memiliki) hubungan diplomatik dengan Israel,
yaitu Mesir, Yordania, Tunisia, Maroko, Oman, Turki dan Qatar. Hubungan
diplomatik mereka dengan Israel selama ini tidak ada dampak positifnya bagi
bangsa-negara Palestina.
Karena itu, Indonesia harus meningkatkan diplomasinya ke
negara-negara adikuasa yang dapat menekan Israel semacam Amerika Serikat,
Inggris, Prancis dan Jerman misalnya. Jelas upaya yang tidak mudah, tetapi
bukan tidak mungkin selama Indonesia tetap menjalankan diplomasi internasional
secara gigih, konsisten dan berkelanjutan. []
REPUBLIKA, 17 Maret 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar