Senin, 14 Maret 2016

(Buku of the Day) Menulis yang Mentaqwakan, Menggali Energi Spiritual Kepenulisan



Menulis Menuju Surga



Judul                            : Menulis yang Mentaqwakan, Menggali Energi Spiritual Kepenulisan
Penulis                         : Tub’ Yawaladie (Widi Muryono)
Desain dan Sampul       : Tub’
Penerbit                        : Murialogi dan Majalah Ath Thullab
Tahun terbitan               : Rabiul Awwal 1437 H/Desember 2015
Halaman                       : 14x21 cm / 228 halaman
ISBN                             : 99-6666-0312
Peresensi                      : Maftuhan, Lulusan Jurusan Tarbiyah Prodi Pendidikan Agama Islam STAIN Kudus 

Menulis adalah perbuatan setiap orang yang ingin mengetahui sesuatu yang diketahuinya agar tidak hilang dalam memori otak, menulis itu harus tidak dengan nafsu, menulis itu dengan kelembutan hati. Biasanya nafsu itu terburu-buru. Tulisan pertama biasanya dengan nafsu. Maka perlu di-mutholaah lagi. Pada saat mutholaah yang kedua, nanti akan keluar nur ilmunya. Di-mutholaah lagi, keluar hikmah dan asrar-nya.

Membaca basmalah atau membasmalahi diri. Praktik ini sudah melegenda sejak zaman lampau. Dan bahkan Baginda kecintaan kita sendiri yang mengingatkan (halaman 12). Dalam halaman ini penulis sudah memakluminya jika umat Islam akan melakukan sesuatu apa saja termasuk menulis dengan membaca basmalah.

Saya terkesima ketika kali pertama dibelajarkan guru kita, murobbi ruhina KH Ahmad Basyir (askanahullahu buhbuhata jannatih), tentang shalawat dan sejuta makna-hikmahnya. Beliau mengajarkan keagungan shalawat dari syafaatihi, dua bibir mulia beliau, ke dua bibir kami yang tak fasih ini. Banyak shalawat yang terjajarkan untuk kami, lafadz hingga maknawi; di antaranya shalawat Dalai’il Khairat, hingga shalawat Al Faith (halaman 27). Penulis terkesima dalam halaman 27 ini pada huruf “ta’ yang berjudul Ya Nabi Tuntun Tangan Kami” yakni penulis mengharapkan untuk dituntun dalam mengucapkan shalawat yang bisa fasih dalam mengucapkan dari dua bibir.

Dalam bab “Jim yang Percaya Allah dan yang Percaya Bakat” bab ini bertuliskan “Saya sudah melebihi bosan mendengar kata saya tidak berbakat menulis, saya benci kata-kata itu. Bukan hanya perkataan yang mengendalikan Allah. Seolah dia hendak mengatakan bahwa Allah tidak membakatinya. Atau seandainya pun ada saat dia mengatakan itu memang benar Allah belum membakatinya, seolah-olah dia tidak percaya bahwa Allah mampu meneteskan untuknya bakat itu sedetik setelah mengatakan Aku tidak bakat, seolah-olah dia dicipta oleh Tuhan yang tidak pemurah? (halaman 36), penulis menyampaikan tidak percaya adanya orang yang mengerdilkan penulis sama dengan mengerdilkan Allah. Jadi menjelekkan penulis sama dengan menjelekkan Allah. Maka harapan penulis agar penulis dibanggakan dengan tulisan yang bisa menuju surga. dengan demikian percaya dengan bakat penulis mengartikan penulis itu diberikan setetes hikmah yang menjadi barokah untuk menuju surga atau bisa mentaqwakan.

Saya masih terus-menerus terkesima dengan Syaikh Ibnu Atho’illah dan karya agungnya, Al Hikam yang melegenda itu, di bab pertama beliau mendedah tentang perangai orang yang mengandalkan amal dan nasib akhirnya. Beliau menasihatkan begini; “Di antara tanda mengandalkan amal adalah berkurangnya rasa mengharap kepada ampunan Allah ketika ia jatuh dalam kemaksiatan”, ibarot maqolah Syaikh Ibnu Atha’illah. Nasihat sufistik ini menebarkan banyak pesona maknawi, setidaknya dalam dhoif cara pandang saya (halaman 48). Dalam bab ini penulis berkali-kali terkesima coretan-coretan penulis yang terkenal yakni dari ulama’ sufi Ibnu Atha’illah yakni tidak selalu putus asa dari rahmat Allah.

Bicara tentang Baginda Nabi adalah kenikmatan kalbu tersendiri yang tidak bisa didapatkan oleh orang yang tidak mengamininya. Jangankan yang tidak mengimani, yang iman namun kurang menghormati Baginda Nabi, mereka pun tidak bisa merasakan indahnya bertutur tentang Nabi Muhammad.

Ada satu hal yang kita dengar tentang Baginda Nabi sejak kita masih kecil; satu hal itu adalah ummi; yakni sifat khusus yang tidak bisa membaca dan menulis; buta huruf. Kita sama-sama tahu bahwa sifat khusus ini bukanlah kelemahan beliau, melainkan justru kelebihan yang diberikan Allah, sebagai bukti tak terbantahkan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu, dan bukan buatan Nabi (halaman 54). Dalam bab ini penulis menyampaikan bahwa Baginda Nabi Muhammad untuk mengatakan “Jangan katakan baginda Nabi tidak bisa menulis”, namun baginda terkenalnya julukan ummi adalah seikat dengan kemukjizatan Al-Qur’an. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar