Menjadi Sarjana
Oleh: Komaruddin Hidayat
Sekitar empat dekade yang lalu, menyandang titel sarjana dari
perguruan tinggi negeri (PTN) itu sangat membanggakan dan jaminan diterima
sebagai pegawai negeri sipil (PNS) bagi yang berminat. Bagi orang tua pada
umumnya, kalau anaknya sudah tamat kuliah dan meraih titel sarjana, maka
langkah berikutnya adalah masuk menjadi PNS.
Dalam pandangan masyarakat kampung, menjadi PNS itu merupakan
idaman tertinggi. Orang tua sering berkata, PNS itu tiap bulan pasti panen,
tidak kenal musim kemarau atau musim hujan seperti yang dialami para petani.
Sawahnya tidak pernah dimakan tikus. Penghasilannya ajeg, setiap
bulan terima gaji. Makanya banyak orang tua yang menginginkan anak atau
menantunya bekerja sebagai pegawai negeri. Tapi sekarang keadaan sudah berubah.
Untuk diterima menjadi PNS, peluangnya semakin sempit. Saking
banyaknya peminat, sering terbetik berita bisik-bisik bahwa untuk bisa diterima
mesti membayar uang koneksi minimal Rp50 juta.
Pada tahun 80-an ketika tamat kuliah dari IAIN, jumlah pegawai
negeri di kampung saya, Pabelan, Magelang, tak melebihi jumlah jari tangan.
Salah satunya adalah ayah saya, Imam Hidayat, seorang tentara berpangkat
prajurit, katanya sebagai hadiah dari keikutsertaannya bergerilya melawan
Belanda dan Jepang. Sekolahnya setingkat SD pun tidak tamat. Ayah saya
perangainya sangat halus, sangat jauh dari kesan seorang militer.
Saya tidak pernah bercerita pengembaraanku sampai berhasil jadi
sarjana. Setahunya, saya bekerja di Jakarta. Yang selalu saya lakukan hanyalah
minta doa restu semoga selamat lahir-batin bekerja di Ibu Kota.
Menjelang tamat dari IAIN, almarhum Prof Harun Nasution, waktu itu
menjabat rektor, meminta agar saya nantinya mau bergabung menjadi dosen,
berarti masuk PNS. Sebuah tawaran yang menggembirakan, meskipun saya tidak
terlalu antusias karena sudah menikmati bekerja di dunia jurnalistik. Sejak
kecil, saya memang mencintai profesi guru. Kenangan masa kecilku tentang guru
begitu indah, damai, dan terhormat. Masih mudah mengingat kembali guru-guru SD
yang telah menjadi bagian dari perjalanan intelektual saya, antara lain Pak
Djumali, Bu Ambar, Pak Sugriwo, Pak Suratmin, Pak Suparman, Bu Romlah. Kadang
muncul keinginan berjumpa dan mencium tangan mereka sebagai tanda hormat dan
terima kasih, sekalipun saya tahu mereka sudah meninggal. Sering terpikir,
sebagai seorang dosen ataupun guru, apakah kesan dan penilaian mahasiswa
terhadap saya?
Sampai hari ini, jumlah sarjana ilmu sosial di Indonesia jauh
lebih banyak dibanding ilmu-ilmu alam dan teknik sehingga kekayaan alam yang
sedemikian melimpah belum bisa dieksplorasi secara efektif oleh putra-putra
bangsa sendiri. Konon ceritanya, Bung Karno banyak mengirimkan putra-putri
bangsa terbaik belajar ke negara blok Uni Soviet untuk mendalami ilmu teknik
dan nuklir, agar kekayaan alam Nusantara dikelola oleh bangsa sendiri. Tetapi
mimpi Bung Karno itu berantakan dengan terjadinya tragedi Gestapu, dan setelah
itu kiblat pendidikan kita beralih ke Barat, di mana ilmu sosial jadi
primadonanya. Sumber alam dieksplorasi dan dikuasai oleh modal asing (Barat).
Dari sekian banyak program studi, rasanya hanya kedokteran yang
paling jelas keahliannya. Begitu tamat langsung bekerja sebagai dokter. Sebagai
sarjana Ilmu Perbandingan Agama, saya sendiri merasa tidak jelas profesi apa
yang paling tepat. Saya mempelajari berbagai agama dan filsafat, namun tidak
cukup mendalam. Mirip profesi wartawan, merasa mengetahui banyak hal tetapi
serbasedikit. Sok tahu. Untunglah saya senang membaca buku ilmu-ilmu sosial,
meskipun hanya pengantar, sehingga sangat membantu untuk melakukan intellectual
adabtability dan mencari titik temu serta interkoneksitas antardisiplin ilmu.
Ini sangat diperlukan mengingat kehidupan ini pada kenyataannya merupakan
sebuah jejaring yang saling berkaitan (the web of life).
Sebagai sarjana Ilmu Perbandingan Agama, suatu keniscayaan untuk
mempelajari psikologi, antropologi, sosiologi, dan sejarah, mengingat semuanya
itu sangat instrumental untuk memahami perkembangan agama dari masa ke masa.
Diperlukan interdisiplin ilmu untuk mengkaji beragam ekspresi dan
praktik keberagamaan dalam masyarakat, sejak dari yang menonjolkan aspek
sufisme sampai gerakan fundamentalisme-radikalisme yang ingin mendirikan
kekhilafahan dan senang mengafirkan kelompok lain yang berbeda mazhab. Jadi,
praktik keberagamaan itu melahirkan banyak mazhab dan wajah.
Bagi orang luar, siapa pun alumni IAIN dianggap ahli ilmu
keislaman. Padahal, Islam sebagai warisan peradaban dan studi keilmuan, dibagi
ke dalam banyak cabang dan ranting sebagaimana tecermin dalam banyaknya jumlah fakultas
dan program studi UIN (Universitas Islam Negeri) hari ini.
Oleh karena itu, muncul candaan dan kritik terhadap alumni IAIN
yang bergelar S Ag atau Sarjana Agama, lalu dipelesetkan menjadi Sarjana Alam
gaib, karena yang dibicarakan seputar akhirat, atau Sarjana Acan gawe, karena
sulit cari pekerjaan.
Dengan berubahnya IAIN menjadi UIN, dari institut ke universitas,
banyak kajian dibuka, khususnya di UIN Jakarta, seperti kedokteran, ekonomi,
psikologi, politik, sains, yang diintegrasikan dengan studi keislaman sebagai
sarana mobilitas intelektual anak-anak santri agar memiliki kecakapan
teknokratik. Tapi sangat disayangkan, pihak Kemenristek-Dikti tidak paham atau
tidak ingin memahami agenda integrasi keilmuan ini sehingga kurang sportif pada
agenda UIN untuk membuka prodi sains, misalnya jurusan Pertambangan atau
Geologi yang jelas-jelas dibutuhkan oleh kaum santri agar ikut serta
mengeksplorasi dan mengelola kekayaan alam negeri tercinta ini.
Dunia perguruan tinggi sekarang ini tidak lagi hanya menekankan
diri sebagai Teaching University, tetapi sudah bergerak menjadi Research
University. Bahkan beberapa perguruan tinggi sudah berada dalam tahapan
Entrepreneurial University. Masing-masing memiliki standar dan karakter
tersendiri. []
KORAN SINDO, 26 Februari 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar