Rabu, 02 Maret 2016

Kang Komar: Menjadi Sarjana



Menjadi Sarjana
Oleh: Komaruddin Hidayat

Sekitar empat dekade yang lalu, menyandang titel sarjana dari perguruan tinggi negeri (PTN) itu sangat membanggakan dan jaminan diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) bagi yang berminat. Bagi orang tua pada umumnya, kalau anaknya sudah tamat kuliah dan meraih titel sarjana, maka langkah berikutnya adalah masuk menjadi PNS.

Dalam pandangan masyarakat kampung, menjadi PNS itu merupakan idaman tertinggi. Orang tua sering berkata, PNS itu tiap bulan pasti panen, tidak kenal musim kemarau atau musim hujan seperti yang dialami para petani.

Sawahnya tidak pernah dimakan tikus. Penghasilannya ajeg, setiap bulan terima gaji. Makanya banyak orang tua yang menginginkan anak atau menantunya bekerja sebagai pegawai negeri. Tapi sekarang keadaan sudah berubah.

Untuk diterima menjadi PNS, peluangnya semakin sempit. Saking banyaknya peminat, sering terbetik berita bisik-bisik bahwa untuk bisa diterima mesti membayar uang koneksi minimal Rp50 juta.

Pada tahun 80-an ketika tamat kuliah dari IAIN, jumlah pegawai negeri di kampung saya, Pabelan, Magelang, tak melebihi jumlah jari tangan. Salah satunya adalah ayah saya, Imam Hidayat, seorang tentara berpangkat prajurit, katanya sebagai hadiah dari keikutsertaannya bergerilya melawan Belanda dan Jepang. Sekolahnya setingkat SD pun tidak tamat. Ayah saya perangainya sangat halus, sangat jauh dari kesan seorang militer.
Saya tidak pernah bercerita pengembaraanku sampai berhasil jadi sarjana. Setahunya, saya bekerja di Jakarta. Yang selalu saya lakukan hanyalah minta doa restu semoga selamat lahir-batin bekerja di Ibu Kota.

Menjelang tamat dari IAIN, almarhum Prof Harun Nasution, waktu itu menjabat rektor, meminta agar saya nantinya mau bergabung menjadi dosen, berarti masuk PNS. Sebuah tawaran yang menggembirakan, meskipun saya tidak terlalu antusias karena sudah menikmati bekerja di dunia jurnalistik. Sejak kecil, saya memang mencintai profesi guru. Kenangan masa kecilku tentang guru begitu indah, damai, dan terhormat. Masih mudah mengingat kembali guru-guru SD yang telah menjadi bagian dari perjalanan intelektual saya, antara lain Pak Djumali, Bu Ambar, Pak Sugriwo, Pak Suratmin, Pak Suparman, Bu Romlah. Kadang muncul keinginan berjumpa dan mencium tangan mereka sebagai tanda hormat dan terima kasih, sekalipun saya tahu mereka sudah meninggal. Sering terpikir, sebagai seorang dosen ataupun guru, apakah kesan dan penilaian mahasiswa terhadap saya?

Sampai hari ini, jumlah sarjana ilmu sosial di Indonesia jauh lebih banyak dibanding ilmu-ilmu alam dan teknik sehingga kekayaan alam yang sedemikian melimpah belum bisa dieksplorasi secara efektif oleh putra-putra bangsa sendiri. Konon ceritanya, Bung Karno banyak mengirimkan putra-putri bangsa terbaik belajar ke negara blok Uni Soviet untuk mendalami ilmu teknik dan nuklir, agar kekayaan alam Nusantara dikelola oleh bangsa sendiri. Tetapi mimpi Bung Karno itu berantakan dengan terjadinya tragedi Gestapu, dan setelah itu kiblat pendidikan kita beralih ke Barat, di mana ilmu sosial jadi primadonanya. Sumber alam dieksplorasi dan dikuasai oleh modal asing (Barat).

Dari sekian banyak program studi, rasanya hanya kedokteran yang paling jelas keahliannya. Begitu tamat langsung bekerja sebagai dokter. Sebagai sarjana Ilmu Perbandingan Agama, saya sendiri merasa tidak jelas profesi apa yang paling tepat. Saya mempelajari berbagai agama dan filsafat, namun tidak cukup mendalam. Mirip profesi wartawan, merasa mengetahui banyak hal tetapi serbasedikit. Sok tahu. Untunglah saya senang membaca buku ilmu-ilmu sosial, meskipun hanya pengantar, sehingga sangat membantu untuk melakukan intellectual adabtability dan mencari titik temu serta interkoneksitas antardisiplin ilmu. Ini sangat diperlukan mengingat kehidupan ini pada kenyataannya merupakan sebuah jejaring yang saling berkaitan (the web of life).

Sebagai sarjana Ilmu Perbandingan Agama, suatu keniscayaan untuk mempelajari psikologi, antropologi, sosiologi, dan sejarah, mengingat semuanya itu sangat instrumental untuk memahami perkembangan agama dari masa ke masa.

Diperlukan interdisiplin ilmu untuk mengkaji beragam ekspresi dan praktik keberagamaan dalam masyarakat, sejak dari yang menonjolkan aspek sufisme sampai gerakan fundamentalisme-radikalisme yang ingin mendirikan kekhilafahan dan senang mengafirkan kelompok lain yang berbeda mazhab. Jadi, praktik keberagamaan itu melahirkan banyak mazhab dan wajah.

Bagi orang luar, siapa pun alumni IAIN dianggap ahli ilmu keislaman. Padahal, Islam sebagai warisan peradaban dan studi keilmuan, dibagi ke dalam banyak cabang dan ranting sebagaimana tecermin dalam banyaknya jumlah fakultas dan program studi UIN (Universitas Islam Negeri) hari ini.

Oleh karena itu, muncul candaan dan kritik terhadap alumni IAIN yang bergelar S Ag atau Sarjana Agama, lalu dipelesetkan menjadi Sarjana Alam gaib, karena yang dibicarakan seputar akhirat, atau Sarjana Acan gawe, karena sulit cari pekerjaan.

Dengan berubahnya IAIN menjadi UIN, dari institut ke universitas, banyak kajian dibuka, khususnya di UIN Jakarta, seperti kedokteran, ekonomi, psikologi, politik, sains, yang diintegrasikan dengan studi keislaman sebagai sarana mobilitas intelektual anak-anak santri agar memiliki kecakapan teknokratik. Tapi sangat disayangkan, pihak Kemenristek-Dikti tidak paham atau tidak ingin memahami agenda integrasi keilmuan ini sehingga kurang sportif pada agenda UIN untuk membuka prodi sains, misalnya jurusan Pertambangan atau Geologi yang jelas-jelas dibutuhkan oleh kaum santri agar ikut serta mengeksplorasi dan mengelola kekayaan alam negeri tercinta ini.

Dunia perguruan tinggi sekarang ini tidak lagi hanya menekankan diri sebagai Teaching University, tetapi sudah bergerak menjadi Research University. Bahkan beberapa perguruan tinggi sudah berada dalam tahapan Entrepreneurial University. Masing-masing memiliki standar dan karakter tersendiri. []

KORAN SINDO, 26 Februari 2016
Komaruddin Hidayat ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar