Mana Haluan Negara Kita
Oleh: Moh Mahfud MD
Sekarang banyak tudingan, negara kita berjalan tak terarah dan
tanpa haluan. Bahkan saya sering ditanya, apakah kita sudah siap berdemokrasi.
Bagi saya sih jawabannya gampang, tinggal dibalik: apakah kita ini siap tidak
berdemokrasi?
Tentu hampir semua kita akan menjawab, kita lebih tidak siap untuk
tidak berdemokrasi. Artinya, demokrasi tetaplah pilihan yang terbaik dari semua
system yang tersedia yang semuanya mengandung kelemahan atau peluang
disalahgunakan. Jadi tidak relevan lagi berdebat tentang telah tepatnya kita
memilih sistem demokrasi.
Tetapi mengapa demokrasi kita tidak terarah? Ada yang mengatakan,
semua itu terjadi karena sekarang kita tidak mempunyai haluan negara yang bisa
diterapkan dan dikontrol seperti GBHN era Ode Baru.
Maka ada yang mengusulkan, sebaiknya kita menghidupkan kembali
GBHN yang dilaksanakan oleh pemerintah dan dipertanggungjawabkan kepada MPR,
dikontrol oleh MPR/DPR dengan kemungkinan dilakukannya impeachment (pemakzulan)
jika presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara.
Oleh sebab itu diusulkan pula agar kita menghidupkan kembali Pasal
3 UUD 1945 yang asli yang menyatakan, ”Majelis Permusyawaratan Rakyat
menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara”.
Katanya, kalau pasal tersebut dihidupkan maka ada dasar konstitusional untuk
menghidupkan kembali GBHN dan kita bisa mempunyai haluan negara.
Sebenarnya kelirulah kalau ketentuan Pasal 3 UUD 1945 yang lama
itu dinyatakan sebagai dasar adanya GBHN sebagai nama dan bentuk hukum resmi
dari haluan negara. Arah atau peta jalan haluan negara memang harus ada tetapi
namanya tidak harusGBHN.
Dalam praktik ketatanegaraan kita saat berlakunya UUD 1945 sebelum
diamendemen pun turunan pasal 3 yang diberi nama resmi GBHN itu baru dikenal
sejak 1973, yakni ketika pemerintahan Orde Baru mengeluarkan Ketetapan MPR No.
IV/MPR/ 1973 tentang Garisgaris Besar Haluan Negara.
Sebelum itu, pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, peta jalan
haluan negara kita bukan bernama GBHN, melainkan bernama Manifesto Politik
(Manipol) yang dituangkan di dalam Ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 tentang
Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama
1961-1969 (GBPPNSB).
Jadi meskipun dasarnya sama-sama Pasal 3 UUD 1945 namun
pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru memberi nama dan masa keberlakuan yang
berbeda atas haluan negara. Pada zaman Presiden Soekarno, haluan negara kita
adalah Manipol yang dituangkan ke Tap MPRS tentang GBPPNSB dengan masa berlaku
sembilan tahun, sedangkan pada zaman Presiden Soeharto haluan negara kita
disebut Repelita dan atau Pelita yang dituangkan ke dalam Tap MPR tentang GBHN.
Pada era Orde Baru peta jalan haluan negara dituangkan dalam
rangkaian pembangunan berkesinambungan yang jangka panjangnya dipenggal-penggal
ke dalam jangka panjang 25 tahunan yang dipenggal lagi ke dalam jangka menengah
lima tahunan dan jangka pendek tahunan. Apa arti semua itu? Artinya, GBHN itu
bukanlah nama dan bentuk resmi haluan yang harus lahir dari Pasal 3 UUD 1945.
GBHN hanyalah nama yang diberikan oleh pemerintahan Orde Baru
untuk menentukan haluan negara. Buktinya zaman Presiden Soekarno yang dipakai
adalah Manipol dengan Tap MPRS tentang GPPNSB. Dengan demikian membuat haluan
negara memang tidak harus dalam bentuk dan nama GBHN.
Harus diingat, pada era reformasi ini kita juga mempunyai haluan
negara sebagai turunan dari UUD 1945 yang sudah diamendemen yakni UU No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU No. 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Jangkauan pembangunan kita menurut UU SPPN dan UU RPJPN adalah 20 tahunan untuk
jangka panjang dan lima tahun untuk jangka menengah, dan tahunan untuk jangka
pendek.
Haluan negara kita di bawah UUD pada era reformasi ini memang
tidak diberi baju hukum Tap MPR karena berdasar sistem ketatanegaraan sekarang
MPR tidak lagi mengeluarkan Tap yang bersifat mengatur (regeling). Tidak benar
juga kalau dalam sistem yang sekarang dikatakan menyebabkan terputusnya
pembangunan yang berkesinambungan sehingga kalau ”ganti Presiden, ganti
haluan”.
Tidak begitu. Di dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2007
ditegaskan bahwa agar pembangunan bisa berkesinambungan maka presiden yang akan
mengakhiri masa tugasnya (harus) membuatkan program kerja untuk presiden yang
akan menggantikannya. Sebenarnya persoalannya, bukan kita tidak punya haluan
atau salah arah.
Kalau kita rekonstruksi UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun
2007 maka substansinya sama belaka dengan tap-tap MPR tentang GBHN. Bahkan
dengan adanya Perpres No. 2 Tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Jokowi
tanggal 8 Januari 2015, sebenarnya konstruksi haluan negara dan rencana
pembangunan kita sama dengan Repelita zaman Orde Baru yang setiap lima tahun
dikeluarkan oleh presiden melalui keppres.
Persoalan kita sebenarnya adalah tidak adanya konsistensi karena
selalu terjadi torpedo politik terhadap haluan yang ada. Pada masa lalu pun
Manipol atau GBHN selalu dikritik, seperti halnya SPPN dan RPJPN sekarang ini.
Tetapi kalau karena romantika kita akan kembali ke nama dan
konstruksi GBHN, hal itu bisa saja baik melalui perubahan nama UU SPPN menjadi
UU GBHN maupun melalui amandemen kembali ke Pasal 3 UUD 1945 yang asli.
Pemberlakuan UUD itu, kan kesepakatan kita saja. []
KORAN SINDO, 05 Maret 2016
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) se Indonesia; Ketua MK periode
2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar