Efektivitas
Pengawasan KPK
Oleh:
Bambang Soesatyo
Setelah
sekian lama mengungkap beragam modus para koruptor mengakali anggaran
pembangunan, sangat relevan jika pada waktunya nanti Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mau berinisiatif memberi rekomendasi tentang metode meningkatkan
efektivitas sistem pengawasan, baik kepada pemerintah maupun DPR.
Peningkatan
efektivitas sistem pengawasan harus terus diupayakan karena penindakan saja
sudah terbukti tidak cukup kuat untuk mengurangi hasrat melakukan tindak pidana
korupsi (tipikor). Akumulasi penindakan oleh KPK yang telah mempermalukan
ribuan koruptor ternyata belum juga menimbulkan efek jera. Pun tidak membuat
para pelaku tipikor merasa dipermalukan.
Jumlah
kasus korupsi tetap saja tinggi. Dalam banyak kasus, pelakunya juga melibatkan
oknum dari unsur swasta. Beberapa kasus bahkan melibatkan anggota keluarga;
ayah dan anak, kakak dan adik, atau suami-istri. Barubaru ini, pengadilan
memvonis mantan Gubernur Sumatera Utara dan istrinya karena terbukti mengorupsi
dana bantuan sosial (bansos).
Dalam
banyak kasus, keluarga terpidana kasus korupsi tidak malu-malu mempertontonkan
pola hidup mewah. Mereka seperti merasa tidak ada yang salah dengan gaya hidup
seperti itu kendati sudah jelas bahwa pola hidup berlebih itu dibiayai dengan
hasil korupsi. Kecenderungan ini menjadi bukti yang cukup relevan untuk
mengatakan bahwa rangkaian aksi penindakan oleh KPK selama belasan tahun
terakhir ini belum berhasil membuat orang takut melakukan tipikor.
Eksistensi
dan kerja KPK selama ini gagal membangun efek jera. Menurut sejumlah kalangan,
ada beberapa alasan yang menyebabkan efek jera melakukan tipikor itu tidak juga
tumbuh. Pertama, sanksi hukum terhadap terpidana kasus korupsi terbilang sangat
ringan. Kedua, tidak ada keberanian pada sistem peradilan untuk memiskinkan
terpidana koruptor dan keluarganya.
Semua
terpidana koruptor bahkan tidak dibebani dengan sanksi sosial lainnya. Hak
mereka sebagai warga negara sama dengan semua orang lain yang tidak pernah
melakukan tipikor. Karena itu, tidak perlu heran jika praktik tipikor tetap
marak, baik untuk kasus berskala kecil maupun besar. Setiap tahun dilakukan
evaluasi tentang jumlah kasus, aspek kerugian negara hingga uang negara yang
berhasil diselamatkan.
Kalau
dicermati betul, yang terlihat adalah kurva yang fluktuatif, tetapi dalam skala
perubahan yang sama sekali tidak signifikan. Jumlah kasus mungkin saja turun,
tetapi penurunannya tidaksignifikan. Selalu saja begitu. Artinya, aksi
pemberantasan korupsi di negara ini seperti berjalan di tempat. Publik hanya
dipuaskan dengan suguhan berita atau informasi penindakan dari operasi tangkap
tangan (OTT) KPK. Hasil OTT memang harus selalu diapresiasi.
Tapi,
semua hasil OTT bukanlah yang utama. Paling utama dari aksi pemberantasan
tipikor adalah kesadaran semua orang bahwa tipikor adalah kejahatan terhadap
warga negara. Kalaupun kesadaran itu tidak merata pada semua orang, minimal
terbangun efek jera. Karena efek jera itu belum juga terbangun, tentu harus dirumuskan
strategi lain, yang minimal bisa menekan praktik tipikor.
Opsi yang
paling mungkin dan masuk akal adalah meningkatkan efektivitas pengawasan
sebagai instrumen pencegahan tipikor. Upaya itu bukanlah sesuatu yang baru
karena pemerintahan dimasa lalu pernah coba memaksimalkan pengawasan internal
dengan program yang disebut pengawasan melekat (waskat). Sejatinya, prinsip
waskat tetap dipraktikkan hingga kini.
Tapi
waskat itu telah diselewengkan, antara lain untuk melakukan korupsi berjamaah.
Aksi tipikor menjadi aksi bersama dalam sebuah satuan kerja. Atasan maupun
bawahan sama-sama tahu dan saling mengawasi dalam mempraktikkan tipikor itu
supaya tidak ada kecurangan dalam pembagian uang dari perbuatan haram itu.
Rekomendasi
KPK
Karena
KPK telah berhasil mendeteksi dan mengenali semua modus pelaku tipikor selama
ini, boleh diasumsikan bahwa KPK telah membuat sejumlah analisis tentang
bagaimana para pelaku tipikor bisa mengakali anggaran pembangunan negara demi
kepentingan sendiri dan teman- temannya. Karena sudah mengenal ragam modus
tipikor, KPK pun setidaknya tahu bagaimana menangkal atau mencegah berulangnya
modus tipikor serupa.
Idealnya,
strategi atau sistem pencegahan melalui mekanisme pengawasan yang efektif
itumulai bisa diberlakukan sejak proses perencanaan proyek, kelayakan,
penghitungan anggaran proyek, tahap lelang, pelaksanaan atau realisasi proyek
hingga tahap memonitor spesifikasi material proyek.
Mekanisme
pencegahan sekaligus pengawasan ini sudah bisa diterapkan berkat dukungan
teknologi informasi. Sejumlah perusahaan besar swasta asing menggunakan
teknologi dimaksud sejak perencanaan proyek, kalkulasi anggaran hingga
pengontrolan spesifikasi material proyek. Pada kasus proyek Hambalang yang
bermasalah, KPK tentu menemukan beberapa modus.
Bahkan
KPK mau berinisitiatif untuk menyatakan pendapat yang dialamatkan kepada
pemerintah; bahwa untuk meneruskan pembangunan proyek Hambalang, pemerintah
diminta memperhatikan pendapat pakar. Apalagi setelah tim dari Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) meneliti dan menyatakan lokasi
proyek itu di zona rawan.
Pertanyaannya
adalah mengapa proyek yang telah menghabiskan anggaran Rp2,7 triliun itu bisa
lolos dalam tahap usulan dan pembahasan anggarannya? Di mana letak kelemahan
pengawasannya sehingga proyek itu disetujui kendati dibangun di lokasi yang
rawan bencana?
Selama
peradilan kasus ini, dimunculkan beberapa catatan dari para ahli tentang
kejanggalan proyek ini. Misalnya, lokasi proyek Hambalang berada dalam zona
kerentanan gerakan tanah menengah tinggi sebagaimana Peta Rawan. Pendapat
lainnya menegaskan, terjadi kegagalan system management design dan konstruksi
proyek yang telah menyebabkan kegagalan proyek. Selain itu, proses pembahasan
di DPR pun mengandung sejumlah kejanggalan.
Dengan
begitu, kasus proyek Hambalang mencerminkan lemahnya pengawasan lintas
instansi. Lemahnya koordinasi pengawasan lintas instansi mendorong perilaku
tidak peduli pada aspek prudent (kehatihatian). Kementerian Pemuda dan Olahraga
(Kemenpora) yakin proyek itu layak walau tidak didukung penelitian geologi yang
kuat. Akibatnya, kendati proyek itu sarat risiko, anggaran proyeknya disetujui
dan dicairkan.
Pada
tahap menyetujui dan mencairkan anggaran proyek ini, jelas bahwa aspek prudent
diabaikan. Kalau saja pengawasan lintas instansi terkoordinasi dengan efektif,
kasus proyek Hambalang pasti tidak pernah ada. Contoh kasus lainnya yang
mencerminkan lemahnya koordinasi pengawasan kasus pengadaan alat
uninterruptible power supply (UPS) untuk sekolahsekolah di Jakarta Pusat dan
Jakarta Barat pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI tahun 2014.
Pengadaan
UPS diidentifikasi sebagai anggaran siluman. Sekolah sebagai pengguna tidak
pernah mengajukan permintaan UPS, tetapi pada APBD DKI ada anggaran untuk
pengadaan UPS. Kasus ini bisa terjadi karena institusi pengawasan tidak pernah
berusaha mendapatkan konfirmasi dari pihak sekolah.
Dari
catatan tentang ragam modus pelaku tipikor selama ini, KPK bisa mengetahui dan
menunjuk kelemahankelemahan dalam pengawasan pembangunan nasional. Bahkan KPK
pun bisa menemukan cara untuk menutup semua kelemahan pada aspek pengawasan
itu.
Pendapat
KPK itulah yang diharapkan menjadi dasar untuk memberikan rekomendasi kepada
pemerintah maupun DPR guna mencari rumusan baru bagi peningkatan efektivitas
pengawasan. Sudah barang tentu pendapat atau rekomendasi KPK itu tidak harus
final. Tentunya harus didiskusikan terlebih dahulu dengan semua institusi
terkait.
Sudah
waktunya KPK menunjuk kelemahan sistem pengawasan dan berani merekomendasikan
metode meningkatkan efektivitas sistem pengawasan. Sebab, penindakan saja gagal
menumbuhkan efek jera bagi calon pelaku tipikor. []
KORAN
SINDO, 24 Maret 2016
Bambang Soesatyo ; Ketua Komisi III DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar