Rabu, 30 Maret 2016

BamSoet: Efektivitas Pengawasan KPK



Efektivitas Pengawasan KPK
Oleh: Bambang Soesatyo

Setelah sekian lama mengungkap beragam modus para koruptor mengakali anggaran pembangunan, sangat relevan jika pada waktunya nanti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mau berinisiatif memberi rekomendasi tentang metode meningkatkan efektivitas sistem pengawasan, baik kepada pemerintah maupun DPR.

Peningkatan efektivitas sistem pengawasan harus terus diupayakan karena penindakan saja sudah terbukti tidak cukup kuat untuk mengurangi hasrat melakukan tindak pidana korupsi (tipikor). Akumulasi penindakan oleh KPK yang telah mempermalukan ribuan koruptor ternyata belum juga menimbulkan efek jera. Pun tidak membuat para pelaku tipikor merasa dipermalukan.

Jumlah kasus korupsi tetap saja tinggi. Dalam banyak kasus, pelakunya juga melibatkan oknum dari unsur swasta. Beberapa kasus bahkan melibatkan anggota keluarga; ayah dan anak, kakak dan adik, atau suami-istri. Barubaru ini, pengadilan memvonis mantan Gubernur Sumatera Utara dan istrinya karena terbukti mengorupsi dana bantuan sosial (bansos).

Dalam banyak kasus, keluarga terpidana kasus korupsi tidak malu-malu mempertontonkan pola hidup mewah. Mereka seperti merasa tidak ada yang salah dengan gaya hidup seperti itu kendati sudah jelas bahwa pola hidup berlebih itu dibiayai dengan hasil korupsi. Kecenderungan ini menjadi bukti yang cukup relevan untuk mengatakan bahwa rangkaian aksi penindakan oleh KPK selama belasan tahun terakhir ini belum berhasil membuat orang takut melakukan tipikor.

Eksistensi dan kerja KPK selama ini gagal membangun efek jera. Menurut sejumlah kalangan, ada beberapa alasan yang menyebabkan efek jera melakukan tipikor itu tidak juga tumbuh. Pertama, sanksi hukum terhadap terpidana kasus korupsi terbilang sangat ringan. Kedua, tidak ada keberanian pada sistem peradilan untuk memiskinkan terpidana koruptor dan keluarganya.

Semua terpidana koruptor bahkan tidak dibebani dengan sanksi sosial lainnya. Hak mereka sebagai warga negara sama dengan semua orang lain yang tidak pernah melakukan tipikor. Karena itu, tidak perlu heran jika praktik tipikor tetap marak, baik untuk kasus berskala kecil maupun besar. Setiap tahun dilakukan evaluasi tentang jumlah kasus, aspek kerugian negara hingga uang negara yang berhasil diselamatkan.

Kalau dicermati betul, yang terlihat adalah kurva yang fluktuatif, tetapi dalam skala perubahan yang sama sekali tidak signifikan. Jumlah kasus mungkin saja turun, tetapi penurunannya tidaksignifikan. Selalu saja begitu. Artinya, aksi pemberantasan korupsi di negara ini seperti berjalan di tempat. Publik hanya dipuaskan dengan suguhan berita atau informasi penindakan dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Hasil OTT memang harus selalu diapresiasi.

Tapi, semua hasil OTT bukanlah yang utama. Paling utama dari aksi pemberantasan tipikor adalah kesadaran semua orang bahwa tipikor adalah kejahatan terhadap warga negara. Kalaupun kesadaran itu tidak merata pada semua orang, minimal terbangun efek jera. Karena efek jera itu belum juga terbangun, tentu harus dirumuskan strategi lain, yang minimal bisa menekan praktik tipikor.

Opsi yang paling mungkin dan masuk akal adalah meningkatkan efektivitas pengawasan sebagai instrumen pencegahan tipikor. Upaya itu bukanlah sesuatu yang baru karena pemerintahan dimasa lalu pernah coba memaksimalkan pengawasan internal dengan program yang disebut pengawasan melekat (waskat). Sejatinya, prinsip waskat tetap dipraktikkan hingga kini.

Tapi waskat itu telah diselewengkan, antara lain untuk melakukan korupsi berjamaah. Aksi tipikor menjadi aksi bersama dalam sebuah satuan kerja. Atasan maupun bawahan sama-sama tahu dan saling mengawasi dalam mempraktikkan tipikor itu supaya tidak ada kecurangan dalam pembagian uang dari perbuatan haram itu.

Rekomendasi KPK

Karena KPK telah berhasil mendeteksi dan mengenali semua modus pelaku tipikor selama ini, boleh diasumsikan bahwa KPK telah membuat sejumlah analisis tentang bagaimana para pelaku tipikor bisa mengakali anggaran pembangunan negara demi kepentingan sendiri dan teman- temannya. Karena sudah mengenal ragam modus tipikor, KPK pun setidaknya tahu bagaimana menangkal atau mencegah berulangnya modus tipikor serupa.

Idealnya, strategi atau sistem pencegahan melalui mekanisme pengawasan yang efektif itumulai bisa diberlakukan sejak proses perencanaan proyek, kelayakan, penghitungan anggaran proyek, tahap lelang, pelaksanaan atau realisasi proyek hingga tahap memonitor spesifikasi material proyek.

Mekanisme pencegahan sekaligus pengawasan ini sudah bisa diterapkan berkat dukungan teknologi informasi. Sejumlah perusahaan besar swasta asing menggunakan teknologi dimaksud sejak perencanaan proyek, kalkulasi anggaran hingga pengontrolan spesifikasi material proyek. Pada kasus proyek Hambalang yang bermasalah, KPK tentu menemukan beberapa modus.

Bahkan KPK mau berinisitiatif untuk menyatakan pendapat yang dialamatkan kepada pemerintah; bahwa untuk meneruskan pembangunan proyek Hambalang, pemerintah diminta memperhatikan pendapat pakar. Apalagi setelah tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) meneliti dan menyatakan lokasi proyek itu di zona rawan.

Pertanyaannya adalah mengapa proyek yang telah menghabiskan anggaran Rp2,7 triliun itu bisa lolos dalam tahap usulan dan pembahasan anggarannya? Di mana letak kelemahan pengawasannya sehingga proyek itu disetujui kendati dibangun di lokasi yang rawan bencana?

Selama peradilan kasus ini, dimunculkan beberapa catatan dari para ahli tentang kejanggalan proyek ini. Misalnya, lokasi proyek Hambalang berada dalam zona kerentanan gerakan tanah menengah tinggi sebagaimana Peta Rawan. Pendapat lainnya menegaskan, terjadi kegagalan system management design dan konstruksi proyek yang telah menyebabkan kegagalan proyek. Selain itu, proses pembahasan di DPR pun mengandung sejumlah kejanggalan.

Dengan begitu, kasus proyek Hambalang mencerminkan lemahnya pengawasan lintas instansi. Lemahnya koordinasi pengawasan lintas instansi mendorong perilaku tidak peduli pada aspek prudent (kehatihatian). Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yakin proyek itu layak walau tidak didukung penelitian geologi yang kuat. Akibatnya, kendati proyek itu sarat risiko, anggaran proyeknya disetujui dan dicairkan.

Pada tahap menyetujui dan mencairkan anggaran proyek ini, jelas bahwa aspek prudent diabaikan. Kalau saja pengawasan lintas instansi terkoordinasi dengan efektif, kasus proyek Hambalang pasti tidak pernah ada. Contoh kasus lainnya yang mencerminkan lemahnya koordinasi pengawasan kasus pengadaan alat uninterruptible power supply (UPS) untuk sekolahsekolah di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI tahun 2014.

Pengadaan UPS diidentifikasi sebagai anggaran siluman. Sekolah sebagai pengguna tidak pernah mengajukan permintaan UPS, tetapi pada APBD DKI ada anggaran untuk pengadaan UPS. Kasus ini bisa terjadi karena institusi pengawasan tidak pernah berusaha mendapatkan konfirmasi dari pihak sekolah.

Dari catatan tentang ragam modus pelaku tipikor selama ini, KPK bisa mengetahui dan menunjuk kelemahankelemahan dalam pengawasan pembangunan nasional. Bahkan KPK pun bisa menemukan cara untuk menutup semua kelemahan pada aspek pengawasan itu.

Pendapat KPK itulah yang diharapkan menjadi dasar untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah maupun DPR guna mencari rumusan baru bagi peningkatan efektivitas pengawasan. Sudah barang tentu pendapat atau rekomendasi KPK itu tidak harus final. Tentunya harus didiskusikan terlebih dahulu dengan semua institusi terkait.

Sudah waktunya KPK menunjuk kelemahan sistem pengawasan dan berani merekomendasikan metode meningkatkan efektivitas sistem pengawasan. Sebab, penindakan saja gagal menumbuhkan efek jera bagi calon pelaku tipikor. []

KORAN SINDO, 24 Maret 2016
Bambang Soesatyo ;  Ketua Komisi III DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar