Tak Pilih Ahok, Memilih Ahok
Oleh: Moh Mahfud MD
Akhir pekan lalu, seusai memberi kuliah di Pascasarjana UGM kelas
Jakarta, saya turun dengan satu lift bersama beberapa mahasiswa untuk pulang
dari kampus yang terletak di Jalan Saharjo, Manggarai itu.
Di dalam lift terjadi pembicaraan. ”Eh, jadi kamu pilih siapa pada
Pilgub DKI besok?” tanya seorang mahasiswa kepada seorang mahasiswi. ”Aku tak
pilih Ahok,” jawab mahasiswi yang ditanya itu. Karena jawaban ”Aku tak pilih
Ahok” itu diucapkan dalam bahasa Jawa maka berarti mahasiswi itu akan memilih
Ahok.
Dalam bahasa Jawa kata ”tak” itu berarti akan. Seumpama sang
mahasiswi tak mau memilih Ahok, tentu jawabannya (dalam bahasa Jawa), ”Aku gak
tak pilih Ahok”. Mahasiswi itu pun menjelaskan alasannya dengan penuh semangat.
Katanya, Ahok tegas dan berani melawan korupsi. Seorang mahasiswa lain
menimpali.
”Kalau saya akan pilih Yusril, dia juga antikorupsi dan banyak
pengalaman,” katanya dengan tegas. Yang ini dinyatakan dengan bahasa Indonesia
yang jelas sehingga artinya pun jelas: dia akan memilih Yusril. ”Yusril itu
oye, ” tegasnya. ”Loh, Ahok bukan hanya oye tapi juga ayo,” bantah si
mahasiswi. Tiba-tiba seorang mahasiswa menyeletuk. ”Kalau Pak Mahfud akan
memilih siapa?” tanyanya.
Saya agak kaget, mahasiswa-mahasiswa di lift itu pun melihat saya.
Ada yang tampak heran karena ada mahasiswa menanyakan itu kepada dosen yang
baru saja memberi kuliah Politik Hukum selama 2,5 jam. ”Saya tidak akan memilih
Ahok. Tidak akan,” jawab saya. Mahasiswa-mahasiswa itu berebutan memberondong
saya.
”Mengapa? Apakah Bapak akan memilih Yusril? Apakah Bapak tidak
setuju calon independen? Apakah karena akan terjadi deparpolisasi? Ataukah
Bapak akan memilih Ahmad Dhani?” demikian berondongan mereka. ”Saya tidak akan
memilih Ahok. Saya juga tidak akan memilih Yusril, Dhani, Adhyaksa, Uno, atau
siapa pun karena saya orang Yogya. Saya tak punya hak pilih di Jakarta. Saya
ber-KTP Yogya,” kata saya.
Di antara mereka ada yang tersenyum-senyum, tetapi ada juga yang
seperti agak kaget mendengar saya ber-KTP Yogya, padahal sudah lebih dari 15
tahun bertugas di Jakarta. Lift berhenti di lobi kampus, kami pun keluar menuju
kendaraan masingmasing untuk pulang. Celotehan-celotehan yang hanya berlangsung
beberapa saat itu cukuplah membawa saya merenung banyak hal.
Ternyata Pilgub DKI Jakarta bukan hanya ramai di koran, televisi,
dan media sosial, tetapi riuh juga di jalanan, perkuliahan, warung makan, dan
tempat-tempat lain. Banyak juga yang peduli pada soal deparpolisasi versus
calon independen. Rasanya tidaklah perlu kita memperdebatkan, apakah munculnya
calon independen harus berarti deparpolisasi.
Sebagai bagian dari sistem, keduanya harus dibiarkan berjalan
tanpa dipertentangkan karena keduanya sama-sama konstitusional. Parpol adalah
bagian dari sokoguru demokrasi yang diniscayakan oleh konstitusi kita. UUD
Negara Republik Indonesia 1945 menyebut adanya parpol secara eksplisit, seperti
yang dimuat di dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3). Oleh karena itu,
tidak boleh ada deparpolisasi.
Parpol adalah instrumen utama demokrasi yang keberadaannya harus
disehatkan dan dikuatkan. Deparpolisasi yang berdempetan dengan kebencian
terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena dianggap sebagai sarang korupsi,
tidak boleh diterus-teruskan. Teriakan-teriakan seperti yang muncul dalam
berbagai dialog interaktif dan perang opini, ”bubarkan parpol, bubarkan DPR”
harus dihentikan.
Adalah lebih baik ada parpol dan DPR yang buruk daripada tidak ada
parpol dan DPR. Itu dalilnya. Tidaklah terbayangkan akan seperti apa negara ini
jika tidak ada parpol dan DPR, sebab bukan hanya kesewenang-wenangan yang akan
merajalela, melainkan juga korupsi dan kolusi yang lebih menggurita.
Maka itu, sudah tepatlah kita menganut prinsip demokrasi dengan
instrumen, antara lain, harus ada parpol dan DPR menurut konstitusi kita.
Sudahlah pasti, dalam keadaan seperti sekarang ini parpol dan DPR harus
membenahi diri agar tidak dibenci oleh masyarakat.
Memang bukan rahasia, parpol dan DPR banyak melahirkan koruptor
sehingga ada yang mengatakan dengan kasar bahwa parpol dan DPR itu tempat
peternakan koruptor. Banyak yang hafal di luar kepala, nama parpol dan kadernya
di DPR yang dipenjarakan sebagai koruptor. Semua parpol yang memiliki kursi
atau berhasil mengirim wakil di DPR, sekarang ini telah memiliki wakil koruptor
juga di penjara atau di rumah tahanan KPK. Meski begitu, tetap saja tidak boleh
ada deparpolisasi. Pilihan konstitusional dan rasionalnya adalah menyehatkan
parpol, bukan mengerdilkan, apalagi membunuhnya.
Munculnya calon independen adalah ihwal lain yang tak bisa
dikaitkan dengan deparpolisasi. Pembukaan peluang bagi calon independen untuk
berkontes dalam pilkada merupakan pintu masuk yang dibuka secara konstitusional
bagi tokoh-tokoh perseorangan yang bagus, namun tidak bisa mendapat tiket dari
partai. Hal seperti itu banyak sekali terjadi, tokoh yang baik dan diinginkan oleh
rakyat ternyata tidak mendapat dukungan parpol.
Maka itu melalui Putusan No. 5/PUU-V/2007, MK membuka pintu hukum
bagi masyarakat untuk mengajukan calon perseorangan yang tidak diusung oleh
parpol, yang kemudian disebut sebagai calon independen. Ketentuan ini kemudian
diadopsi di dalam UU Pilkada kita. Itu bukan deparpolisasi, tetapi perluasan
kanal demokrasi. []
KORAN SINDO, 19 Maret 2016
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar