Rabu, 23 Maret 2016

Buya Syafii: Gilad Atzmon, Barack Obama, dan Palestina (I)



Gilad Atzmon, Barack Obama, dan Palestina (I)
Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Enam bulan setelah dilantik menjadi presiden Amerika Serikat pada 20 Jan. 2009, pada 4 Juni 2009 Presiden Barack H. Obama menyampaikan pidato bersejarah di Kairo dengan tuan rumah Univ. Al-Azhar dan Univ. Kairo.

Ada tujuh butir masalah yang disampaikan Obama dalam pidato itu: (1) masalah ekstremisme politik-agama yang harus dicarikan penyelesaian segera; (2) konflik Palestina-Israel yang tidak boleh dibiarkan terkatung-katung: sebuah Palestina merdeka harus secepatnya menjadi kenyataan; (3) pembangunan nuklir yang harus diawasi, terutama dialamatkan kepada Iran yang harus didekati secara lebih arif, tidak mengikuti rezim Amerika sebelumnya; (4) cita-cita demokrasi yang sedang menjadi gelombang besar peradaban, tetapi tidak boleh dipaksakan kepada bangsa yang belum siap untuk itu; (5) perlunya kemerdekaan agama dijamin secara penuh; (6) hak-hak perempuan mesti ditegakkan dan dihormati; (7) pembangunan ekonomi dan peluang yang terbuka bagi semua bangsa, sekalipun globalisasi bagi banyak bangsa telah memunculkan suasana saling bertentangan. (Lih. Resonansi “Obama dan Dunia Islam” (II), Republika,  23 Juni 2009).

Setelah Obama memasuki tahun terakhir masa jabatan keduanya sebagai presiden Amerika, mungkin hanya butir tiga dan enam yang relatif berhasil, sedanghkan lima yang lain gagal atau setengah gagal. Kita ambil misalnya butir dua, Palestina sampai sekarang belum juga merdeka, sekalipun sudah mulai banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, telah meneriakkan dengan suara semakin keras tentang hak kemerdekaan Palestina itu. Obama rupanya tak berdaya menghadapi lobi Zionis di Amerika yang tetap bersikukuh menentang kemerdekaan Palestina itu. Dan ingat, selama rezim Obama, beberapa negara Arab malah semakin berantakan, baik karena perang saudara mau pun karena faktor eksternal yang bermain di kawasan panas itu.

Di antara orang yang memuji  pidato Obama di Kairo tujuh tahun yang silam itu adalah Gilad Atzmon (lahir 1963), pemusik jazz mantan Zionis yang sudah hengkang dari Israel, negara rasis itu. Dalam artikel “God Blessed Amerika” yang dikirim dari Kolorado yang saya terima pada 6 Juni 2009, Atzmon tampak optimis bahwa politik luar negeri Amerika di bawah Obama akan berubah secara mendasar, khususnya dalam kaitannya dengan kemerdekaan Palestina. Lalu Atzmon berandai:

Sekiranya sayalah dalam posisi [Obama] itu, saya akan mengultimatum Israel dalam tempo 24 jam untuk membuka jalur Gaza. Jika mereka gagal melaksanakannya, saya akan panggil duta besar saya di Tel Aviv, saya akan hentikan segala bentuk bantuan keuangan dan militer kepada Israel, saya akan bekukan aset-aset Israel karena masih tetap saja sebagai sebuah negara teroris, saya akan mulai proses cepat deportasi orang Israel dari Amerika.”

Obama bukanlah Atzmon, karena pemusik jazz ini telah lama putus urat takutnya berhadapan dengan Zionisme. Posisi sebagai presiden Amerika bila berhadapan dengan gerakan Zionisme telah menerpedo Obama untuk merealisasikan isi pidatonya di Kairo itu. Tetapi untuk berapa lama lagi Zionisme ini harus mengangkangi dunia sampai suatu ketika dapat dilumpuhkan oleh kesadaran kemanusiaan sejagat?

Suara Atzmon dan kelompoknya yang lantang-radikal dalam menghadapi kekejaman Zionisme atas nasib rakyat Palestina tidak bisa dibendung. Pada waktu praktik gnosida pasukan Israel atas Gaza pada 2009 misalnya nyaris media Barat bersikap bungkam. New York Times, CNN, BBC, dan the Guardian adalah di antara media yang bungkam itu. Situasi ini pernah membuat Atzmon mengeluh yang disampaikan kepada koleganya Mary Rizzo: “…we failed to make it to the main press” (…kita gagal memasuki media pers gelombang besar). Mary segera menghibur: “Gilad, you may fail to see it, we do not want to assimilate into the called-media, we do not need them. From now on we are the media” (Gilad, Anda bisa saja gagal melihatnya, kita tidak ingin memasukkan diri ke dalam apa yang disebut media itu, kita tidak memerlukannya. Sejak sekarang dan seterusnya kitalah media itu). []

REPUBLIKA, 22 Maret 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar