Mahar
Politik, Politik Mahar
Oleh:
Azyumardi Azra
Kehebohan
sekitar Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tampaknya bakal terus berkembang. Pekan
lalu, Basuki ”Ahok” Tjahaja Purnama memutuskan maju sebagai calon perseorangan
berpasangan dengan Heru Budi Hartono, pegawai negeri sipil mantan Wali Kota
Jakarta Utara yang kini menjabat Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah. Ahok menyatakan, ia tidak punya uang sebagai ”mahar” untuk partai
politik yang dapat menjadi pengusungnya.
Ahok
menyatakan ”mahar”—tegasnya ”mahar politik”—adalah untuk menutupi biaya menggerakkan
parpol sejak dari tingkat bawah sampai ke atas. Namun, banyak kalangan tampak
lebih memersepsikan soal mahar dengan praktik ”jual beli” dukungan antara calon
dalam pilkada atau pilgub (juga dalam pileg dan pilpres) dengan parpol. Karena
itu, mereka memandang negatif praktik ”mahar” dalam percaturan politik.
Praktik
mahar politik mencerminkan terjadinya pergeseran arti istilah atau konsep mahar
(bahasa Arab mahr, bahasa Inggris dowry) dalam wacana publik Indonesia. Mahar
yang semula terkait agama (Islam) kian populer dalam wacana dan praktik politik
masa demokrasi pasca-Soeharto.
Dari
sudut sentimen keislaman, pergeser- an makna dan konsep mahar yang semula
positif menjadi peyoratif patut disayangkan karena dapat menimbulkan persepsi
dan pemahaman keliru terhadap ketentuan hukum Islam. Agaknya kesulitan mencari
istilah lain, mahar dengan begitu saja juga diterapkan dalam politik Indonesia.
Istilah
atau konsep mahar semula dalam fikih (yurisprudensi Islam) mengacu pada
ketentuan tentang pemberian wajib (calon) suami kepada (calon) istri yang
disampaikan pada waktu akad nikah (ijab kabul) perka- winan. Besar-kecilnya
tergantung kemampuan pihak (calon) suami, dan (calon) istri mesti ikhlas
menerima.
Dengan
demikian, mahar merupakan pertanda ikatan sakral (akad) dalam pernikahan antara
(calon) suami dan (calon) istri. Mahar bendawi yang diberikan suami menjadi
sepenuhnya milik istri sebagai cadangan jika ia membutuhkan dana.
Namun,
dalam praktik politik Indonesia lebih satu dasawarsa terakhir, istilah mahar
politik dipahami publik sebagai transaksi di bawah tangan atau illicit deal
yang melibatkan pemberian dana dalam jumlah besar dari calon untuk jabatan yang
diperebutkan (elected office) dalam pemilu/pilkada dengan parpol yang menjadi
kendaraan politiknya.
Tanpa
bermaksud memberi justifikasi pada praktik mahar politik yang tampaknya kian
lazim, hal sama terjadi di banyak negara. Disebut sebagai political dowry,
praktik mahar politik bisa terjadi antarcalon untuk berbagai jabatan melalui
pemilu dan juga antarpartai untuk membentuk koalisi.
Kehebohan
pernah terjadi di Amerika Serikat saat Presiden George W Bush, yang maju
sebagai calon presiden pada 2000 memilih Dick Cheney sebagai cawapres,
disebut-sebut melibatkan praktik political dowry. Di Korea Selatan, koalisi
Aliansi Baru, gabungan tiga partai oposisi, pada 2015 diberitakan media
terbentuk berkat generous political dowry dari pihak tertentu. Political dowry
disebut menghasilkan ”kawin kontrak” (marriage for convenience) dengan bulan
madu di antara parpol berbeda yang (semula) memiliki kepentingan masing-masing.
Baik
dalam konteks Indonesia maupun mancanegara, sangat sulit mengetahui persis
proses atau modus operandi praktik mahar politik yang memunculkan ”politik
mahar”. Pemberi dan penerima tidak pernah mengungkapkan bagaimana kesepakatan
mahar politik tercipta, berapa jumlah mahar politik, dan apa saja yang harus
dipenuhi sang calon jika ia menang kepada donor dana atau parpol pendukungnya.
Dalam
konteks terakhir, Ahok misalnya menyatakan tidak punya dana untuk mahar
politik. Namun, hampir bisa dipastikan ada kalangan berduit yang bersedia
membayarkan mahar politik. Dengan tingkat elektabilitas sangat tinggi
dibandingkan bakal calon lain, jika mau Ahok tidak sulit mendapatkan donor yang
bermurah hati mendanai.
Gejala
adanya donor murah hati di Indonesia juga selalu muncul dalam rumor politik
sepanjang musim pileg, pilpres, dan pilkada. Bahkan di Indonesia—seperti juga
di Amerika Serikat—selalu ada donor dari kalangan korporasi yang memasang
kakinya di semua calon. Siapa pun yang menang, donor tetap melekat dengan
kekuasaan.
Politik
mahar dan mahar politik jelas menimbulkan penyimpangan dalam demokrasi. Jika
demokrasi adalah kepentingan rakyat, politik mahar membuat demokrasi lebih
berorientasi pada pihak pemberi mahar, baik parpol maupun donor korporasi.
Karena
itu, bisa diharapkan, pemegang jabatan publik yang terlibat politik mahar dan
mahar politik cenderung mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan berbagai
pihak terkait langsung daripada kepentingan publik. Hasilnya, demokrasi gagal
dalam meningkatkan kehidupan politik, juga dalam memperbaiki kesejahteraan
rakyat.
Tak
kurang pentingnya, mahar politik dan politik mahar memunculkan politik biaya
tinggi—menjadi ”investasi” sangat mahal bagi setiap aspiran politik. Investasi
perlu dikembalikan, dan ini mendorong merajalelanya korupsi.
Karena
itu, perlu upaya serius dari berbagai pemangku kepentingan untuk memerangi
praktik politik transaksional ini; misalnya perlu pengawasan lebih ketat atas
keuangan dan pendanaan para calon dan parpol dalam pileg, pilpres, dan pilkada.
[]
KOMPAS,
15 Maret 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat International IDEA Stockholm (2007-2013) dan UNDEF New
York (2006-2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar