IPNU Hadapi Masa
Genting Peralihan Orde
Hanya terpaut
beberapa hari, usai berakhirnya Kongres IPNU ke-V di Purwokerto tahun 1963,
rakyat Indonesia tengah bergelora dengan seruan “Ganyang Malaysia” yang
diserukan Presiden Soekarno dalam sebuah pidatonya:
“... Yoo! Ayoo! Kita
Ganjang! Ganjang Malaysia! Ganjang Malaysia!
Bulatkan tekad. Semangat
kita badja. Peluru kita banjak. Njawa kita banjak. Bila perlu satu-satu!”
Seruan “Ganyang
Malaysia” yang ditengarai dari konfrontasi yang terjadi antara
Indonesia-Malaysia pada waktu itu, membuat bangkit semangat rakyat Indonesia
untuk melawan “neo-kolonialisme” dan “neo-imperialisme”.
Seperti yang
dipaparkan Abdul Mun’im D. Z. (2005), ketika itu NU mengeluarkan statemen
tegas, bahwa Kedaulatan Indonesia harus ditegakkan, dengan mengedepankan
diplomasi, tetapi kalau hal itu tidak bias, artinya Malaysia masih membandel,
maka tidak ada cara lain kecuali perang.
Banyak kader NU yang
kemudian ikut dilatih dalam Komando Ganyang Malaysia (Kogam). Para kader IPNU
yang dipimpin Asnawi Latif pun tak tinggal diam, dengan membentuk “Sukarelawan
Pelajar” yang kemudian menjadi embrio terbentuknya Corps Brigade Pembangunan
(CBP) bersamaan dengan lahirnya “Doktrin Pekalongan”, yang ditetapkan pada
Konferensi Besar IPNU di Pekalongan pada tanggal 25 – 31 Oktober 1964.
Pada akhir bulan Juli
hingga Agustus 1965, diadakan tindak lanjut dengan dilangsungkan pemusatan
latihan (Training Center, TC) untuk komandan-komandan cabang dan daerah CBP di
Cebongan, Yogyakarta. TC ini diikuti oleh sukarelawan/wati dari IPNU-IPPNU.
Selama sepuluh hari kader-kader CBP ditempa jasmani dan rohaninya agar menjadi
pemimpin yang bertanggung jawab. Materi indoktrinasi diberikan secara langsung
oleh beberapa menteri yaitu Jenderal Chaerul Saleh, Dr. K.H. Idham Khalid, Ipik
Gandamana, H.A. Syaichu
Namun, pertempuran
yang nyata dialami para kader IPNU, akhirnya justru tidak terjadi dengan
Malaysia, akan tetapi ketika meletus peristiwa “Gerakan 30 September 1965”.
Kader IPNU, baik di pusat maupun daerah banyak yang terlibat dalam KAPPI
(Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia).
Kongres VI (Surabaya,
1966)
Masa pra-Kongres
ke-VI IPNU di Surabaya, dipenuhi dengan kondisi yang penuh gejolak, baik soal
politik, sosial, maupun ekonomi. Kondisi tersebut juga memaksa IPNU untuk
terlibat di dalamnya.
Lokasi kongres yang
semula hendak bertempat di Bali, karena berbagai alasan, dipindah ke Surabaya.
Pada momentum kongres ini, untuk pertama kalinya pula, Kongres IPNU diadakan
bersama dengan Kongres IPPNU.
Kongres yang
dibarengi dengan porseni tingkat nasional dihelat pada 20-24 Agustus 1966.
Acara tersebut berlangsung dengan sukses dan mendapat perhatian yang cukup
besar baik dari pejabat-pejabat pemda Jatim maupun masyarakat umum. Dari PBNU
sendiri hadir Ketua Umum PBNU Dr. K.H. Idham Khalid dan Rais 'Aam K.H.
Abdul Wahab Hasbullah.
Kongres Surabaya ini
memunculkan beberapa keputusan, diantaranya yang terpenting adalah pernyataan
bahwa IPNU-IPPNU 'berdiri sendiri sebagai badan otonom partai'. Sehingga kalau
semula secara administratif bernaung di bawah LP Ma'arif, sejak kongres Surabaya
IPNU-IPPNU langsung berada di bawah pembinaan PBNU.
Dengan menjadi badan
otonom, ketua umum PP IPPNU berhak duduk sebagai anggota pleno PBNU bersama
badan-badan otonom lainnya. Sebagai konsekuensi dari perubahan status tersebut
adalah IPPNU harus bisa lebih mandiri dalam setiap kegiatannya, namun di saat
yang sama dapat berpartisipasi langsung dalam setiap pengambilan keputusan yang
dilakukan melalui sidang pleno PBNU.
Kongres juga
memutuskan untuk memindahkan Pimpinan Pusat dari Yogyakarta ke ibukota negara
yaitu Jakarta. Dalam kongres itu Asnawi Latif terpilih kembali sebagai Ketua
Umum PP IPNU sedangkan Machsanah dan Umi Hasanah masing-masing terpilih sebagai
Ketua Umum dan Sekjen PP IPPNU.
Kepengurusan baru ini
segera dihadang tugas berat untuk memenuhi amanat kongres dalam situasi ekonomi
dan politik nasional, di mana rezim orde lama Soekarno mulai runtuh secara
perlahan, digantikan rezim Soeharto yang kelak disebut orde baru.
Dalam situasi yang
serba tidak menentu, yang sangat tidak kondusif untuk melakukan aktivitas
pembinaan kepemudaan dan kepelajaran, aktivitas PP IPNU-IPPNU akhirnya banyak
tercurah pada isu seputar pembubaran PKI dan segenap kekuatan komunisnya. []
Ajie Najmuddin; dari
berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar