Menjauh dari Ibu Bapak
Oleh: M. Quraish Shihab
Seorang
pakar pendidikan menyatakan bahwa, “Kendati saya mengetahui banyak teori
pendidikan, namun saya tak mampu menerapkannya pada anak saya.”
Pandangan ini diiyakan oleh banyak pendidik; kenyataan pun
menunjukkan bahwa tidak sedikit anak pendidik yang tidak terdidik dengan baik.
Cinta ibu bapak kepada anak adalah naluri manusia. Sayang bahwa
cinta itulah–bila tidak diberikan dalam porsi yang dibutuhkan atau tidak
diaktualkan sesuai dengan perkembangan, potensi, dan kecenderungan anak, maka
ia dapat menjerumuskannya. Ini tidak kurang dampak negatifnya daripada “benci”.
Ibu bapak sering kali sedemikian cinta pada anaknya sehingga
mengikuti kemauan sang anak walau bukan pada tempatnya atau demikian takut
terhadapnya sehingga sedikit saja sang anak melangkah untuk mencoba sesuatu
yang baru, sang ibu atau ayah mewanti-wanti atau melarangnya sehingga bakatnya
pudar dan keberaniannya menurun.
Ada hal yang menarik pada monyet yang dapat ditiru oleh manusia.
Ibu monyet membiarkan anaknya bergelantungan, tetapi begitu sang anak merasa
takut dia berlari bergantung pada ibunya dan sang ibu menyambut serta
melindungi anaknya. Namun bila anak monyet itu telah menanjak menuju usia
remaja maka sang ibu mengusirnya agar menjauh darinya. Dia mengusirnya pergi
bermain dengan sebayanya, bahkan memukulnya jika dia kembali. Ini dilakukan ibu
untuk membiasakan anak monyet itu hidup mandiri dan mencari sendiri
perlindungan tanpa mengandalkan pihak lain.
Nah, begitu pulalah seharusnya ibu bapak manusia. Tidak menjadikan
anaknya terus-menerus bergantung padanya, tetapi melepaskannya sambil
mengawasinya dari jauh tanpa menghilangkan kasih sayangnya.
Seorang anak manusia yang tidak mendapat kasih sayang di
masa kecilnya dan tidak juga dibiasakan mandiri pada saatnya, maka di tengah
masyarakat dia tidak dapat mandiri. Dia tidak memiliki keberanian untuk
menjalin hubungan dengan selainnya dan akan selalu bergantung pada orang lain.
Dia takut menghadapi yang baru karena biasanya sesuatu yang baru
atau yang tidak diketahui mengandung risiko sehingga
mencemaskan/menakutkan, sedang yang bersangkutan tidak terbiasa takut, dan ini
pada gilirannya menjadikan aktivitasnya hanya terbatas pada kebiasaan yang
terulang-ulang. Karena yang terulang-ulang itu saja yang dia rasakan tanpa
risiko, hanya itu yang menenangkannya. Dia enggan memikul beban yang
dikira belum sesuai dengan kemampuannya.
Dari sinilah, karena kesadaran ibu bapak dan kesulitan yang mereka
hadapi dalam mendidik anak, maka tidak sedikit di antara mereka yang merasa
perlu untuk mengantar anaknya pergi menjauh beberapa saat lamanya-katakanlah ke
pesantren-sehingga dapat belajar dan dididik oleh tangan lain yang tepercaya.
Dalam literatur sastra dan pendidikan ditemukan sekian anjuran
untuk berpergian, jauh meninggalkan sanak keluarga sambil meyakinkan bahwa ada
“ganti” untuk yang ditinggal. Bahkan kitab suci al-Qur’an menganjurkan untuk
berpergian meninggalkan tempat tinggal guna menambah pengetahuan dan memperluas
wawasan (QS. at-Taubah [9]: 122).
Kenyataan
bahwa ibu bapak dan lingkungan dapat memengaruhi kepribadian anak dan bahwa
menjauh untuk beberapa waktu dari mereka dapat berdampak positif, itulah
agaknya yang menjadikan Allah “mengatur” sehingga Nabi Muhammmad
saw. sebelum kelahirannya dijauhkan dari sang ayah dengan mewafatkannya. Sang
ibu diatur-Nya untuk ditinggalkan oleh sosok yang ternyata menjadi nabi
terakhir itu menuju pedesaan agar kepribadian beliau tidak dibentuk oleh ibu
kandung. Allah mendidik Rasul-Nya secara langsung dan menjauhkan beliau dari
segala faktor yang dapat berdampak negatif agar kepribadian beliau tumbuh
berkembang sesuai yang direncanakan Allah. Demikian, wa Allâh A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar