Kamis, 17 September 2015

Kang Sobary: Politik Banting Setir



Politik Banting Setir
Oleh: Mohamad Sobary

Tak mustahil politik banting setir itu terjadi di kalangan pengusaha karena dipicu oleh perubahan potensi pasar. Mungkin seorang importir produk-produk luar negeri berhenti menjadi importir karena produk dalam negeri dianggap sudah memadai.

Mungkin seorang pengusaha yang sudah lama membuka bidang usaha di luar negeri tibatiba memutuskan pulang “kampung” untuk membuka usaha di dalam negeri setelah mempelajari peluang pasar dalam negeri lebih bagus daripada peluang di pasar global. Kalau di halaman rumah sendiri ada tambang tak ternilai harganya, mengapa harus menambang di negeri orang.

Inilah “wisdom “ dari politikbantingsetir itu. Kita seperti melintasi tikungan yang tajam dan penuh risiko. Ini perubahan revolusioner. Hanya orang yang punya watak dan jiwa pemimpin yang berani berbuat begitu. Hanya sedikit jumlah orang seperti ini. Mayoritas manusia hanya pengikut yang lebih suka menikmati kemapanan hidup yang sudah jadi. Mereka hanya pengikut yang tak pernah berpikir seperti pemimpin. Kelihatannya memanghanyaorangdengankaliber pemimpin yang cekatan berpikir mengenai cara mengubah kehidupan.

Presiden Jokowi berbicara tentang revolusi mental. Konsep ini tidak diikuti oleh definisi operasional, yang dapat memberi kita kejelasan tentang pelaksanaannya. Revolusi mental sebagai konsep masih tetap berhenti di titik konsep. Kita tahu bahwa konsep belum bisa mengubah apa pun dalam kehidupan ini.

Diperlukan suatu ijtihad dan usaha berpikir strategis dan mendalam untuk mengubah ide tersebut menjadi tindakan. Revolusi mental bukan sebuah renungan filsafat yang sibuk memahami kehidupan. Presiden bukan filosof dan bukan tukang berpikir. Sebagian besar pekerjaannya melaksanakan pemikiran. Kebijakan, sementereng apa pun, tidak ada gunanya kalau tak bisa dilaksanakan.

Unsur pertukangan, “craftmanship “ di dalam diri seorang Presiden lebih besar daripada unsur pemikir dan perumus teori maupun filsafat. Mungkin, dengan kata lain, seorang presiden bukan “man of words“, bukan “man of ideas“, melainkan “man of works“, seorang “doer “ yang bekerja tekun dalam kesunyian dunia kata-kata. Kantor presiden bukan ruang seminar tempat beradu argumen yang tak bisa selesai sampai bertele- tele.

Begitu juga kantor seluruh pembantunya. Para menteri dan seluruh jajarannya memanggul misi seperti itu. Relasi di antara mereka, yaitu antara sesama menteri, juga antara mereka dengan Presiden, dijalin oleh semangat dasar untuk bekerja dan menyelesaikan urusan teknis.

Di sini pelan-pelan kelihatannya menjadi semakin jelas, revolusi mental itu bukan dunia kata-kata, melainkan dunia kerja, yang dirangsang oleh pengalaman sejarah. Mungkin terutama oleh pengalaman sejarah yang mengecewakan dan penuh kegetiran.

Pada awal zaman Orde Baru kita kelihatan seperti sangat revolusioner ketika kesadaran kita menyatakan bahwa status pejabat sebagi pangreh praja tidak lagi relevan dan diganti pamong praja. Pejabat bukan tukang memerintah dan memberi instruksi, tetapi melayani kepentingan rakyat.

Pejabat hanya abdi, rakyat dinaikkan tahta menjadi “raja”. Ini terasa sangat revolusioner. Tapi, bertahun-tahun lewat, kenyataan bahwa pejabat itu yang menjadi “raja”, dan bukan rakyat, tak berubah. Rakyat tak pernah naik tahta, tapi terus menerus naik bus yang padat dan berkeringat. Ketika pertumbuhan ekonomi dikabarkan meningkat, makin naik, tapi kenyataan, bukan hanya kabar, tingkat penderitaan rakyat, dari berbagai sudut pandang juga naik.

Dunia politik penuh pidato resmi yang menggambarkan bahwa pejabat negara hanya pamong, abdi. Tapi, sampai hari ini keadaan belum berubah. Pemerintahan silih berganti, tapi rakyat belum pernah menjadi “raja” yang berkuasa dan dilayani. Kelihatannya dalam kondisi seperti inilah revolusi mental itu dicetuskan.

Gagasan itu menggema di dalam birokrasi pemerintahan sebagai komando yang tegas untuk diwujudkan. Intinya, wujudkan ide atau gagasan ini menjadi tindakan. Pendeknya, revolusi mental mengubah kesadaran, ide, atau gagasan menjadi tindakan. Kata rakyat menjadi “raja” harus diwujudkan dalam kehidupan.

Ungkapan pejabat hanya “abdi” bagi rakyat tak boleh berhenti pada ungkapan. Kita mengubahnya supaya pejabat memang hanya menjadi “abdi” dan mengabdi kepentingan rakyat. Kata, ibaratnya, tak boleh ada.

Yang ditunggutunggu dan harus ada bukan kata, melainkan tindakan yang mengubah kenyataan. Mental, mentalitas, kesadaran, ide, atau gagasan dan tindakan itu merupakan himpunan kata kunci yang menghubungkan kita dengan revolusi mental. Di antara kata-kata itu, “tindakan” jelas merupakan panglima.

Tindakan menjadi kata utama karena revolusi mental terutama berhubungan dengan kata tersebut. Tindakan yang mengubah posisi rakyat sebagai “raja” dapat menimbulkan dampak sosial-politik yang luas. Secara perlahan-lahan wajah demokrasi dengan sendirinya akan berubah secara fundamental pula.

Jika dalam revolusi mental ini jaminan kesehatan rakyat, pelayanan pendidikan dan strategi melawan kemiskinan, dengan cara menarik kembali semua TKI/TKW untuk bekerja dengan terhormat, aman dan nyaman di dalam negeri, mungkin keberhasilan ketiga jenis pelayanan publik ini dengan sendirinya memicu perubahan perubahan mendasar di bidang bidang yang lain.

Tiga unsur ini dipilih, atau dijadikan prioritas sebagai “entry points “ untuk mengubah segenap tatanan yang lain, dan menjadikannya semacam program unggulan kita. Dunia akan mencatat, di sini pernah terjadi suatu kebijakan mengubah kata menjadi tindakan, dengan nama revolusi mental. Tajam dan memiliki kemungkinan risiko yang harus diperhitungkan secara cermat.

Dalam bahasa awam, mungkin revolusi mental ini dikenal sebagai politik banting setir yang mungkin dilakukan oleh petinggi negara yang tak memiliki visi kepemimpinan dan kemampuan melihat apa yang bakal terjadi pada masa depan.

Rupanya, jarak budaya dari kata ke tindakan itu jauh. Sangat jauh. Dia terbentang dalam sejarah politik kita dari zaman Pak Harto ke zaman Pak Jokowi sekarang ini. Penting dicatat bahwa Kabinet Kerja bukan kabinet debat kusir. Kabinet Kerja isinya kerja, kerja, dan kerja. Ini suatu jenis kerja tekun, penuh pengabdian untuk memenuhi panggilan konstitusi dan tak memberi kemungkinan mencari nama.

Kerja teknis, kerja pertukangan atau “craftmanship “, tak perlu gegap gempita yang sematamata bikin ramai media, tapi isinya hampir tidak ada. Media boleh mencatat, kerisauan memandang berbagai kebijakan masa lalu yang hanya berhenti pada kebijakan, dan sibuk menciptakan kata-kata diakhiri di sini.

Revolusi mental, wujud politik banting setir yang tajam dan mendasar, mulai mengubah kata menjadi tindakan, dan tindakan. []

Koran SINDO, 14 September 2015
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar