Bicara dan Diam
Oleh: M. Quraish Shihab
Banyak
sekali ungkapan dalam berbagai bahasa yang memuji diam dibandingkan
dengan bicara. “Kalau berbicara adalah perak, maka diam adalah
emas.” Yang Anda ketahui sebelum Anda ucapkan adalah tawanan Anda dan
setelah Anda ucapkan maka Anda menjadi tawanannya. “Menyesal karena diam, hanya
sekali, menyesal karena bicara, seribu kali.” Demikian sedikit dari banyak
ungkapan dan kata hikmah.
Namun kata orang bijak: Keistimewaan diam ketimbang berbicara
seperti yang tecermin dalam ungkapan di atas tidaklah mutlak. Membicarakan
kebajikan dengan baik lebih baik daripada diam. Di sini pembicaraan
menjadi hiasan bagi si pembicara, sedang diamnya yang diam
menjadikannya tampil tanpa hiasan.
Bicara yang baik memberi manfaat bagi pembicara dan pendengarnya,
sedang diam hanya berpotensi bermanfaat untuk yang diam. Tidak ada baiknya diam
menyangkut pengetahuan dan tidak ada baiknya berbicara berdasar ketidaktahuan.
Diam pada tempatnya baik dan berbicara bila dibutuhkan wajib.
Yang diam menyangkut hak yang perlu diketahui adalah setan yang bisu. Ini
demikian dalam satu situasi berbicara harus dikedepankan, lebih-lebih jika
kandungan pembicaraan itu memiliki dampak positif terhadap seseorang,
lebih-lebih jika terhadap orang banyak.
Allah menilai berdosa siapa yang mengetahui sesuatu yang
dibutuhkan, tapi menyembunyikannya: Janganlah kamu menyembunyikan
persaksian! Siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya hatinya telah
berdosa. Begitu firman-Nya dalam QS. al-Baqarah [2]: 283.
Sekian banyak hadits Nabi pun yang memperingatkan agar jangan
menyembunyikan pengetahuan yang berdampak buruk bila disembunyikan. Memang jika
telah ada satu pihak yang menyampaikannya, maka gugurlah kewajiban itu
terhadap yang lain, tetapi jika penyampaian orang lain belum memadai atau belum
memuaskan, maka janganlah diam menyangkut apa yang Anda ketahui.
Tidak dapat disangkal bahwa berbagai pertanyaan telah diajukan
kepada para ulama, cendekiawan atau orang bijak, antara lain menyangkut pilihan
capres dan cawapres. Ada di antara mereka yang diam. Bisa jadi karena merasa
sudah ada yang menjawabnya dan ada juga yang sejak semula telah menyatakan
pandangannya. Kedua sikap di atas tidak tercela, khususnya pada awal masa
kampanye.
Tapi, kini ada perkembangan. Persaingan antara dua pasangan
semakin ketat, tarik-menarik simpati semakin kuat. Kampanye negatif pun semakin
marak. Lalu ada juga sekelompok yang tidak kecil dari masyarakat yang belum
menentukan pilihan padahal keterlibatan mereka dalam pemilihan presiden dan
wakilnya sangat dibutuhkan lagi dapat menentukan dalam memenangkan siapa yang
dinilai lebih baik.
Nah, situasi ini menjadikan diam seribu bahasa tidaklah lagi
bijak, lebih-lebih jika yang bertanya itu mengandalkan jawaban sosok yang
ditanya. Di sini bukan saja bicara lebih baik daripada
diam, tapi bicara diperlukan karena diam dapat menjadikan
si penanya semakin bingung, bahkan salah pilih. Tentu saja yang menjawab harus
sangat bijaksana, tidak berkampanye negatif, apalagi hitam. Kalau tak dapat
memberi jawaban yang tegas dan nyata, cukuplah dengan isyarat yang dipahami
tanpa menyinggung perasaan siapa pun.
Akhirnya, “Mari berpuasa dengan tekad meningkatkan kecerdasan
mental dan spiritual, sambil berdoa: kiranya Pilpres berlangsung aman tertib
dan yang ditetapkan Allah sebagai Presiden dan Wakilnya adalah yang paling
merakyat lagi merasakan gejolak hati masyarakat serta yang lebih mampu menutup
kebocoran dan berjuang mewujudkan Indonesia yang jaya dan hebat.” Amin.
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar