Senin, 07 September 2015

Quraish Shihab: Bicara dan Diam



Bicara dan Diam
Oleh: M. Quraish Shihab

Banyak sekali ungkapan dalam berbagai bahasa yang memuji diam dibandingkan dengan bicara. “Kalau berbicara adalah perak, maka diam adalah emas.”  Yang Anda ketahui sebelum Anda ucapkan adalah tawanan Anda dan setelah Anda ucapkan maka Anda menjadi tawanannya. “Menyesal karena diam, hanya sekali, menyesal karena bicara, seribu kali.” Demikian sedikit dari banyak ungkapan dan kata hikmah.

Namun kata orang bijak: Keistimewaan diam ketimbang berbicara seperti yang tecermin dalam ungkapan di atas tidaklah mutlak. Membicarakan kebajikan dengan baik lebih baik daripada diam. Di sini pembicaraan menjadi  hiasan bagi si pembicara, sedang diamnya  yang diam menjadikannya tampil tanpa hiasan.

Bicara yang baik memberi manfaat bagi pembicara dan pendengarnya, sedang diam hanya berpotensi bermanfaat untuk yang diam. Tidak ada baiknya diam menyangkut pengetahuan dan tidak ada baiknya berbicara berdasar ketidaktahuan. Diam pada tempatnya baik dan berbicara  bila dibutuhkan  wajib.  Yang diam menyangkut hak yang perlu diketahui adalah  setan yang bisu. Ini demikian dalam satu situasi berbicara harus dikedepankan, lebih-lebih jika kandungan pembicaraan itu memiliki dampak positif  terhadap seseorang, lebih-lebih jika terhadap orang banyak.

Allah menilai berdosa siapa yang mengetahui sesuatu yang dibutuhkan, tapi menyembunyikannya: Janganlah kamu menyembunyikan persaksian! Siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya hatinya telah berdosa. Begitu firman-Nya dalam  QS. al-Baqarah [2]: 283.

Sekian banyak hadits Nabi pun yang memperingatkan agar jangan menyembunyikan pengetahuan yang berdampak buruk bila disembunyikan. Memang jika telah ada satu pihak  yang menyampaikannya, maka gugurlah kewajiban itu terhadap yang lain, tetapi jika penyampaian orang lain belum memadai atau belum memuaskan, maka janganlah diam menyangkut  apa yang Anda ketahui.

Tidak dapat disangkal bahwa berbagai pertanyaan telah diajukan kepada para ulama, cendekiawan atau orang bijak, antara lain menyangkut pilihan capres dan cawapres. Ada di antara mereka yang diam. Bisa jadi karena merasa sudah ada yang menjawabnya dan ada juga yang sejak semula telah menyatakan pandangannya. Kedua sikap di atas tidak tercela, khususnya pada awal masa kampanye.
Tapi, kini ada perkembangan. Persaingan antara dua pasangan semakin ketat, tarik-menarik simpati semakin kuat. Kampanye negatif pun semakin marak. Lalu ada juga sekelompok yang tidak kecil dari masyarakat yang belum menentukan pilihan padahal keterlibatan mereka dalam pemilihan presiden dan wakilnya sangat dibutuhkan lagi dapat menentukan dalam memenangkan siapa yang dinilai lebih baik.

Nah, situasi ini menjadikan diam seribu bahasa tidaklah lagi bijak, lebih-lebih jika yang bertanya itu mengandalkan jawaban sosok yang ditanya. Di sini bukan saja bicara lebih baik daripada diam,  tapi bicara diperlukan karena diam dapat menjadikan si penanya semakin bingung, bahkan salah pilih. Tentu saja yang menjawab harus sangat bijaksana, tidak berkampanye negatif, apalagi hitam. Kalau tak dapat memberi jawaban yang tegas dan nyata, cukuplah dengan isyarat yang dipahami tanpa menyinggung perasaan siapa pun.

Akhirnya, “Mari berpuasa dengan tekad meningkatkan kecerdasan mental dan spiritual, sambil berdoa: kiranya Pilpres berlangsung aman tertib dan yang ditetapkan Allah sebagai Presiden dan Wakilnya adalah yang paling merakyat lagi merasakan gejolak hati masyarakat serta yang lebih mampu menutup kebocoran dan berjuang mewujudkan Indonesia yang jaya dan hebat.”  Amin. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar