Kamis, 10 September 2015

Ulil: Pasar Raya Tafsir dan Perahu Nuh



Pasar Raya Tafsir dan Perahu Nuh
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla

Saya membayangkan Islam sekarang ini mirip sebuah pasar besar dengan ratusan, bahkan ribuan, toko dan kios di dalamnya. Di sana kita temukan toko di mana Islam a la Gus Dur dijajakan. Di sebuah kios yang lain, kita temukan Islam sebagaimana ditafsirkan oleh Cak Nur. Ada sebuah kios yang ramai dikunjungi orang, terutama anak-anak muda; di sana kita lihat Islam sebagaimana ditafsirkan oleh Ustaz Ja’far Umar Talib digelar.

Sejumlah kios yang menjajakan Islam a la Hassan Hanafi, Mohamed Arkoun, Abid Al Jabiri, Nasr Hamid Abu Zeid, Abdullahi Ahmed Anna’im, Sayyid Qutb, Yusuf Qardlawi, Ali Syari’ati dan “kemasan-kemasan imporan “ yang lain, juga tampak ramai dikerubuti oleh para mahasiswa.

Semua kios itu ramai didatangi oleh para pengunjung yang rata-rata adalah anak-anak muda. Memang bisa dimaklumi, anak-anak muda masih mempunyai semangat besar untuk menjelajah dan mecobai sejumlah hal yang mereka anggap baru.

Orang-orang tua yang sudah mapan dengan “pendapat tertentu” biasanya kurang tertarik untuk “shopping” dan belanja di pasar raya Islam yang kian ramai dan padat itu. Mereka sudah “nrimo” dengan kemasan-kemasan Islam yang mereka langgani sejak nenek dan kakek mereka. Orang-orang tua biasanya sudah merasa tidak perlu lagi menjajal hal-hal baru yang belum tentu “khasiatnya”.
Gambaran ini jelas hanya merupakan cara untuk menerangkan bagaimana hidupnya diskursus pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam Indonesia saat ini. Pandangan-pandangan yang berbeda saling berebut untuk menarik suatu celah dalam perdebatan pulik yang makin hidup dan bersemangat. Orang-orang Islam saat ini dengan mudah melakukan semacam “selancar virtual” dari satu toko ke toko yang lain, dari satu tafsir ke tafsir yang lain. Ini mungkin terjadi karena sejumlah faktor.

Pertama dan paling pokok adalah makin pentingnya kedudukan “budaya tulis” dalam masyarakat Islam Indonesia saat ini, seiring dengan makin besarnya jumlah kaum terdidik Islam yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan modern. Kedua, makin bersemangatnya industri penerbitan buku-buku Islam selama satu dekade terakhir ini.

Ketiga, makin beragamnya pendekatan-pendekatan yang dipakai oleh anak-didik Islam belakangan untuk menerjemahkan Islam dalam konteks kehidupan modern. Faktor terakhir yang sangat penting tentu adalah kebebasan politik yang muncul akhir-akhir ini di mana kebebasan itu pada akhirnya juga berdampak pada penciptaan ruang wacana yang kian terbuka bagi masyarakat.

Kombinasi keempat faktor tersebut –serta sejumlah faktor lain yang tak usah terlalu diperinci di sini—telah memungkinkan lahirnya fenomena “ta’addudiyyah” atau keragaman Islam dalam bentuk pasar raya tafsir yag berwarna-warni.

Pasar raya bisa merupakan tempat yang asyik untuk “cuci mata” dan melihat-lihat pemandangan yang serba berbeda. Tetapi di pasar raya, sejumlah orang bisa juga tersesat dan tak tahu jalan bagaimana keluar dari labirin kios yang begitu banyak jumlahnya. Orang-orang tertentu akan merasa kebingungan memilih barang yang hendak dibeli.

Orang-orang semacam ini bisa berpikiran bahwa pasar raya adalah jahat karena membuat banyak orang tersesat. Melalui prosedur penalaran tertentu, mereka bisa sampai kepada suatu kesimpulan bahwa sebuah pasar raya harus dibasmi, karena akan membingungkan para konsumen. Sebaiknya orang-orang kembali kepada pasar tradisional lama di mana toko ini dan itu sudah jelas di mana letaknya dan apa jualannya, serta siapa penjualnya.

Banyak orang Islam saat ini yang merasa adanya kejanggalan pada keragaman kata sifat yang melekat pada “Islam”. Ada Islam fundamentalis, Islam moderat, Islam revivalis, Islam modernis, Islam neo-modernis, Islam neo-revivalis, Islam liberal, dan Islam-Islam yang lain.

Sejumlah ajektif itu hanyalah akan mengaburkan esensi dan kebenaran Islam itu sendiri. Islam, menurut orang-orang ini, hanyalah satu satu saja adanya, yaitu Islam sebagaimana diajarkan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. Islam adalah satu. Pandangan semacam ini mencerminkan satu gejala yang muncul ketika seseorang berhadapan dengan pasar raya penafsiran: gejala “kelinglungan” berhadapan dengan warna-warni pilihan.

Sudah sejak zaman klasik, Islam yang satu itu selalu mengalami perbedaan penafsiran dari satu orang ke orang lain. Seorang penulis klasik, Asy Syahrastani menulis buku yang sudah sangat terkenal, Al Milal wan Nihal(Perihal Sekte-Sekte dan Golongan-Golongan), di mana dengan gamblang sekali ditunjukkan keragaman orang-orang Islam dalam memahami dan menerjemahkan Islam yang satu itu.

Saat Nabi masih hidup, Islam memang hanyalah satu, sebab setiap kali muncul selisih pendapat perihal satu pokok soal, para sahabat bisa langsung datang dan bertanya kepada Nabi. Itulah sebabnya Qur’an mengatakan, “fa in tanaza’tum fi syai’in farudduhu ilal Lahi wa rasulih,” jika kalian berselisih pendapat, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Saat Nabi wafat, tempat orang-orang Islam bertanya itu sudah tak ada lagi kecuali deretan teks yang terbukukan dalam Qur’an dan Hadis. Di sinilah letak segala masalahnya: setiap teks selalu cenderung untuk membuka diri kepada sejumlah kemungkinan penafsiran. Dari sanalah dimulai embrio pasar raya penafsiran Islam itu.

Pernah ada suatu masa di mana ada sejumlah golongan dalam Islam menyeru dengan penuh semangat bahwa kalau umat Islam hendak menyelesaikan segala masalah yang mereka hadapi, maka mereka harus kembali kepada Qur’an dan Hadis (ruju’ ilal Qur’an was Sunnah). Seruan semacam ini jelas sesuatu yang baik, tetapi tetap mengandung sejumlah masalah yang jarang disadari.

Kembali kepada Qur’an dan Sunnah bukanlah sesuatu yang dengan mudah dilakukan, dan tidak dengan sendirinya menjamin bahwa umat Islam akan “ho lupis kuntul baris” berada dalam satu saf. Sebab, bagaimana mereka kembali ke, dan menafsirkan, kedua sumber itu bisa sangat berbeda dari satu golongan ke golongan yang lain.

Kita akhirnya menyadari bahwa Nabi sudah tidak berada di tengah-tengah umat Islam lagi, dan setiap perkara yang muncul harus mereka selesaikan sebaik mungkin berdasarkan kompetensi mereka dalam memahami semangat Qur’an dan Sunnah. Inilah situasi yang digambarkan oleh para penganjur teori postsrukturalisme sebagai “keadaan telah matinya seorang pengarang”.

Setiap buku yang selesai ditulis oleh pengarang akan berlayar bagai perahu Nuh, dibimbing angin, meluncur ke lautan lepas, berkeliling ke bandar-bandar besar, tanpa bisa dikendalikan oleh si pengarang itu sendiri. Bahkan perahu itu boleh jadi tak akan pernah kembali lagi.

Artinya: buku itu akan ditafsirkan secara beragam oleh para pembacanya, bahkan dalam cara yang mungkin tak diduga-duga oleh si pengarang itu sendiri. Islam setelah wafatnya Nabi adalah persis seperti perahu Nuh itu.

Dengan demikian, tak pernah ada Islam yang satu sepeninggal Nabi. Islam adalah satu dan sekaligus banyak. Dalam keragamannya, Islam adalah satu; dalam kesatuannya, Islam adalah beragam. Dua wajah janus Islam ini tidak bisa dielakkan lagi, apalagi pada zaman ketika “gempa tektonik” informasi terjadi dalam skala yang tak pernah ada presedennya seperti sekarang ini.

Dawam Rahardjo pernah mengungkapkan dengan baik dalam ruangan Kajian Utan Kayu ini bahwa Qur’an haruslah didekati secara multidisipliner. Makin banyak peralatan ilmiah yang digunakan untuk mendekati Qur’an, dan dengan demikian juga Islam, maka akan semakin baiklah mutu penafsiran yang muncul dari sana.

Makin cupet pendekatan yang dipakai, makain kelihatan Islam sebagai agama yang tidak “rahmatan lil ‘alamin”. Jika cara berpikir a la Dawam ini diikuti, maka suatu konsekwensi yang tak terhindari adalah makin beragamnya Islam karena sejumlah peralatan multidisiliner yang dipakai untuk mendekatinya.

Tidak semua orang siap masuk ke pasar raya. Untuk pergi ke sana, seseorang haruslah mempersiapkan diri baik-baik agar tidak tersesat ke dalam rimba kios dan toko yang tak karuan jumlahnya. Modal utama untuk berhadapan dengan pasar raya tafsir itu adalah adanya kesiapan “intelektual” untuk menerima bahwa apa yang saya pilih dan “beli” adalah salah satu saja dari sekian kemungkinan tafsir yang ada.

Sebuah kebijaksanaan klasik yang konon pernah diucapkan oleh Imam Syafi’i layak dikutip di sini, “Pendapatku benar tapi mungkin salah, pendapat lawan diskusiku salah tapi mungkin benar.” Artinya: sikap menunda bahwa apa yang saya peluk dan percaya adalah yang paling benar, dan apa yang dikatakan orang lain pastilah salah.

Dalam semangat kata-kata Imam Syafi’i ini kita bisa menilai sejauh mana ketepatan sikap sejumlah teman Muslim yang dengan mudah menghakimi kelompok-kelompok lain sebagai sesat, kafir, keluar dari Islam, murtad, menyeleweng, dan semacamnya. Sikap semacam itu menghalangi mereka untuk mengambil manfaat yang besar dari pasar raya tafsir yang ramai itu.

Modal kedua untuk menghadapi pasar raya tafsir itu adalah sikap kritis dan skeptis sehingga tidak mudah untuk dikecoh oleh para pemilik kios yang selalu akan mengatakan, “Ini kecapku, dan kecapku adalah nomor satu.”

Saya selalu ingat sebuah pelajaran yang disampaikan oleh Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat), cendekiawan Muslim dari Bandung itu: memahami Islam dengan emosi yang tinggi dan berkobar-kobar akan mudah pudar; memahami Islam dengan akal yang dingin dan penalaran yang matang akan bertahan lama dan tak mudah goyah.

Sikap yang tepat, dengan demikian, adalah memandang semua tafsir yang membanjiri pasar raya itu sebagai tantangan, bukan sebagai ancaman; dan memperlakukan teman Muslim yang ada di samping kiri kanan kita sebagai teman diskusi, bukan sebagai musuh yang semata-mata menjadi obyek pengkafiran dan penyesatan. Toh, dengan mengkafir-kafirkan begitu, perahu Nuh “Islam” itu tidak akan kembali lagi ke galangannya semula. Ia akan terus berlayar mengunjungi bandar-bandar di pelbagai negeri. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar