Pasar
Raya Tafsir dan Perahu Nuh
Oleh: Ulil
Abshar-Abdalla
Saya
membayangkan Islam sekarang ini mirip sebuah pasar besar dengan ratusan, bahkan
ribuan, toko dan kios di dalamnya. Di sana kita temukan toko di mana Islam a la
Gus Dur dijajakan. Di sebuah kios yang lain, kita temukan Islam sebagaimana
ditafsirkan oleh Cak Nur. Ada sebuah kios yang ramai dikunjungi orang, terutama
anak-anak muda; di sana kita lihat Islam sebagaimana ditafsirkan oleh Ustaz
Ja’far Umar Talib digelar.
Sejumlah
kios yang menjajakan Islam a la Hassan Hanafi, Mohamed Arkoun, Abid Al Jabiri,
Nasr Hamid Abu Zeid, Abdullahi Ahmed Anna’im, Sayyid Qutb, Yusuf Qardlawi, Ali
Syari’ati dan “kemasan-kemasan imporan “ yang lain, juga tampak ramai
dikerubuti oleh para mahasiswa.
Semua
kios itu ramai didatangi oleh para pengunjung yang rata-rata adalah anak-anak
muda. Memang bisa dimaklumi, anak-anak muda masih mempunyai semangat besar
untuk menjelajah dan mecobai sejumlah hal yang mereka anggap baru.
Orang-orang
tua yang sudah mapan dengan “pendapat tertentu” biasanya kurang tertarik untuk
“shopping” dan belanja di pasar raya Islam yang kian ramai dan padat itu.
Mereka sudah “nrimo” dengan kemasan-kemasan Islam yang mereka langgani sejak
nenek dan kakek mereka. Orang-orang tua biasanya sudah merasa tidak perlu lagi
menjajal hal-hal baru yang belum tentu “khasiatnya”.
Gambaran
ini jelas hanya merupakan cara untuk menerangkan bagaimana hidupnya diskursus
pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam Indonesia saat ini.
Pandangan-pandangan yang berbeda saling berebut untuk menarik suatu celah dalam
perdebatan pulik yang makin hidup dan bersemangat. Orang-orang Islam saat ini
dengan mudah melakukan semacam “selancar virtual” dari satu toko ke toko yang
lain, dari satu tafsir ke tafsir yang lain. Ini mungkin terjadi karena sejumlah
faktor.
Pertama
dan paling pokok adalah makin pentingnya kedudukan “budaya tulis” dalam
masyarakat Islam Indonesia saat ini, seiring dengan makin besarnya jumlah kaum
terdidik Islam yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan modern. Kedua,
makin bersemangatnya industri penerbitan buku-buku Islam selama satu dekade
terakhir ini.
Ketiga,
makin beragamnya pendekatan-pendekatan yang dipakai oleh anak-didik Islam
belakangan untuk menerjemahkan Islam dalam konteks kehidupan modern. Faktor
terakhir yang sangat penting tentu adalah kebebasan politik yang muncul
akhir-akhir ini di mana kebebasan itu pada akhirnya juga berdampak pada
penciptaan ruang wacana yang kian terbuka bagi masyarakat.
Kombinasi
keempat faktor tersebut –serta sejumlah faktor lain yang tak usah terlalu
diperinci di sini—telah memungkinkan lahirnya fenomena “ta’addudiyyah” atau
keragaman Islam dalam bentuk pasar raya tafsir yag berwarna-warni.
Pasar
raya bisa merupakan tempat yang asyik untuk “cuci mata” dan melihat-lihat
pemandangan yang serba berbeda. Tetapi di pasar raya, sejumlah orang bisa juga
tersesat dan tak tahu jalan bagaimana keluar dari labirin kios yang begitu
banyak jumlahnya. Orang-orang tertentu akan merasa kebingungan memilih barang
yang hendak dibeli.
Orang-orang
semacam ini bisa berpikiran bahwa pasar raya adalah jahat karena membuat banyak
orang tersesat. Melalui prosedur penalaran tertentu, mereka bisa sampai kepada
suatu kesimpulan bahwa sebuah pasar raya harus dibasmi, karena akan
membingungkan para konsumen. Sebaiknya orang-orang kembali kepada pasar
tradisional lama di mana toko ini dan itu sudah jelas di mana letaknya dan apa
jualannya, serta siapa penjualnya.
Banyak
orang Islam saat ini yang merasa adanya kejanggalan pada keragaman kata sifat
yang melekat pada “Islam”. Ada Islam fundamentalis, Islam moderat, Islam
revivalis, Islam modernis, Islam neo-modernis, Islam neo-revivalis, Islam
liberal, dan Islam-Islam yang lain.
Sejumlah
ajektif itu hanyalah akan mengaburkan esensi dan kebenaran Islam itu sendiri.
Islam, menurut orang-orang ini, hanyalah satu satu saja adanya, yaitu Islam
sebagaimana diajarkan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. Islam adalah satu.
Pandangan semacam ini mencerminkan satu gejala yang muncul ketika seseorang
berhadapan dengan pasar raya penafsiran: gejala “kelinglungan” berhadapan
dengan warna-warni pilihan.
Sudah
sejak zaman klasik, Islam yang satu itu selalu mengalami perbedaan penafsiran
dari satu orang ke orang lain. Seorang penulis klasik, Asy Syahrastani menulis
buku yang sudah sangat terkenal, Al Milal wan Nihal(Perihal Sekte-Sekte dan
Golongan-Golongan), di mana dengan gamblang sekali ditunjukkan keragaman
orang-orang Islam dalam memahami dan menerjemahkan Islam yang satu itu.
Saat Nabi
masih hidup, Islam memang hanyalah satu, sebab setiap kali muncul selisih
pendapat perihal satu pokok soal, para sahabat bisa langsung datang dan
bertanya kepada Nabi. Itulah sebabnya Qur’an mengatakan, “fa in tanaza’tum fi
syai’in farudduhu ilal Lahi wa rasulih,” jika kalian berselisih pendapat, maka
kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Saat Nabi
wafat, tempat orang-orang Islam bertanya itu sudah tak ada lagi kecuali deretan
teks yang terbukukan dalam Qur’an dan Hadis. Di sinilah letak segala
masalahnya: setiap teks selalu cenderung untuk membuka diri kepada sejumlah
kemungkinan penafsiran. Dari sanalah dimulai embrio pasar raya penafsiran Islam
itu.
Pernah
ada suatu masa di mana ada sejumlah golongan dalam Islam menyeru dengan penuh
semangat bahwa kalau umat Islam hendak menyelesaikan segala masalah yang mereka
hadapi, maka mereka harus kembali kepada Qur’an dan Hadis (ruju’ ilal Qur’an
was Sunnah). Seruan semacam ini jelas sesuatu yang baik, tetapi tetap
mengandung sejumlah masalah yang jarang disadari.
Kembali
kepada Qur’an dan Sunnah bukanlah sesuatu yang dengan mudah dilakukan, dan
tidak dengan sendirinya menjamin bahwa umat Islam akan “ho lupis kuntul baris”
berada dalam satu saf. Sebab, bagaimana mereka kembali ke, dan menafsirkan,
kedua sumber itu bisa sangat berbeda dari satu golongan ke golongan yang lain.
Kita
akhirnya menyadari bahwa Nabi sudah tidak berada di tengah-tengah umat Islam
lagi, dan setiap perkara yang muncul harus mereka selesaikan sebaik mungkin
berdasarkan kompetensi mereka dalam memahami semangat Qur’an dan Sunnah. Inilah
situasi yang digambarkan oleh para penganjur teori postsrukturalisme sebagai
“keadaan telah matinya seorang pengarang”.
Setiap
buku yang selesai ditulis oleh pengarang akan berlayar bagai perahu Nuh,
dibimbing angin, meluncur ke lautan lepas, berkeliling ke bandar-bandar besar,
tanpa bisa dikendalikan oleh si pengarang itu sendiri. Bahkan perahu itu boleh
jadi tak akan pernah kembali lagi.
Artinya:
buku itu akan ditafsirkan secara beragam oleh para pembacanya, bahkan dalam
cara yang mungkin tak diduga-duga oleh si pengarang itu sendiri. Islam setelah
wafatnya Nabi adalah persis seperti perahu Nuh itu.
Dengan
demikian, tak pernah ada Islam yang satu sepeninggal Nabi. Islam adalah satu
dan sekaligus banyak. Dalam keragamannya, Islam adalah satu; dalam kesatuannya,
Islam adalah beragam. Dua wajah janus Islam ini tidak bisa dielakkan lagi,
apalagi pada zaman ketika “gempa tektonik” informasi terjadi dalam skala yang
tak pernah ada presedennya seperti sekarang ini.
Dawam
Rahardjo pernah mengungkapkan dengan baik dalam ruangan Kajian Utan Kayu ini
bahwa Qur’an haruslah didekati secara multidisipliner. Makin banyak peralatan
ilmiah yang digunakan untuk mendekati Qur’an, dan dengan demikian juga Islam,
maka akan semakin baiklah mutu penafsiran yang muncul dari sana.
Makin
cupet pendekatan yang dipakai, makain kelihatan Islam sebagai agama yang tidak
“rahmatan lil ‘alamin”. Jika cara berpikir a la Dawam ini diikuti, maka suatu
konsekwensi yang tak terhindari adalah makin beragamnya Islam karena sejumlah
peralatan multidisiliner yang dipakai untuk mendekatinya.
Tidak
semua orang siap masuk ke pasar raya. Untuk pergi ke sana, seseorang haruslah
mempersiapkan diri baik-baik agar tidak tersesat ke dalam rimba kios dan toko
yang tak karuan jumlahnya. Modal utama untuk berhadapan dengan pasar raya
tafsir itu adalah adanya kesiapan “intelektual” untuk menerima bahwa apa yang
saya pilih dan “beli” adalah salah satu saja dari sekian kemungkinan tafsir
yang ada.
Sebuah
kebijaksanaan klasik yang konon pernah diucapkan oleh Imam Syafi’i layak
dikutip di sini, “Pendapatku benar tapi mungkin salah, pendapat lawan diskusiku
salah tapi mungkin benar.” Artinya: sikap menunda bahwa apa yang saya peluk dan
percaya adalah yang paling benar, dan apa yang dikatakan orang lain pastilah
salah.
Dalam
semangat kata-kata Imam Syafi’i ini kita bisa menilai sejauh mana ketepatan
sikap sejumlah teman Muslim yang dengan mudah menghakimi kelompok-kelompok lain
sebagai sesat, kafir, keluar dari Islam, murtad, menyeleweng, dan semacamnya.
Sikap semacam itu menghalangi mereka untuk mengambil manfaat yang besar dari
pasar raya tafsir yang ramai itu.
Modal
kedua untuk menghadapi pasar raya tafsir itu adalah sikap kritis dan skeptis
sehingga tidak mudah untuk dikecoh oleh para pemilik kios yang selalu akan
mengatakan, “Ini kecapku, dan kecapku adalah nomor satu.”
Saya
selalu ingat sebuah pelajaran yang disampaikan oleh Kang Jalal (Jalaluddin
Rakhmat), cendekiawan Muslim dari Bandung itu: memahami Islam dengan emosi yang
tinggi dan berkobar-kobar akan mudah pudar; memahami Islam dengan akal yang
dingin dan penalaran yang matang akan bertahan lama dan tak mudah goyah.
Sikap
yang tepat, dengan demikian, adalah memandang semua tafsir yang membanjiri
pasar raya itu sebagai tantangan, bukan sebagai ancaman; dan memperlakukan
teman Muslim yang ada di samping kiri kanan kita sebagai teman diskusi, bukan
sebagai musuh yang semata-mata menjadi obyek pengkafiran dan penyesatan. Toh,
dengan mengkafir-kafirkan begitu, perahu Nuh “Islam” itu tidak akan kembali
lagi ke galangannya semula. Ia akan terus berlayar mengunjungi bandar-bandar di
pelbagai negeri. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar