Kamis, 10 September 2015

Gus Sholah: Menggemakan Kesalehan Sosial



Menggemakan Kesalehan Sosial
Oleh: Salahuddin Wahid

Salah satu keteladanan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang sering diungkap ialah sikap istikamah beliau dalam menyampaikan Surat Al-Ma'un berulang-ulang sampai para santri menghayati pesan surat itu, lalu coba mengamalkannya.

Pesan surat itulah yang lalu mengilhami/memotivasi warga Muhammadiyah beramal usaha sosial. Semangat itu pula yang mendorong organisasi Muhammadiyah mendirikan berbagai fasilitas dan kegiatan sosial dalam jumlah besar. Fasilitas itu antara lain 16.346 TK/TPQ/PAUD; 5.105 sekolah/madrasah; 122 pesantren; 192 perguruan tinggi, 557 RSU, RS bersalin, BKIA, BP; 318 panti asuhan; 54 panti jompo; 21.000 masjid/mushala; 762 BPR; dan 437 BMT.

Walau tak eksplisit mengaitkannya dengan Surat Al-Ma'un, ormas Islam lain juga mendirikan banyak fasilitas pendidikan dan sosial di sejumlah tempat di Indonesia, antara lain Al Khairat, Hidayatullah, dan Al Washliyah.

Organisasi Nahdlatul Ulama berkarakter berbeda dengan organisasi Muhammadiyah. Yang banyak mendirikan fasilitas sosial dan pendidikan bukanlah organisasi NU, melainkan warga NU. Dari sekitar 27.000 pesantren, sebagian besar adalah amal usaha warga NU, bukan organisasi NU. Dari sekitar 60.000 madrasah, sebagian besar didirikan warga NU, bukan organisasi NU. Muslimat NU punya panti asuhan yang jumlahnya tak di bawah milik Muhammadiyah.

Gizi buruk

Pada Ramadhan, kita sering dengar penyelenggaraan acara buka puasa bersama anak yatim oleh sejumlah pihak. Pada Ramadhan tahun ini, saya membaca berita, Pertamina menyelenggarakan buka puasa untuk beberapa ribu anak yatim. Itu kegiatan positif dan perlu dihargai. Akan jauh lebih baik jika acara memberi makan anak yatim bisa dilakukan tak hanya saat buka puasa, tetapi juga di hari biasa, dan lebih sering tentu lebih baik. Dan yang diberi makan itu tak hanya anak yatim, tetapi juga anak-anak yang punya orangtua, tetapi miskin, sehingga mereka tak bisa kasih makan anak-anak mereka.

Apakah jumlah anak yang kurang makan itu cukup besar sehingga mereka yang mampu secara ekonomi harus peduli dan lalu tergerak membantu mereka? Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, diperkirakan prevalensi anak balita gizi buruk dan gizi kurang 19,6 persen. Dibandingkan dengan hasil 2007, terjadi peningkatan 1,2 persen. Jika angka itu dikonversi ke jumlah, muncul 19,6 persen dari jumlah anak balita (23.709.000), yaitu 4.647.000 anak balita bergizi buruk dan kurang.

Berdasarkan penyebaran tiap provinsi, 19 provinsi punya proporsi lebih tinggi dari angka nasional. Proporsi tertinggi anak balita gizi buruk dan kurang ialah di NTT (33 persen) dan terendah di Bali (13,2 persen). Di setiap desa di seluruh Indonesia tersua 16-415 anak balita bergizi buruk dan kurang. Anak bergizi buruk sampai usia 2 tahun akan jadi anak berbadan kontet: kurus dan otaknya kosong. Kalau masalah itu menasional, bonus demografi akan jadi bencana demografi.

Dalam Pembukaan UUD, salah satu tugas pemerintah memajukan kesejahteraan umum dan ditegaskan adanya sila keadilan sosial dalam Pancasila. Dalam Pasal 27 UUD ditegaskan, tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam Pasal 34 ditegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara. Dalam Pasal 28 UUD setelah diamandemen ditegaskan bahwa pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Pemerintah memahami tanggung jawab itu. Maka, dibuat pro- gram bantuan beras untuk orang miskin, Kartu Indonesia Pintar, dan lain-lain. Program yang amat membantu semua orang, baik miskin maupun tidak, ialah Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS. Berdasarkan survei riskesdas di atas, tampaknya pemerintah belum berhasil memikul tanggung jawab itu karena keterbatasan anggaran. Kalau pemerintah belum atau kurang mampu, tentu masyarakat perlu bertanggung jawab. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tentu umat Islam lebih bertanggung jawab.

Sejauh mana umat Islam merasa harus ikut memikul tanggung jawab itu? Saya duga tidak banyak umat Islam dan tokoh Islam yang paham bahwa ternyata masih puluhan juta rakyat Indonesia menderita gizi buruk dan kurang gizi. Sebagai gambaran, rekomendasi Muktamar Muhammadiyah sama sekali tak menyinggung masalah itu. Rekomendasi Muktamar NU hanya sedikit menyinggung masalah memajukan kesejahteraan umum dan potensi bonus demografi menjadi bencana demografi. Rekomendasi Munas MUI juga tak menyinggung masalah itu.

Kalau telah tahu fakta pahit seperti itu, mungkin mereka tergerak membuat rekomendasi yang mendorong umat Islam membantu mereka yang bergizi buruk dan berpotensi sama sekali tak punya masa depan karena otaknya kosong (usia 2-3 tahun bergizi buruk). Rekomendasi itu sesuai dengan pesan Surat Al-Ma'un yang menyatakan bahwa mereka yang tak peduli terhadap anak yatim dan orang miskin adalah pendusta agama.

Kesalehan sosial

Survei Badan Litbang Kementerian Agama pada 2007 di 13 provinsi memperlihatkan bahwa ibadah ritual umat Islam Indonesia amat tinggi: 92 persen shalat lima waktu, 97,3 persen berpuasa Ramadhan, 77 persen berzakat dan infak. Survei Prof Riaz Hassan dari Flinders University menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebaliknya, survei Badan Litbang Kementerian Agama 2014 mengungkap, hanya dua dari 10 indikator kesalehan sosial yang masuk kategori baik: demokrasi dan menghormati perbedaan. Indikator yang lain rendah, antara lain kepedulian sosial, kedermawanan, tak memaksakan nilai, tata kelola, mencegah kekerasan, konservasi lingkungan.

Angka 77 persen dari umat Is- lam yang membayar zakat dan infak tak menjelaskan apakah yang dimaksud berzakat itu membayar zakat mal atau zakat fitrah. Kita perlu memperhatikan bahwa pada 2014 jumlah ZIS yang dikumpulkan LAZ/BAZ Rp 2,77 triliun dan target 2015 adalah Rp 4,22 triliun. Diperkirakan jumlah ZIS yang tak melalui LAZ/BAZ paling tidak sama sehingga pada 2014 seluruh ZIS Rp 5,54 triliun dan target pada 2015 Rp 8,44 triliun.

Peningkatan jumlah itu tentu menggembirakan, tetapi kalau kita bandingkan dengan potensi yang mencapai Rp 217 triliun per tahun, jumlah itu masih jauh dari semestinya. Angka itu baru sekitar 2,5 persen pada 2014. Potensi itu hasil kajian Firdaus, Beik, Juanda, dan Irawan pada 2011 yang setara 3,4 persen PDB.

Bandingkan dengan dana yang dipakai untuk pergi umrah tiap tahun. Saya duga tiap tahun sekitar 1 juta Muslimin Indonesia pergi umrah. Kalau setiap orang menghabiskan 2.000 dollar AS, biaya umrah 2 miliar dollar AS, sekitar Rp 28 triliun. Jumlah itu sama dengan lima kali jumlah ZIS pada 2014. Terlihat jelas, kesalehan sosial kita jauh di bawah kesalehan ritual kita.

Pesan Surat Al-Ma'un yang amat penting kurang bergaung dibandingkan dengan panggilan ibadah ritual yang memang betul-betul nikmat. Tentu tak mungkin melarang Muslimin berumrah, terutama bagi mereka yang sudah berkali-kali umrah. Mungkin yang bisa disampaikan: kalau pergi umrah, jangan lupa bersedekah membantu mereka bergizi buruk, paling tidak separuh dari biaya umrah, syukur kalau bisa sebesar biaya umrah. []

KOMPAS, 5 September 2015
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar