Menggemakan Kesalehan Sosial
Oleh: Salahuddin Wahid
Salah satu keteladanan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang
sering diungkap ialah sikap istikamah beliau dalam menyampaikan Surat Al-Ma'un
berulang-ulang sampai para santri menghayati pesan surat itu, lalu coba
mengamalkannya.
Pesan surat itulah yang lalu mengilhami/memotivasi warga
Muhammadiyah beramal usaha sosial. Semangat itu pula yang mendorong organisasi
Muhammadiyah mendirikan berbagai fasilitas dan kegiatan sosial dalam jumlah
besar. Fasilitas itu antara lain 16.346 TK/TPQ/PAUD; 5.105 sekolah/madrasah;
122 pesantren; 192 perguruan tinggi, 557 RSU, RS bersalin, BKIA, BP; 318 panti
asuhan; 54 panti jompo; 21.000 masjid/mushala; 762 BPR; dan 437 BMT.
Walau tak eksplisit mengaitkannya dengan Surat Al-Ma'un, ormas
Islam lain juga mendirikan banyak fasilitas pendidikan dan sosial di sejumlah
tempat di Indonesia, antara lain Al Khairat, Hidayatullah, dan Al Washliyah.
Organisasi Nahdlatul Ulama berkarakter berbeda dengan organisasi
Muhammadiyah. Yang banyak mendirikan fasilitas sosial dan pendidikan bukanlah
organisasi NU, melainkan warga NU. Dari sekitar 27.000 pesantren, sebagian
besar adalah amal usaha warga NU, bukan organisasi NU. Dari sekitar 60.000
madrasah, sebagian besar didirikan warga NU, bukan organisasi NU. Muslimat NU
punya panti asuhan yang jumlahnya tak di bawah milik Muhammadiyah.
Gizi buruk
Pada Ramadhan, kita sering dengar penyelenggaraan acara buka puasa
bersama anak yatim oleh sejumlah pihak. Pada Ramadhan tahun ini, saya membaca
berita, Pertamina menyelenggarakan buka puasa untuk beberapa ribu anak yatim.
Itu kegiatan positif dan perlu dihargai. Akan jauh lebih baik jika acara
memberi makan anak yatim bisa dilakukan tak hanya saat buka puasa, tetapi juga
di hari biasa, dan lebih sering tentu lebih baik. Dan yang diberi makan itu tak
hanya anak yatim, tetapi juga anak-anak yang punya orangtua, tetapi miskin,
sehingga mereka tak bisa kasih makan anak-anak mereka.
Apakah jumlah anak yang kurang makan itu cukup besar sehingga
mereka yang mampu secara ekonomi harus peduli dan lalu tergerak membantu
mereka? Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, diperkirakan prevalensi anak
balita gizi buruk dan gizi kurang 19,6 persen. Dibandingkan dengan hasil 2007,
terjadi peningkatan 1,2 persen. Jika angka itu dikonversi ke jumlah, muncul
19,6 persen dari jumlah anak balita (23.709.000), yaitu 4.647.000 anak balita
bergizi buruk dan kurang.
Berdasarkan penyebaran tiap provinsi, 19 provinsi punya proporsi
lebih tinggi dari angka nasional. Proporsi tertinggi anak balita gizi buruk dan
kurang ialah di NTT (33 persen) dan terendah di Bali (13,2 persen). Di setiap
desa di seluruh Indonesia tersua 16-415 anak balita bergizi buruk dan kurang.
Anak bergizi buruk sampai usia 2 tahun akan jadi anak berbadan kontet: kurus
dan otaknya kosong. Kalau masalah itu menasional, bonus demografi akan jadi
bencana demografi.
Dalam Pembukaan UUD, salah satu tugas pemerintah memajukan
kesejahteraan umum dan ditegaskan adanya sila keadilan sosial dalam Pancasila.
Dalam Pasal 27 UUD ditegaskan, tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam Pasal 34 ditegaskan bahwa fakir
miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara. Dalam Pasal 28 UUD setelah
diamandemen ditegaskan bahwa pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.
Pemerintah memahami tanggung jawab itu. Maka, dibuat pro- gram
bantuan beras untuk orang miskin, Kartu Indonesia Pintar, dan lain-lain.
Program yang amat membantu semua orang, baik miskin maupun tidak, ialah Jaminan
Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS. Berdasarkan survei riskesdas di atas,
tampaknya pemerintah belum berhasil memikul tanggung jawab itu karena
keterbatasan anggaran. Kalau pemerintah belum atau kurang mampu, tentu
masyarakat perlu bertanggung jawab. Karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam, tentu umat Islam lebih bertanggung jawab.
Sejauh mana umat Islam merasa harus ikut memikul tanggung jawab
itu? Saya duga tidak banyak umat Islam dan tokoh Islam yang paham bahwa
ternyata masih puluhan juta rakyat Indonesia menderita gizi buruk dan kurang
gizi. Sebagai gambaran, rekomendasi Muktamar Muhammadiyah sama sekali tak
menyinggung masalah itu. Rekomendasi Muktamar NU hanya sedikit menyinggung
masalah memajukan kesejahteraan umum dan potensi bonus demografi menjadi
bencana demografi. Rekomendasi Munas MUI juga tak menyinggung masalah itu.
Kalau telah tahu fakta pahit seperti itu, mungkin mereka tergerak
membuat rekomendasi yang mendorong umat Islam membantu mereka yang bergizi
buruk dan berpotensi sama sekali tak punya masa depan karena otaknya kosong
(usia 2-3 tahun bergizi buruk). Rekomendasi itu sesuai dengan pesan Surat
Al-Ma'un yang menyatakan bahwa mereka yang tak peduli terhadap anak yatim dan
orang miskin adalah pendusta agama.
Kesalehan sosial
Survei Badan Litbang Kementerian Agama pada 2007 di 13 provinsi
memperlihatkan bahwa ibadah ritual umat Islam Indonesia amat tinggi: 92 persen
shalat lima waktu, 97,3 persen berpuasa Ramadhan, 77 persen berzakat dan infak.
Survei Prof Riaz Hassan dari Flinders University menunjukkan angka yang lebih
tinggi. Sebaliknya, survei Badan Litbang Kementerian Agama 2014 mengungkap,
hanya dua dari 10 indikator kesalehan sosial yang masuk kategori baik:
demokrasi dan menghormati perbedaan. Indikator yang lain rendah, antara lain
kepedulian sosial, kedermawanan, tak memaksakan nilai, tata kelola, mencegah
kekerasan, konservasi lingkungan.
Angka 77 persen dari umat Is- lam yang membayar zakat dan infak
tak menjelaskan apakah yang dimaksud berzakat itu membayar zakat mal atau zakat
fitrah. Kita perlu memperhatikan bahwa pada 2014 jumlah ZIS yang dikumpulkan
LAZ/BAZ Rp 2,77 triliun dan target 2015 adalah Rp 4,22 triliun. Diperkirakan
jumlah ZIS yang tak melalui LAZ/BAZ paling tidak sama sehingga pada 2014
seluruh ZIS Rp 5,54 triliun dan target pada 2015 Rp 8,44 triliun.
Peningkatan jumlah itu tentu menggembirakan, tetapi kalau kita
bandingkan dengan potensi yang mencapai Rp 217 triliun per tahun, jumlah itu
masih jauh dari semestinya. Angka itu baru sekitar 2,5 persen pada 2014.
Potensi itu hasil kajian Firdaus, Beik, Juanda, dan Irawan pada 2011 yang
setara 3,4 persen PDB.
Bandingkan dengan dana yang dipakai untuk pergi umrah tiap tahun.
Saya duga tiap tahun sekitar 1 juta Muslimin Indonesia pergi umrah. Kalau
setiap orang menghabiskan 2.000 dollar AS, biaya umrah 2 miliar dollar AS,
sekitar Rp 28 triliun. Jumlah itu sama dengan lima kali jumlah ZIS pada 2014.
Terlihat jelas, kesalehan sosial kita jauh di bawah kesalehan ritual kita.
Pesan Surat Al-Ma'un yang amat penting kurang bergaung dibandingkan
dengan panggilan ibadah ritual yang memang betul-betul nikmat. Tentu tak
mungkin melarang Muslimin berumrah, terutama bagi mereka yang sudah
berkali-kali umrah. Mungkin yang bisa disampaikan: kalau pergi umrah, jangan
lupa bersedekah membantu mereka bergizi buruk, paling tidak separuh dari biaya
umrah, syukur kalau bisa sebesar biaya umrah. []
KOMPAS, 5 September 2015
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar