Jumat, 18 September 2015

(Ngaji of the Day) Esensi Ibadah Qurban



Esensi Ibadah Qurban
Oleh: Nasrulloh Afandi

--Pengorbanan tertinggi manusia adalah mengikhlaskan sesuatu yang sangat dicintai semata-mata untuk dan karena Allah SWT, meskipun sesuatu itu telah lama dinantikan dan baru saja didapatkannya.

Khazanah ini, bisa mengambil i’tibar (perumpamaan) dari kisah keikhlasan jiwa besar Nabi Ibrahim AS, Ia  telah lama berdoa dan menantikan kehadiran seorang putra, namun ketika putra yang telah lama Ia nantikan itu, baru saja Ia miliki dan telah  tumbuh berusia tiga belas tahun, malah justru datang perintah baru dari Allah SWT, untuk menyembelih putranya sebagai qurban, Ia pun ikhlas menerimanya. Maka akhirnya, semakin diangkatlah derajatnya di mata Allah swt.

Mengorbankan Kepentingan Keluarga

Nabi Ibrahim AS adalah sang promotor yang mengajak umat manusia untuk mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya demi untuk kepentingan yang lebih luas atas dasar kebenaran (agama) sehingga Ia pun tanpa ragu, tanpa menunda-nunda, langsung dengan ikhlas menuruti (Kebenaran) perintah Allah swt untuk menyembelih putranya.

Ia bersikap mengedepankan kepentingan agama (kebenaran di ruang publik)  dan untuk ummat, meski harus mengorbankan putranya.- Subhanallah-. Meskipun akhirnya putranya tidak jadi disembelih, karena Allah SWT mengutus malaikat untuk menggantikan Nabi Ismail AS dengan kambing untuk disembelih.

Syeikh Tohir Bin Asyur Sang penggerak lokomotif  Maqashid Syariah modern, dalam magnum opusnya, kitab “Tafsir At-Tahrir wat-Tanwir”, ia mengomentari tentang perintah Allah swt kepada Nabi Ibrahim as untuk menyembelih putranya ,yang dibadikan dalam al-Quran(QS As-Shaafaat 102-109) : “Sejatinya Allah swt tidaklah akan mensyariatkan kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putra semata wayang kesayangannya yang telah lamadinantikannya itu, tetapi perintah tersebut hanyalah upaya Allah swt menguji kualitas keimanan untuk menetapkan dan mengangkat derajatnya Nabi Ibrahim as, bersedia atau tidakkah mengorbankan putranya itu. Terbukti, setelah Nabi Ibrahim dan putranya pun bersedia(bersabar) untuk melaksanakn perintah tersebut, kemudian  Allah swt pun menggirim kambing untuk disembelih, sebelum Nabi Ibrahim melaksanakan atau menyembelih putranya”.

Inilah esensi disyariatkan ibadah qurban, pada tahun kedua Hijriah, yaitu tahun bebarengan dengan disyariatkan(diperintahkannya) Dua salat Id dan zakat harta, itu.

Ekslusivisme Ibadah Qurban

Faktor yang menjadi pijakan ibadah qurban, setidaknya ada dua hal:

Pertama; Untuk mengenang kebesaran jiwa antara seorang ayah yang bernama Nabi Ibrahim AS yang sangat berjiwa besar dan ikhlas rela mengorbankan kpentingan pribadi dan keluarganya, terbukti Ia pun bersedia melaksanakan perintah meneyemeblih anaknya atas dasar kebenaran (dari perintah agama).

Kedua; Mengenang kesabaran dan ketaatan  Sang anak (birrul walidain) yang sangat berbakti pada orang tuanya, Ia  bernama Nabi Ismail as yang ikhlas mau disembelih sebagai qurban oleh ayahnya dengan landasan kebenaran(Firman Allah swt).

Karena dua faktor ini pula, ibadah Qurban mempunyai ekslusivisme, diantaranya, memotong hewan Qurban, adalah harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan oleh syariat, yaitu empat hari: Tanggal 10 Dzulhijjah (setelah shalat ‘Id) dan tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah (tiga hari sesudahnya) yang dikenal dengan Ayyamutasyriq.

Hal ini, yang membedakan antara penyembelihan hewan Qurban dengan (ibadah) penyembelihan hewan lainnya. seperti menyembelih hewan aqiqah, atau juga memotong hewan ternak untuk pesta pernikahan atau menjamu tamu, atau memotong hewan karena memenuhi nazar, atau hewan Dam(denda) yang disembelih oleh orang yang berhaji Tamattu, atau haji Qiran, namun itu semua berbeda dengan memotong hewan Qurban dalam momentum Idul Adha ini. Karena amalan-amalan trsebut, bisa dilaksanakan kapanpun.

Inilah dimensi ekslusivis Ibadah qurban dari syiar Islam lainnya yang berupa ibadah menyembelih(hewan)

Bagaimana Berqurban di Ruang Publik?

Betapa pun sesuatu hal yang sangat dicintai dan telah lama diharapkan, dan baru saja dimiliki, tetapi ketika Perintah Tuhan(kebenaran di ruang Publik) menyerukan untuk mengorbankan hal itu, maka harus ikhlas dikorbankannya.

Dalam konteks ini, implementasinya, dalam kehidupan sosial sehari-hari, dengan tidak terbatas waktu, musim atau tempat, kapan dan dimanapun, jelas membantu orang-orang membutuhkan adalah sebuah tuntutan kebenaran yang harus dilakukan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ikhlas mengorbankan putranya, meski masih dalam keadaan “bulan madu” bersama putra kesayangannya.

Di berbagai  lini aktivitas sosial, hal ekonomi, pendidikan, keadilan, politik dan kebebasan berpikir, itu semua adalah bagian dari hal-hal yang perlu pengorbanan, wajib dilakukan oleh orang-orang  mampu untuk melakukannya , berkewajiban untuk berqurban demi membantu mereka yang membutuhkan. Bukan sebaliknya, orang yang lebih kuat atau berkecukupan  justeru mengorbankan orang yang lebih lemah atau kekurangan dijadikannya sebagai tumbal angkara ambisi mereka yang kuat.

Jika hal ini bisa terlaksana di kancah kehidupan sosial bermasyarakat, maka kronisnya penyakit moral berupa: “Mengorbankan kebenaran yang merugikan publik, demi tercapainya hal-hal ambisi pribadi , keluarga dan golongannya”, secara estafet, penyakit tersebut akan tergusur. Bahkan niscaya event Idul Adha ini, maka secara estafet akan mampu dijadikan Pijakan Strategis Reorientasi Totalitas Moralitas Bangsa, dari keterpurukannya yang kian bertambah akut ini.

Teladan dari Nabi Ibrahim AS ini, memang tentu sangatlah langka untuk kita temukan dalam kehidupan bangsa Indonesia tercinta itu, utamanya yang menjangkit kalang elite pemerintah negeri tercinta dasawarsa ini.

Di sisi lain, skandal moral, yang menjangkit totalitas bangsa kita itu, di berbagai lini aktivitas kehidupan bangsa Indonesia ini, dengan semakin langkanya jiwa-jiwa sosial, egoistis merajalela, mencari rezeki dengan menghalalkan segala cara. Kebenaran dan kemanusian dikorbankan, -- parahnya lagi kerap mengklaim sebagai pejuang publik---  meski sejatinya demi hanya untuk mengedepankan tercapainya ambisi pribadi dan keluarga atau maksimal golongannya belaka.

Analisis (tafakkur) berbagai unsur nilai ruhaniah (spiritualitas) yang terkandung, atas disyariatkannya ibadah qurban ini. Adalah sebuah pijakan awal untuk langkah menempa setiap individual manusia (Pasca Idul Adha) dengan hal-hal positif, dengan metode mengambil I’tibar( Teladan) dari apa yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS putranya.

Semangat Idul Adha atau hari raya Qurban ini, sudah semestinya  “menjadi start awal” medan memerangi nafsu angkara ambisi, dan kedzoliman (kesewenang-wenangan) yang telah subur bercokol di ruang publik tanah air kita ini, dengan cara “menyembelih” kenaifan-kenaifan tersebut, dan kembali kepada semangat autentisitas berqurban sejati, yaitu berkorban untuk mengedepankan kebenaran, kepentingan luas, dan meminggirkan kepentingan sempit, demi terwujudnya kemaslahatan yang lebih luas. []

Nasrulloh Afandi, Wakil Ketua Yayasan Pondok Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Kedungwungu, Indramayu Timur, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar