Selasa, 29 September 2015

Quraish Shihab: Dakwah yang Bijak



Dakwah yang Bijak
Oleh: M. Quraish Shihab

Dakwah adalah ajakan kepada kebaikan dengan cara yang terbaik. Ia adalah upaya memberi hidayah yakni petunjuk. Hidayah seakar dengan kata hadiah, yakni sesuatu yang seyogianya baik/bermanfaat, yang dikemas dengan indah dan diserahkan dengan lemah lembut. Sejak dini, Nabi Muhammad saw. diingatkan al-Qur’an bahwa: Sekiranya engkau berucap kasar lagi berhati keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu (QS. Âli ‘Imrân [3]: 159).

Berucap kasar menggambarkan sisi luar manusia dan berhati keras menunjuk sisi dalamnya. Keduanya, “berucap kasar” dan “berhati keras”, perlu disingkirkan secara bersamaan karena boleh jadi ada yang berucap kasar tapi hatinya lembut, atau ucapannya manis tapi hatinya busuk. Yang berdakwah hendaknya menggabung perilaku yang sopan, kata-kata yang indah, sekaligus hati yang luhur, penuh kasih walau terhadap sasaran yang durhaka dan kejam.

Informasi yang diberikan bukan saja harus benar, tapi juga bermanfaat bagi sasaran. Itulah cermin  kasih dalam berdakwah. Sedang kata-kata yang indah, halus, dan lemah-lembut merupakan kunci kesediaan sasaran mendengar ajakan.

Sekali lagi, ucapan harus bermanfaat bagi yang mendengarnya, karena kalau tidak, pengucap dan pendengarnya merugi. Yang ini dalam mengucapkan, sedang yang itu dalam mendengarnya. Paling sedikit  kerugian waktu dan energi, bahkan boleh jadi kerugian berupa dampak yang dihasilkan apa yang didengar itu, karena boleh jadi ucapan itu mengubah pikiran pendengarnya yang telah benar, atau memberi ide keliru kepadanya.

Terdapat sekian banyak tuntunan kitab suci menyangkut kriteria kata-kata yang dinformasikan, antara lain balighâ (QS. an-Nisâ’ [4]: 63). Dari sini seorang dai dinamai juga mubaligh. Kata itu mengandung arti sampainya sesuatu ke sesuatu yang lain dengan cukup. Seorang yang pandai menyusun kata sehingga mampu menyampaikan pesannya dengan baik lagi cukup dinamai mubaligh. Ciri ini baru terwujud bila seluruh pesan yang hendak disampaikannnya tertampung dalam rangkaian kata-katanya. Tidak bertele-tele yang membosankan, tidak pula singkat yang mengaburkan. Tidak menggunakan kata yang asing di telinga pendengarnya, tidak juga berat di lidah pengucapnya.

Kata lain yang digunakan al-Qur’an untuk menyifatkan informasi yang baik adalah sadîdâ (QS. al-Ahzâb [33]: 70). Kata ini mengandung makna meruntuhkan sesuatu kemudian memperbaikinya. Ini berarti kritik yang disampaikan hendaknya disertai dengan usul perbaikan, yakni kritik haruslah yang membangun. Kata sadîdâ juga berarti tepat. Seseorang bukan saja dituntut untuk menyampaikan yang benar dan baik susunan kalimatnya, tetapi juga harus tepat waktu dan sasarannya.

Apabila Anda berkata kepada teman Anda pada hari Jumat saat imam berkhutbah: “Diamlah (dengarkan khutbah),” maka Anda telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Ini  bukan karena kandungan larangan itu salah, tetapi sasaran dan waktunya tidak tepat.

Jika demikian, tidak semua harus disampaikan. Pilihlah yang bermanfaat dan perhatikan pula sasaran karena ada yang  pandai, yang bodoh, atau anak kecil dan dewasa. Atas dasar tuntunan ini, maka terlebih dahulu sebelum menyampaikan pesan, hendaklah Anda memaparkan masalah yang akan Anda informasikan kepada tuntunan agama. Kalau kandungannya sudah benar, maka perhatikanlah dampaknya berkaitan dengan waktu dan masayarakat. Kalau ia tidak menimbulkan dampak negatif, maka paparkan lagi masalah itu, kepada pertimbangan nalar. Kalau nalar memperkenankannya, maka Anda boleh menyampaikannya, kepada umum, atau orang-orang tertentu saja, bila penyampaian kepada umum dapat menimbulkan dampak negatif atau kesalahpahaman.

Selanjutnya ketika Nabi Musa as. dan Harun as. menghadapi penguasa kejam Fir’aun, mereka berdua dipesan Allah: agar menyampaikan kandungan pesan dengan qaulâ layyina (QS. Thaha [20]: 44), yakni lemah-lembut. Ini bukan berarti tidak menyampaikan kebenaran atau menyembunyikannya, tetapi kebenaran yang disampaikan, bahkan kritik yang dilontarkan, hendaknya tidak menyinggung perasaan, apalagi menimbulkan amarah. Demikian sekelumit tuntunan al-Qur’an menyangkut dakwah yang baik. Wa Allâh A’lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar