Obat dengan Bahan Semut,
Cacing, dan Undur-undur
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr wb. Ustadz yang saya
hormati, di tempat saya ada beberapa orang yang menjual obat herbal dimana
bahan pokoknya adalah semut, cacing dan undur-undur. Bagaimana sebetulnya Islam
mengatur hal ini, adakah dalil yang mendasari kehalalannya berobat dengan
bahan-bahan demikian? Lalu bagaimana hukum budi daya hewan-hewan tersebut
dengan tujuan diperjualbelikan? Atas penjelasannya kami sampaikan terima kasih.
Wassalam.
Achsib – Surabaya
Jawaban:
Wa’alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh.
Saudara Achsib, mudah-mudahan Allah selalu
menaungi kehidupan anda dengan ridha dan kasih sayang-Nya.
Pada dasarnya Islam telah mengatur apa saja
yang boleh dikonsumsi ataupun dihindari oleh umatnya. Hal ini tentu saja
berlaku pada makanan, minuman, obat-obatan serta berbagai penunjang kebutuhan
manusia lainnya. Prinsip yang dikembangkan oleh Islam adalah menghalalkan yang
baik dan mengharamkan yang buruk dampaknya bagi keberlangsungan kehidupan
manusia secara keseluruhan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah
surat al-A’raf ayat 157:
وَيُحِلُّ
لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Artinya: dan Nabi yang ummi serta didapati
dalam kitab Taurat dan Injil tersebut (Rasulullah saw) menghalalkan segala yang
baik dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.
Ayat diatas kemudian dijabarkan oleh
Rasulullah saw melalui hadis-hadis beliau yang cukup banyak dan kemudian
ditafsiri oleh generasi setelahnya dengan berbagai macam penafsiran.
Saudara penanya yang kami hormati, sebelum
menanggapi pertanyaan yang saudara sampaikan, ada baiknya apabila kita
mengetahui pandangan para ilmuwan Islam (ulama) mengenai status kehalalan
maupun keharaman hewan-hewan ini mengingat konsekuensi yang akan muncul dari
tiap-tiap pendapat tentu akan berbeda.
Semut, cacing, dan undur-undur dalam istilah
biologi termasuk hewan yang tidak mempunyai tulang belakang atau tulang
punggung (Avertebrata/invertebrata), sementara dalam bahasa Arab ketiga jenis
hewan ini dimasukkan dalam kategori serangga (al-hasyarat). Khusus untuk Semut
hampir mayoritas ulama mengatakan bahwa hewan ini haram dimakan karena termasuk
salah satu hewan yang dilarang oleh Nabi untuk dibunuh. Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh imam Abu Dawud bersumber dari Ibnu Abbas Rasulullah saw
bersabda:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةُ، وَالنَّحْلَةُ،
وَالْهُدْهُدُ، وَالصُّرَدُ
Artinya: Dari Ibnu Abbas, Ia berkata:
“Sesungguhnya Nabi saw melarang untuk membunuh empat binatang: semut, lebah,
burung Hudhud, dan burung Shurod.”
Hadis di atas kemudian dijadikan dasar oleh
para ulama mengenai tidak diperbolehkannya semut untuk dikonsumsi sebagai
makanan, meskipun masih banyak diantara mereka yang beranggapan bahwa jenis
semut yang dilarang untuk dibunuh hanyalah satu jenis semut tertentu.
Sementara untuk kedua jenis binatang lainnya
(cacing dan Undur-undur), para ulama terbagi dalam dua kelompok:
Kelompok pertama berpandangan bahwa kedua
jenis hewan ini termasuk dalam kategori al-hasyarat (serangga) dan hukumnya
haram (tidak boleh dimakan) dengan alasan menjijikkan (al-khabaist). Ulama yang
berpendapat demikian diantaranya adalah Imam Abu Hanifah dan asy- Syafi'i.
Kelompok kedua dipelopori oleh Imam Malik,
Ibn Abi Laila, dan Auza'i berpendapat bahwa al-hasyarat hukumnya halal.
Selanjutnya mengenai tentang boleh tidaknya
berobat dengan hal-hal yang haram, para ulama’ dengan berbagai argumentasi yang
mereka kemukakan, berbeda pendapat menjadi empat:
1.
Pendapat pertama menyatakan boleh
berobat dengan yang haram dalam keadaan darurat (kritis) dan tidak ditemukan
obat lain.
2.
Pendapat kedua menyatakan haram secara
mutlak.
3.
Pendapat ketiga menyatakan dalam
kondisi darurat boleh berobat dengan yang haram/najis, kecuali khamar.
4.
Pendapat keempat menyatakan tidak
haram menggunakan obat dari jenis-jenis serangga meskipun menjijikkan.
Dari keempat pendapat ini tentunya akan
berdampak pula pada jawaban atas pertanyaan berikutnya dari saudara yakni hukum
budidaya hewan-hewan tersebut dengan tujuan untuk diperjualbelikan. Di antara
para ulama ada yang membolehkan disamping juga ada yang tidak memperbolehkan.
Untuk masalah ini sebenarnya Muktamar ke-30
NU di Lirboyo tahun 1999 telah menjelaskan secara terperinci. Dalam hal ini
kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang memperbolehkan budidaya
hewan-hewan tersebut dengan tujuan diperjualbelikan. Mudah-mudahan jawaban ini
bermanfaat. Amin. []
Maftukhan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar