Rabu, 30 September 2015

Kang Sobary: Di Depan Rumah Tuhan



Di Depan Rumah Tuhan
Oleh: Mohamad Sobary

Di depan rumah Tuhan, begitu banyak hewan kurban. Ada sapi, ada domba, ada biri-biri. Bagaimana nasib hewan itu, belum ketahuan.

Adakah mereka bakal menjadi sarana cinta kita kepada Tuhan? Dan, mereka mati di jalan suci? Ataukah, mereka mati sia-sia demi kematian yang belum saatnya? Tuhan tak butuh apa-apa dari manusia. Tuhan sudah Mahakaya, Maha Memiliki, Mahamurah, dan Mahasegalanya.

Jika manusia modern mempersembahkan sesaji untuk membikin Tuhan bersukacita, bawalah itu sesaji untuk dirimu sendiri. Tuhan tak membutuhkan apa-apa. Dialah tempat kita meminta. Jika kau berkurban, jangan kira Tuhan terpesona. Jika hewan kurbanmu banyak dan besar-besar, dengan harga mahal, apa kau lupa bahwa Tuhan punya segalanya?

Di depan rumah Tuhan, begitu banyak hewan kurban. Ada sapi, ada domba, ada biri-biri. Dari mana asal mula uang yang kau belikan hewan kurban? Dari jalan suci, dan tetesan keringat, yang diridai? Atau, dari jalan kegelapan, memeras sesama hamba Tuhan? Lihatlah dirimu, betapa nista. Kau hanyalah seonggok jiwa telanjang, tak berdaya. Kau bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Kau hanya peminta-minta, tanpa mengetuk pintu, tanpa tata krama.

Dalam kesulitan kerjamu merintih-rintih. Dengan hewan kurbanmu yang tak seberapa, kau pamer seolah dirimu itu siapa. Tuhan. Kaukah Tuhan itu sendiri? Darah hewan kurbanmu tak akan sampai ke langit. Dagingnya pun segera lenyap dibagibagi untuk manusia di bumi.

Tapi, jika kau punya sedikit saja cinta, dan itu cinta datang dari bening telaga hatimu, itu yang Kunanti. Memang itu yang Aku terima. Aku kuterima. Jangan lupa, kau berkurban bukan untuk Aku, tapi untuk dirimu sendiri. Ini tradisi cinta seperti kakekmu, Ibrahim, punya.

***

Di depan rumah Tuhan begitu banyak kaum miskin terlunta-lunta. Di dalam rumah Tuhan kita bicara, muslim bersaudara satu sama lain. Satu dicubit, yang lain turut pedih. Satu menderita, yang lain meneteskan air mata. Tapi, mengapa kau pamerkan kekayaan di tengah samudera raya kemiskinan? Sesama muslim katanya bersaudara?

Mengapa kau kaya melimpahlimpah, saudaramu sekarat tak makan beberapa hari lewat? Persaudaraan apa itu namanya? Ukhuwah islamiuah, ukhuwah wathoniah, ukhuwah basyariah hanya kata-kata. Rahmat bagi semesta, siapa yang menjadikannya nyata? Siapa yang bisa mengubah kata menjadi selain kata yang ada gunanya?

Di depan rumah Tuhan, banyak manusia kleleran. Ini memalukan. Jiwa kita dipukul. Tapi oleh kita sendiri. Kita harus belajar merasa malu. Kalau begitu, sebaiknya jangan lagi Tuhan dibikinkan rumah kalau hanya akan membuat-Nya resah. Tuhan tak butuh rumah. Tak butuh dimuliakan, Dia sudah Mahamulia. Tuhan tak butuh disucikan, Dia sudah Mahasuci.

Mari kita belajar merasa malu. Kita bikin kantor kita rumah Tuhan. Di dalamnya, dari pagi sampaisore, sampaipagi lagi dan sore lagi, tak perlu kita mengobral dalil-dalil persaudaraan, kemanusiaan, dan keadilan. Kantor kita rumah Tuhan. Di sana kita kerja, kerja, dan kerja. Itu ibadah kita. Jangan bicara kita abdi masyarakat bila kita tak pernah menghayati makna abdi. Jangan bicara kita pamong jika kita tukang perintah dan minta dilayani.

***

Ibadah tak butuh katakata. Hilangkan katakata jika kata hanya menipu diri kita. Jangan kotori udara bersih kantor dengan kata-kata tanpa makna. Kita sudah pusing tiap hari media menyebarkan kata, dan tiap kata berhenti pada kata belaka. Pejabat berpidato penuh janji, membuat negeri ini republik katakata, yang tak mengubah derita kronis dalam tata kehidupan kita.

Nenek bilang, sedikit saja kata, banyakkan kerja. Nenek benar. Tapi, kita membikin studio besar untuk menyemburkan kata-kata ke langit, dan meninabobokan atasan yang percaya bahwa bila rencana sudah dibicarakan, dikiranya itu sudah menjadi kenyataan. Jangan bikinkan lagi Tuhan rumahjikarumahhanyamembikin resah. Kita punya siasat. Hidup bisa dirombak, dan dijungkirbalikkan, demi kebaikan.

Kita bermeditasi di kantor. Kita berzikir di kantor. Kita memuja Tuhan di kantor. Kita nyepi, sesepi-sepinya, juga di kantor. Kita merancang program sebagai meditasi kita. Kita menyusun strategi untuk melaksanakan program, untuk disebut itulah zikir kita. Lalu, pelan-pelan, dengan ketulusan profesional, kita melayani yang datang.

Dialah raja yang kita bikin mulia. Kita melatih rasa kita, sensitivitas kita, untuk membikin pelayan yang baik, sebaik-baiknya, sebagai pemujaan kita kepada Tuhan. Kita memuja tanpa kata-kata. Dan, Tuhan paham isi hati kita. Kita menilai kembali pelayanan kita, dengan kejernihan jiwa yang menandai kita layak disebut pribadi yang utuh: utuh moralitasnya, utuh tampilan sosialnya, utuh tanggung jawab, utuh kepemimpinannya.

Di kantor kita nyepi, tanpa kata-kata, tapi benak jejak di belakang kita, tanda kita bekerja dan bekerja. Kita pelayan, yang melayani sesama manusia, tapi juga berarti melayani Tuhan. Tuhan memang tak butuh pelayanan. Tapi, kita melayani dalam bahasa hati: Tuhan tahu, kita tahu. Kita samasama tahu bahwa melalui pekerjaan sehari-hari kita, panggilan langit itu telah kita penuhi.

Ini namanya peran kenabian. Kita wujudkan peran itu semampu- mampu kita. Seikhlasikhlas kita. Lalu, kita berkata: Tuhan, hanya inilah yang bisa kulakukan. Tapi, itu kulakukan dengan hati, dengan ketulusan, yang KAU ajarkan. Tuhan, kantorku ini juga rumah ibadahku. Ibadah yang lebih nyata, yang bisa mengubah dunia tanpa kata-kata.

Kita hanya bekerja, melayani dan melayani. Adakah pelayanan lebih prima, lebih sempurna dari yang ini? Lalu, Tuhan kelihatannya membisu. Kita di depan pintu. Di dalam sana. Dan, pintunya belum terbuka. Tapi, tak mengapa. Kita ingat Chairil Anwar bersenandung: ”Tuhan, di pintu-Mu aku pengetuk. Aku tak bisa berpaling.” Kita mengucapkan itu pula, tapi tanpa kata-kata. Tuhan tak butuh kata, yang tak keluar dari jernih telaga batin kita.

Di depan rumah Tuhan kini ada kita yang membisu dalam kerja dan kerja. Tuhan, ini zikirku. Semampu-mampuku. Seikhlas-ikhlasku. Lalu, aku menunduk. Lelahku, pegal pinggangku, juga tanda zikirku, di kantorku yang kujadikan rumah-Mu. []

Koran SINDO, 28 September 2015
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar