Tentang Hukum Kepiting
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb. Punten, kalau memakan
kepiting itu halal apa haram? Mohon jawabanya.
Juddin.
Jawaban:
Wa’alaikum salam wa rahamatullah wa
barakatuh.
Saudara Juddin yang kami hormati. Pada
dasarnya mengisi perut dengan makanan halal dan baik adalah perintah Allah swt
kepada semua manusia, bukan hanya ditujukan kepada umat Islam semata. Hal ini
menunjukkan pentingnya umat manusia agar lebih selektif dalam memilah dan
memilih serta menentukan makanan yang akan menjadikan peredaran darah dalam
tubuhnya berjalan normal.
Perintah Allah ini dapat dilihat dalam
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 172. Makanan halal dan baik disini tentunya
meliputi cara memperoleh dan mendapatkannya disamping juga yang tidak kalah
penting adalah materi (jenis) dari makanan itu sendiri, sebagaimana pertanyaan
yang disampaikan oleh saudara Juddin ini.
Adapun jawaban dari hukum memakan kepiting
masih terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama’. Ada yang berpendapat
bahwa memakan kepiting hukumnya haram sementara yang lain menyatakan halal.
Perbedaan seperti ini sangat wajar dan sering terjadi di kalangan para ulama
dalam menyikapi suatu masalah mengingat cara menganalisa dan pengambilan
kesimpulan yang tidak sama.
Para ulama yang menyatakan bahwa kepiting
tidak boleh dimakan (haram) berasumsi bahwa hewan ini bisa hidup di dua alam
(laut dan darat). Sementara ulama yang berpendapat bahwa kepiting halal untuk
dikonsumsi berhujjah bahwa hewan ini tidak dapat hidup di darat. Ia hanya bisa
hidup di air (laut) saja.
Selain itu ada qaul dhaif yang bersumber dari
al-Halimi sebagaimana diceritakan oleh al-Baghawi yang berpendapat bahwa hewan
ini tetap dihukumi halal, meskipun bisa hidup di dua alam. Masing-masing dari
kedua pendapat ini tentunya telah melalui uji materi serta lapangan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Referensi yang kami jadikan rujukan adalah
kitab al-Maj’mu’ Syarah al-Muhaddzab:
وَعَدَّ
الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا الضَّرْبِ
الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيحِ
الْمَنْصُوصِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَفِيهِمَا قول ضعيف انهما حَلَالٌ
وَحَكَاهُ الْبَغَوِيّ فِي السَّرَطَانِ عَنْ الْحَلِيمِيِّ.
Artinya: Dari bagian ini (hewan yang dapat
hidup di dua tempat), asy-Syekh Abu Hamid dan imam al-Haramain memasukkan katak
dan ketam (jenis kepiting). Dua hewan tersebut diharamkan menurut ketetapan
madzhab yang shahih (benar). Mayoritas ulama juga mengacu pada pendapat ini.
Ada pendapat dhaif yang diceritakan oleh al-Baghawi bersumber dari al-Halimi
yang mengatakan bahwa kedua hewan ini halal.
Saudaran penanya yang dimuliakan Allah,
Perbedaan pendapat diantara para ulama sebagaimana penjelasan diatas kiranya
semakin menjadikan umat maupun masyarakat Islam Indonesia semakin dewasa dalam
menghargai keanekaragaman yang ada, sehingga slogan Islam rahmatan li
al-‘alamin benar-benar dapat membumi di negeri ini, bukan hanya semboyan yang
hinggap di awan belaka. Wallahu a’lam. []
Maftukhan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar