Kamis, 03 September 2015

(Ngaji of the Day) Tentang Hukum Kepiting



Tentang Hukum Kepiting

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr wb. Punten, kalau memakan kepiting itu halal apa haram? Mohon jawabanya.

Juddin.

Jawaban:

Wa’alaikum salam wa rahamatullah wa barakatuh.
Saudara Juddin yang kami hormati. Pada dasarnya mengisi perut dengan makanan halal dan baik adalah perintah Allah swt kepada semua manusia, bukan hanya ditujukan kepada umat Islam semata. Hal ini menunjukkan pentingnya umat manusia agar lebih selektif dalam memilah dan memilih serta menentukan makanan yang akan menjadikan peredaran darah dalam tubuhnya berjalan normal.

Perintah Allah ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 172. Makanan halal dan baik disini tentunya meliputi cara memperoleh dan mendapatkannya disamping juga yang tidak kalah penting adalah materi (jenis) dari makanan itu sendiri, sebagaimana pertanyaan yang disampaikan oleh saudara Juddin ini.

Adapun jawaban dari hukum memakan kepiting masih terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama’. Ada yang berpendapat bahwa memakan kepiting hukumnya haram sementara yang lain menyatakan halal. Perbedaan seperti ini sangat wajar dan sering terjadi di kalangan para ulama dalam menyikapi suatu masalah mengingat cara menganalisa dan pengambilan kesimpulan yang tidak sama.

Para ulama yang menyatakan bahwa kepiting tidak boleh dimakan (haram) berasumsi bahwa hewan ini bisa hidup di dua alam (laut dan darat). Sementara ulama yang berpendapat bahwa kepiting halal untuk dikonsumsi berhujjah bahwa hewan ini tidak dapat hidup di darat. Ia hanya bisa hidup di air (laut) saja.

Selain itu ada qaul dhaif yang bersumber dari al-Halimi sebagaimana diceritakan oleh al-Baghawi yang berpendapat bahwa hewan ini tetap dihukumi halal, meskipun bisa hidup di dua alam. Masing-masing dari kedua pendapat ini tentunya telah melalui uji materi serta lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Referensi yang kami jadikan rujukan adalah kitab al-Maj’mu’ Syarah al-Muhaddzab:

 وَعَدَّ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا الضَّرْبِ الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيحِ الْمَنْصُوصِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَفِيهِمَا قول ضعيف انهما حَلَالٌ وَحَكَاهُ الْبَغَوِيّ فِي السَّرَطَانِ عَنْ الْحَلِيمِيِّ.

Artinya: Dari bagian ini (hewan yang dapat hidup di dua tempat), asy-Syekh Abu Hamid dan imam al-Haramain memasukkan katak dan ketam (jenis kepiting). Dua hewan tersebut diharamkan menurut ketetapan madzhab yang shahih (benar). Mayoritas ulama juga mengacu pada pendapat ini. Ada pendapat dhaif yang diceritakan oleh al-Baghawi bersumber dari al-Halimi yang mengatakan bahwa kedua hewan ini halal.

Saudaran penanya yang dimuliakan Allah, Perbedaan pendapat diantara para ulama sebagaimana penjelasan diatas kiranya semakin menjadikan umat maupun masyarakat Islam Indonesia semakin dewasa dalam menghargai keanekaragaman yang ada, sehingga slogan Islam rahmatan li al-‘alamin benar-benar dapat membumi di negeri ini, bukan hanya semboyan yang hinggap di awan belaka. Wallahu a’lam. []

Maftukhan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar