Raja yang Berani “Mendito”
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sama sekali tidak mengherankan, kalau seniman
kondang bertaraf internasional asal Solo itu mendadak saja pada suatu malam
nongol di tempat kediaman Kang Guru dan tampak mengobrol sampai hampir subuh
esok harinya. Yang akan mengherankan justru kalau dalam hidupnya yang hanya
satu kali, seniman itu sampai tak pernah menjumpai makhluk yang disebut Kang
Guru ini.
Masalahnya sederhana. Kang Guru itu seniman
mummi hidup. Untuk beberapa hal barangkali dia malah mirip zombi.
Si seniman sudah masuk lorong-lorong paling terasing
di berbagai wilayah nusantara. Irian Jaya sebelah mana, Nias, Kalimantan,
Toraja….
Sudah pula dia hidup bersama masyarakat di
daerah-daerah terpencil itu. Hidup bersama dalam arti yang sesungguhnya. Dengan
masyarakat terpencil; terpencil dalam arti geografis maupun dalam arti konteks
nilai.
Banjar-banjar Bali, Asmat di ujung timur, Dayak
di kedalaman hutan rimba, Nias yang indah…dan Kang Guru yang antik, pemelihara
sekian banyak hal yang kuno-kuno, yang akhirnya justru dirindukan kembali oleh
manusia-manusia posmo, post-modern, sesudah mereka mengerti telah terjebak oleh
gegap gempita keinginan mereka sendiri sebagai manusia yang merasa modern dan
maju, oleh segala yang mereka miliki sendiri.
Kang Guru, menurut si seniman, juga bisa
dianggap semacam akik. Terkadang bergelimang klenik, meskipun bisa juga
mengendap mutiara. Kang Guru adalah hasil sedimentasi abad-abad nilai, membuang
yang fana dan temporer, menyimpan yang baka, yang kekal dan mencenderungi
keabadian.
Ah, tapi apa iya. Kok hebat amat si Kang Guru!
***
Seniman kita itu berkisah bahwa seorang
Princess, pangeran putri sebuah kerjaan, mengajaknya berziarah ke makam
Raja-raja leluhur yang terletak di sebuah bukit.
Sebenarnya, sudah puluhan kali dia berkunjung
ke tempat itu. Namun kali ini istimewa, sebab sebagai wong cilik, biasanya dia
hanya diperkenankan untuk mendaki dan mendatangi makam-makam tertentu. Kini dia
diseret sampai ke puncak: ke makam Raja Agung yang paling dimuliakan oleh semua
keturunannya, sebagai pemimpin sejarah dan pemuka spiritual yang paling andal.
“Saya memperoleh dua pelajaran yang amat
berharga,” lapornya kepada Kang Guru.
“Pelajaran yang tidak baru…,” Kang Guru
Menyahut
“Tidak baru bagaimana?” si seniman bertanya.
“Pelajaran yang kau sudah alami sejak bayi,
sudah kau ketahui sejak kanak-kanak, sudah sering kau dengar sejak remaja dan
dewasa, sudah setiap kali kau terima dari siapa saja di jalan-jalan, di
warung-warung….”
Seniman kita tertawa. “Ya, ya…,” katanya,
“Mungkin begitu. Tapi baru sekarang ini menjadi pelajaran bagi saya. Selama ini
hanya menjadi pengetahuan yang sayup-sayup di otak saya. Belum mengakar menjadi
suatu kesadaran yang sungguh-sungguh. Tetapi bagaimana Kang Guru bisa tahu?”
“Bagaimana saya bisa tidak tahu kalau setiap
orang tahu?” jawab Kang Guru, “saya ini orang tua. Dan ilmu orang tua itu sama
persis denga ilmu anak-anak….
***
Menurut seniman kita ini, pelajaran yang
pertama adalah derajat dalang dan sinden.
“Makam yang letaknya paling tinggi adalah Sang Raja
Agung. Setingkat di bawahnya adalah dalang dan sinden yang legendaris pada
zamannya. Nama wong agung itu Ki Soponyono dan Nyi Repet,” dia berkisah,
“tingkat-tingkat di bawah dalang dan sinden itu baru terletak makam para
pembesar kerajaan yang lain, para menteri, seopati, atau penggede dan
aristrokrat yang lain. Ini mengandung konsep nilai yang sungguh mengagetlan
saya. Betapa tinggi derajat seniman. Betapa amat dihormati peran dan
kepribadian para pujangga, undagi, dalang… Sedangkan di zaman modern ini,
dalang-dalang dan sinden-sinden dikumpulkan untuk ditatar oleh pamong kelas
menengah bawah dari struktur kekuasaan!”
Kang Guru tersenyum. “Bukan begitu cara
memandangnya,” dia merespons, “tradisi menatar dalang itu sama sekali tidak
mengandung arti bahwa dalang diremehkan di zaman ini. Menurut saya,
dalang-dalang sekarang memang rendah hati. Andap asor. Dan itu justru
mencerminkan kebesaran kepribadian mereka.”
***
Pelajaran kedua yang dia peroleh adalah soal
kebersahajaan. Soal kepolosan. Ketelanjangan alami.
“Saya perhatikan pola arsitektur seluruh makam
itu,” kata seniman kita. “Semakin ke atas, bangunannya semakin bersahaja.
Semakin lugu, semakin tidak ada ukiran, hiasan atau rumbai-rumbai kemewahan.
Semakin ke atas semakin mendekati hakekat alam dan di puncaknya segala sesuatu
sungguh-sungguh sumeleh. Makam Raja Agung itu memilih manifestasi wadag yang
bahkan bisa disamakan dengan kuburan orang dusun yang keluarganya tak bisa
menghiasi makamnya karena tak punya apa-apa.”
Dengan menggebu-gebu seniman kita ini lantas
menjelaskan bahwa itulah salah satu perwujudan konsep Pendito Ratu.
“Raja-raja leluhur kita dulu, setidak-tidaknya
sebagian, tahu persis kapan saat dia turun tahta untuk mendito. Menjauhkan diri
dari kepalsuan dunia. Menyisihkan diri dari keramaian yang penuh takhayul
pengetahuan dan pemilikan. Mengasingkan diri dari kemungkinan dikalahkan oleh
tipuan dunia. Merelakan lumbung-lumbung harta bendanya. Mengikhlaskan sawah
ladang dan hutan belantara pengisi keserakahan perutnya. Mengambil jarak dari
riuh rendah berlangsungnya sejarah, agar bisa jernih memahami apa saja yang
sia-sia, kemudian memilih yang sejati.” []
(Dokumentasi Progress: Kolom Gambang Pesisiran
Cak Nun di Harian Suara Merdeka pada 6 Maret 1993)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar