Senin, 14 September 2015

Quraish Shihab: Halalan Thayyiba



Halalan Thayyiba
Oleh: M. Quraish Shihab

Bertebaran ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang makan dan makanan. Makanan adalah sumber energi, tidak heran jika perintah “makan” dalam al-Qur’an bukan saja berarti memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokan, tetapi juga bermakna menggunakan/ melakukan aktivitas  (baca  antara lain QS. an-Nisâ’ [4]: 4).

Salah satu ayat yang berbicara tentang  persoalan di atas  adalah firman-Nya dalam QS. al-Baqarah [2]: 168, yang mengajak seluruh manusia untuk makan apa yang terhampar di bumi, tetapi yang halal lagi baik. 

Ajakan kepada seluruh manusia ini mengisyaratkan bahwa bumi disiapkan Allah untuk seluruh manusia sehingga setiap upaya dari siapa pun untuk memonopoli hasil-hasilnya, dengan merugikan yang lain, maka itu bertentangan dengan ketentuan Allah. Ia juga menyeru semua manusia—yang kafir sekalipun—agar memakan, menggunakan dan melakukan aktivitas yang halal dan baik karena itu bermanfaat buat semua kita yang bermukim di pentas bumi ini.

Tetapi tidak semua yang terhampar di bumi otomatis halal dimakan atau digunakan karena bukan semua yang diciptakan-Nya dimaksudkan untuk dimakan manusia, walau semua diciptakan-Nya untuk kepentingan manusia. Allah menciptakan ular berbisa bukan untuk dimakan manusia, tetapi antara lain untuk digunakan bisanya sebagai obat. Di sisi lain, tidak semua makanan halal otomatis baik karena yang dinamakan halal terdiri dari empat macam: wajib, sunnah, mubah, dan makruh. Itu agaknya yang menjadi sebab kata halal—dalam konteks makan—sering kali disertai dengan kata Thayyib(a).

Kata Thayyib menurut bahasa berarti lezat, baik, sehat, tenteram, dan paling utama. Ini berarti yang thayyib adalah “yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya (kadaluarsa), tidak juga bercampur dengan najis“. Thayyib juga dapat  berarti “yang mengundang selera yang hendak memakannya dan tidak membahayakan fisik, akal, dan jiwanya”. 

Makanan yang thayyib adalah yang sehat, yakni memiliki zat gizi yang cukup dan seimbang, lagi proporsional  dalam arti sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang akan menyantapnya—tidak berlebih dan tidak kurang. Bayi memerlukan kadar dan jenis makanan yang berbeda dengan anak kecil. Makanan untuk yang kecil pun berbeda dengan yang dewasa atau tua. Ada halal lagi baik buat si A yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan ada juga yang kurang baik untuknya, walau baik buat yang lain.

Menarik untuk digarisbawahi bahwa ajakan al-Qur’an kepada orang-orang beriman untuk makan pada  QS. al-Baqarah [2]: 172 tidak menyebut kata halal sebagaimana pada ayat 168. Ini agaknya karena kesadaran iman yang bersemai di hati mereka merupakan jaminan kejauhan mereka dari yang tidak halal. Yang ditekankan buat orang beriman adalah ath-Thayyibat, yakni yang baik-baik lagi proporsional. 

Makanan atau aktivitas yang berkaitan dengan jasmani sering kali digunakan setan untuk memperdaya manusia. Karena itu, lanjutan ayat 168 Surah al-Baqarah mengingatkan dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.

Setan memunyai jejak langkah. Ia menjerumuskan manusia langkah demi langkah, tahap demi tahap. Langkah hanyalah jarak antara dua kaki sewaktu berjalan, tetapi bila tidak disadari, langkah demi langkah  dapat menjerumuskan ke dalam bahaya. Memang tidak dapat disangkal bahwa makanan memunyai pengaruh yang sangat besar bukan saja pada jasmani, tetapi juga pada akal, jiwa, dan perasaan. Hasil penelitian membuktikan bahwa mengonsumsi minuman keras—misalnya—merupakan langkah awal dari sekian langkah kejahatan. Bahkan tipu daya setan yang pertama terhadap orangtua kita, Adam dan Hawa, adalah  rayuannya untuk  mencicipi buah terlarang. Demikian, wa Allâh A’lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar