Halalan Thayyiba
Oleh: M.
Quraish Shihab
Bertebaran
ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang makan dan makanan. Makanan adalah
sumber energi, tidak heran jika perintah “makan” dalam al-Qur’an bukan saja
berarti memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokan, tetapi juga bermakna
menggunakan/ melakukan aktivitas (baca antara lain QS. an-Nisâ’
[4]: 4).
Salah satu ayat yang berbicara tentang persoalan di atas
adalah firman-Nya dalam QS. al-Baqarah [2]: 168, yang mengajak seluruh
manusia untuk makan apa yang terhampar di bumi, tetapi yang halal lagi
baik.
Ajakan kepada seluruh manusia ini mengisyaratkan bahwa bumi
disiapkan Allah untuk seluruh manusia sehingga setiap upaya dari siapa pun
untuk memonopoli hasil-hasilnya, dengan merugikan yang lain, maka itu
bertentangan dengan ketentuan Allah. Ia juga menyeru semua manusia—yang kafir
sekalipun—agar memakan, menggunakan dan melakukan aktivitas yang halal dan baik
karena itu bermanfaat buat semua kita yang bermukim di pentas bumi ini.
Tetapi tidak semua yang terhampar di bumi otomatis halal dimakan
atau digunakan karena bukan semua yang diciptakan-Nya dimaksudkan untuk dimakan
manusia, walau semua diciptakan-Nya untuk kepentingan manusia. Allah
menciptakan ular berbisa bukan untuk dimakan manusia, tetapi antara lain untuk
digunakan bisanya sebagai obat. Di sisi lain, tidak semua makanan halal
otomatis baik karena yang dinamakan halal terdiri dari empat macam: wajib,
sunnah, mubah, dan makruh. Itu agaknya yang menjadi sebab kata halal—dalam konteks
makan—sering kali disertai dengan kata Thayyib(a).
Kata Thayyib menurut bahasa berarti lezat, baik,
sehat, tenteram, dan paling utama. Ini berarti
yang thayyib adalah “yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya
(kadaluarsa), tidak juga bercampur dengan najis“. Thayyib juga
dapat berarti “yang mengundang selera yang hendak memakannya dan
tidak membahayakan fisik, akal, dan jiwanya”.
Makanan yang thayyib adalah yang sehat, yakni
memiliki zat gizi yang cukup dan seimbang, lagi proporsional
dalam arti sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang akan
menyantapnya—tidak berlebih dan tidak kurang. Bayi memerlukan kadar dan jenis
makanan yang berbeda dengan anak kecil. Makanan untuk yang kecil pun berbeda
dengan yang dewasa atau tua. Ada halal lagi baik buat si A yang memiliki
kondisi kesehatan tertentu, dan ada juga yang kurang baik untuknya, walau baik
buat yang lain.
Menarik untuk digarisbawahi bahwa ajakan al-Qur’an kepada
orang-orang beriman untuk makan pada QS. al-Baqarah [2]: 172 tidak
menyebut kata halal sebagaimana pada ayat 168. Ini agaknya karena
kesadaran iman yang bersemai di hati mereka merupakan jaminan kejauhan mereka
dari yang tidak halal. Yang ditekankan buat orang beriman
adalah ath-Thayyibat, yakni yang baik-baik lagi proporsional.
Makanan atau aktivitas yang berkaitan dengan jasmani sering kali
digunakan setan untuk memperdaya manusia. Karena itu, lanjutan ayat 168 Surah
al-Baqarah mengingatkan dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan.
Setan memunyai jejak langkah. Ia menjerumuskan manusia langkah
demi langkah, tahap demi tahap. Langkah hanyalah jarak antara dua kaki sewaktu
berjalan, tetapi bila tidak disadari, langkah demi langkah dapat
menjerumuskan ke dalam bahaya. Memang tidak dapat disangkal bahwa makanan
memunyai pengaruh yang sangat besar bukan saja pada jasmani, tetapi juga pada
akal, jiwa, dan perasaan. Hasil penelitian membuktikan bahwa mengonsumsi
minuman keras—misalnya—merupakan langkah awal dari sekian langkah kejahatan.
Bahkan tipu daya setan yang pertama terhadap orangtua kita, Adam dan Hawa,
adalah rayuannya untuk mencicipi buah terlarang. Demikian, wa Allâh
A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar