Jumat, 11 September 2015

Azyumardi: Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (1)



Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Meski bertetangga dekat, hubungan Australia dengan Indonesia tidak selalu mulus. Secara umum hubungan kedua negara berlangsung baik, tetapi bukan tidak jarang ada ketegangan, termasuk khususnya di masa pemerintahan PM Tony Abbott yang sudah berusia dua tahun sampai sekarang. Misalnya, kedua negara sempat menarik Dutabesar masing-masing berikutan eksekusi hukuman mati pada 29 April 2015 di Nusakambangan terhadap dua warga Australia penyelundup narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

Dalam psike banyak pejabat publik dan warga Australia, Indonesia yang begitu besar wilayah dan penduduknya merupakan ancaman keamanan utama yang senantiasa perlu diwaspadai. Dengan psike seperti itu, masalah politik, ekonomi dan manusia perahu yang melintasi perairan Indonesia menuju Australia sering menjadi sumber pertikaian.

Psike tidak sehat juga terkait agama, Indonesia dengan mayoritas absolut dari penduduk sekitar 245 adalah negara Muslim terbesar di dunia. Sementara Australia berpenduduk sekitar 22,5 juta yang mayoritas (61 persen) adalah Kristianitas dengan berbagai denominasi atau gereja—Muslim hanya 2,2 persen.

Sejumlah kejadian besar kekerasan dan teror terkait orang atau kelompok Muslim sejak dari Peristiwa 11 September 2001 di AS, pemboman di Madrid (11 Maret 2004), pemboman di London (2/7/2005) dan Bom Bali I (12 Oktober 2002) yang menewaskan banyak warga Australia dan Bom Bali II (1 Oktober 2005), membuat citra Islam dan kaum Muslim kian memburuk.

Kemunculan Boko Haram dan IS yang menyebabkan eksodus migran dari Timur Tengah ke Eropa dalam beberapa bulan terakhir menambah  buruknya citra Islam dan kaum Muslim di mata banyak kalangan masyarakat non-Muslim, termasuk di Australia. Kekacauan politik dan kekerasan yang terus berlanjut di Syria, Iraq, Libya dan banyak wilayah di Timur Tengah turut menjadi faktor meningkatnya gelombang migrasi ke Eropa.

Mencermati berbagai perkembangan tidak menguntungkan itu bagi citra Islam dan kaum Muslim itu, mudah dipahami kenapa sangat perlu peningkatan dialog Islam-Kristen atau Dunia Muslim dan Dunia Barat. Meski dialog antar-agama, antar-peradaban dan antar-negara cukup meningkat sejak masa pasca-9/11, tetap masih sangat perlu peningkatan dialog-dialog semacam itu.

Pemerintah Indonesia, khususnya melalui Kementerian Luarnegeri dan  Kementerian Agama pernah sangat aktif melakukan dialog-dialog antar agama dan antar peradaban di berbagai negara dan benua pada masa pemerintahan Presiden SBY. Belum terlihat tanda peningkatan kembali kegiatan sangat penting ini pada masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Selain Indonesia, ada juga negara lain seperti Australia  yang cukup aktif melakukan dialog antar-agama dengan melibatkan perguruan tinggi, institusi keagamaan dan organisasi masyarakat sipil. Meski dialog antar-agama kelihatan cenderung lebih terjadi pada level nasional—tidak banyak pada level tengah dan bawah—tetap saja banyak manfaat yang bisa diambil, khususnya bagi para pemimpin Kristianitas dan Islam di negara ini.

Dialog publik antar-agama paling akhir di Australia diselenggarakan Australian Centre for Christian and Culture, Charles Sturt University (CSU). Bertajuk ‘Can Christinity and Islam Co-Exist?’, dialog publik diselenggarakan di enam kota sejak dari Adelaide, Brisbane,  Port Macquairie, Melbourne, Canberra dan Sydney (1-11/9/2015). Narasumber tetap untuk keenam dialog publik tersebut adalah Reverend Profesor Ian James Haire, gurubesar teologi CSU yang pernah menjabat Ketua Konsil Nasional Gereja-gereja di Australia dan Presiden Uniting Church Australia; dan penulis Resonansi ini.

Dapatkah Kristianitas dan Islam Eksis Bersama? Tema dialog publik ini kelihatan provokatif karena dalam kenyataannya Kristen dan Islam telah hidup berdampingan di banyak wilayah dunia selama berabad-abad. Meski demikian, tema ini mengisyaratkan adanya masalah dalam hubungan Kristianitas dan Islam—atau lebih tegas antara umat Kristiani dan Muslim—yang mengakibatkan seolah-olah kedua agama besar dunia ini tidak bisa hidup berdampingan secara damai.

Dalam dialog publik di Adelaide dan Brisbane, Reverend (Pendeta Utama) Haire melihat, hubungan Kristen-Islam pada tingkat internasional umumnya baik, meski ada kasus-kasus kekerasan di antara umat Kristiani dan Muslim semacam Perang Salib di Eropa dan Palestina. Profesor Haire yang pernah bertugas di Sekolah Tinggi Teologi di Halmahera juga menyebut hubungan antara Kristianitas dan Islam di Indonesia umumnya baik. Meski demikian, kekerasan komunal pernah terjadi seperti di Kristiani dan Muslim di Ambon pada 1999.

Bagi penulis Resonansi ini, Kristianitas dan Islam dapat dan harus hidup bersama sedikitnya pada dua level; doktrin dan historis. Pada level doktrin, Kristianitas bersama agama Yahudi yang datang lebih awal mendapat tempat di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci Islam unik karena tidak ada kitab suci agama manapun yang menyebut agama lain dalam ayat-ayatnya.

Bersama Islam yang datang paling belakangan, ketiga agama ini disebut sebagai millah Ibrahim (Abrahamic religions). Karena itu, pada dasarnya ketiga agama ini adalah siblings (kakak-adik), yang selain umumnya hidup bersama secara damai, juga kadang kala bertengkar atau bahkan berkelahi karena berebut mainan misalnya. []

REPUBLIKA, 10 September 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bidang sejarah dan anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar