Jumat, 18 September 2015

Azyumardi: Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (2)



Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Can Christianity and Islam Co-Exist? Pertanyaan ini kembali muncul dalam masa satu setengah dasawarsa terakhir, dan lebih khusus lagi sejak IS (Islamic State) dengan kekerasan dan brutalitas menyentakkan dunia, baik di Dunia Islam maupun Barat. Gelombang migrasi dari Syria dan wilayah Timur Tengah lain meningkatkan tensi dan antipati tersembunyi di kalangan umat Kristianitas dunia.

Misalnya saja dalam dialog publik di Port Macquarie (5/9/15), dua penganut Kristianitas tanpa sungkan menyatakan, para teroris semacam IS tak lain hanya menjalankan perintah Islam dan contoh yang diberikan Nabi. Keduanya meminta penulis Resonansi yang tampil dalam dialog publik bersama Reverend Profesor Ian James Haire untuk mengutuk IS—hal yang memang patut dan sudah dilakukan penulis Resonansi ini sejak IS melakukan berbagai bentuk kebrutalan.

Kedua orang yang mengklaim banyak membaca tentang Alquran dan Nabi Muhammad di dunia maya, menggeneralisasi Islam dan para pengikutnya sebagai senang dengan kekerasan. Karena itu, bagi keduanya Kristianitasini, sulit bagi Kristianitas untuk hidup berdampingan secara damai dengan Islam.

Pernyataan ekstrim dan ngebyah uyah ini jelas bukan representasi penganut Kristianitas di Australia—apalagi di seluruh dunia. Bahwa ada suara seperti itu di kalangan penganut Kristianitas tidak mengagetkan. Selalu ada di dalam agama manapun orang atau kelompok yang memegang pendapat dan melakukan tindakan ekstrim.

Seperti dikemukakan Profesor Ross Chambers, presenter dialog publik, jika ada penganut Kristianitas semacam Hitler misalnya yang melakukan genosida terhadap orang Yahudi, jelas ini tidak mewakili Kristianitas dan parapenganutnya.Jelas mayoritas terbesar umat Kristiani mengutuk tindakan genosida.

Tetapi pertanyaaan yang selalu mengganggu adalah; kenapa selalu ada orang atau kelompok agama yang ekstrim? Pandangan dan aksi ekstrim-radikal bisa muncul karena mereka mengambil ayat atau potongan ayat tertentu dalam kitab suci dan kemudian menafsirkannya secara literal dan ad hoc tanpa melihat latarbelakang historis maupun konteksnya baik di masa lalu maupun sekarang.

Profesor James Haire mempunyai penjelasan lain yang tak terbayangkan bagi banyak orang, khususnya para penganut Kristianitas. Menurut tokoh dan teolog terkemuka gereja Australia ini, banyak penganut Kristianitas mengidap semacam angst (bahasa Jerman), yaitu kegelisahan dan kemarahan yang bercampur aduk dengan frustrasi dan kejengkelan karena absennya Kristianitas dalam ruang publik (public space) selama berabad-abad sejak pemisahan gereja dengan negara pasca-reformasi Protestan abad 17.

Dalam perkembangannya, agama mengalami marjinalisasi menjadi hal privat, tidak ada kaitannya dengan publik.Ketikakalangan penganut Kristianitas berusaha menampilkan agama di ranah publik, mereka mendapat tantangan dan hambatan dari pemerintahan yang menganut ideologi sekularisme.

“Selanjutnya, negara-negara mayoritas Kristianitas meneri makian banyak pemeluk Islam yang menampilkan berbagai simbol Islam dalam ranah publik sejak dari penampilan fisik, cara berpakaian, ketentuan makanan halal dan ketaatan kepada syariah. Keadaan kontras ini menimbulkan masalah tak terpecahkan di kalangan umat Kristianitas, yang menjadi akar pandangan dan sikap ekstrim-radikal”, tegas James Haire.

Menjelaskan posisi Islam dalam hal tersebut, penulis Resonansi ini menegaskan tentang tidak adanya pemisahan dalam Islam di antarahalprivatdenganpublik.Mementingkan individual-personal, pada saat yang sama Islam meninggikan jama’ah atauumat yang bersifat komunal. Karena itu Islam selalu ditampilkan para penganutnya dalam ranah publik, yang dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat keagamaan mayoritas di mana mereka menetap.

Di antara isyu yang sering terutama dipersoalkan kalangan penganut Kristianitas Australia misalnya tentang syariah dan makanan halal. Bagi mereka syariah hanya mengancam equilibrium dan keutuhan negara-bangsa Australia.

Menjawab kecemasanitu Reverend James Hairemenjelaskan, syariah memiliki cakupan sangat luas dibandingkan dengan ‘hukum’ dalam masyarakat Barat. Syariah selain menyangkut ketentuan tentang keimanan dan ibadah, juga mencakup ajaran yang di Barat disebut moral dan etik.

Menyambung penjelasan tersebut, penulis Resonansi ini menjelaskan, bagian paling kontroversial dari syariah terkait hukum hudud, potong tangan bagi pencuri dan rajam sampai mati bagi pezina. Dalam kenyataannya, hampir seluruh negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim—kecuali hanya Arab Saudi—tidak memberlakukan hudud. Sebaliknya mereka menerapkan penafsiran ‘ulamamoderen yang mengganti hudud dengan hukuman penjara.

Sedangkan dalam hal makanan halal, sesuai ketentuan syariahkaum Muslim selalu wajib mengusahakannya meski juga ada kelonggaran pada batas tertentu, misalnya memakan kosher, makanan halal penganut agama Yahudi. Semestinya masalah makanan halal tidak dibesar-besarkan masyarakat Australia.

MenurutpenulisResonansiini, Australia bakal rugi secara ekonomi; tidak hanya terkait dengan hewan atau daging yang diekspor ke negara Muslim seperti Indonesia, tetapi juga dengan meningkatkan produk halal lain seperti ‘shari’a tourism’ yang kini sedang dipopulerkan di Jepang untuk menarik kian banyak pelancong dari Indonesia misalnya. Karena itu, kehidupan halal-friendly justru penting dan bermanfaat bagi Australia dan negara-negara lain. []

REPUBLIKA, 17 September 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bidang sejarah dan anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar