Rabu, 23 September 2015

Buya Syafii: Negara Arab Kaya Masih Hening-Membisu (I)



Negara Arab Kaya Masih Hening-Membisu (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
         
Sampai dengan tanggal 28 Juli 2015, melalui Radio PBB, Stephen O’Brien, kepala urusan kemanusiaan PBB, melaporkan kepada Dewan Keamanan bahwa lebih dari empat juta rakyat Suriah masih terkepung di kawasan yang sulit dijangkau, sehingga kiriman bantuan menjadi terkendala. Sebagaimana Resonansi 8 September yang lalu melukiskan bahwa Suriah telah menjadi “kepingan neraka,” penderitaan para pengungsi, terbesar pasca-PD II, benar-benar sudah berada di luar toleransi kemanusiaan.Ada seorang bocah tewas terapung di pantai Turki, karena gagal menyelematkan diri. Jutaan yang lain telah dan sedang bergerak meninggalkan daerah “kepingan neraka” itu. Allah Maha Tahu sampai kapan penderitaan mereka itu akan berakhir.

Para elite yang sedang bertarung berebut kuasa di negeri itu sampai detik ini masih belum menampakkan kemauan baik untuk berdamai, meskipun bangsa mereka sendiri telah berantakan. Mengapa hati mereka yang sama-sama sebangsa dengan kultur yang sama pula sampai membatu demikian rupa, sungguh sangat sulit dijelaskan. Apa memang kekuasaan dengan visi moral yang redup pasti memilih kehancuran dari pada berdamai, saya tidak tahu. Di kalangan para pengungsi itu, pengikut Sunni, Syi’i, Druz, Kurdi, Kristen, dan subsekte yang lain telah bercampuraduk. Harapan mereka hanya satu: bagaimana caranya agar dapat melangsungkan kehidupan di mana pun di muka bumi, selama bumi itu bersedia menerima mereka.

Di tengah buruknya nasib yang menimpa para pengungsi, ada juga yang sedikit melegakan batin kita. Rakyat di beberapa negara Eropa, terutama Jerman, telah bergerak serentak dengan penuh simpati untuk menampung dan menolong para pengungsi yang malang itu. Memang ada beberapa negara Eropa Timur telah mengunci wilayahnya agar tidak dapat ditembus oleh manusia korban perang saudara yang sudah berlangsung sejak tahun 2011 itu. O’Brien berharap benar agar solusi politik dapat dicapai segera untuk mengatasi krisis Suriah yang parah itu. Dengan segala rintangan yang dihadapi, menurut O’Brien, badan yang dipimpinnya telah menyalurkan bantuan makanan saban bulan kepada hampir enam juta rakyat Suriah untuk bagian awal tahun ini.

Bagaimana sikap negara-negara Arab yang kaya: Bahrain, Saudi Arabia, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, Kuwait, menghadapi krisis Suriah? Sikap tak peduli mereka inilah yang menjadi sorotan tajam dari publik dunia. Negara-negara ini mengunci pintunya rapat-rapat agar para pengungsi tidak masuk ke wilayah mereka. Apa memang rakyat Suriah sama dengan dengan kucing kurap? Luar biasa. Apakah karena rezim al-Assad bersekutu dengan Iran, sehingga para pengungsi yang jutaan itu jumlahnya dibiarkan mati terlantar? Pada tingkat ini, solidaritas Arab sedang berada di titik nol. Islam tidak usah disebut lagi karena sudah lama terpinggir dan tersingkir dari kehdupan kolektif mereka, apalagi jika menyangkut hubungan lintas negara. Islam telah digantikan oleh nasionalisme yang serba duniawi. Di mana itu peran OKI, di mana itu suara ulama? Semuanya membisu, hening, karena kepekaan nurani telah lumpuh total. Tetapi satu sumber mangatakan bahwa Bahrain telah menampung sekitar 5.000 pengungsi.

Apa yang bisa diharapkan dari peradaban Arab kontemporer? Tidak ada! Situasinya sedang berada di tikungan sejarah yang sangat tajam. Kita hanya berharap setelah mendapat pukulan sampai babak belur oleh palu godam sejarah, mereka akan sadar kembali dan tersentak: ternyata Islam yang telah tersingkir itu adalah penawar yang paling mujarab untuk mengobati penyakit peradaban Arab yang berat itu. Tetapi Islam yang kita maksud adalah Islam yang menjadikan doktrin “rahmat bagi alam semesta” sebagai tenda besar. Bukan Islam yang telah dirusak oleh sengketa mazhab dan kepentingan duniawi.

Pada ranah individual, Islam masih jadi rujukan oleh sebagian besar orang Arab. Yang merusak citra Islam adalah kelakuan penguasa dan elite politiknya dan tidak jarang berkolaborasi dengan ulama yang buta dunia, sekalipun untaian tasbih masih menggantung di tangan. Inilah drama psiko-kultural yang sangat menyayat hati dan melelahkan kita semua. Kebanyakan pihak luar tampaknya tidak peduli apakah Suriah bakal hancur lebur, tidak penting bagi mereka. []

REPUBLIKA, 22 September 2015
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar