Senin, 07 September 2015

(Buku of the Day) Guru Sejati Hasyim Asy’ari



KH Hasyim Asy’ari dan Tebuireng Awal


Judul                : Guru Sejati Hasyim Asy’ari
Penulis             : Masyamsul Huda
Penerbit            : Pustaka Inspira, Jakarta
Tahun               : Maret 2014
Cetakan            : Pertama 
Tebal                : 271 halaman
ISBN                 : 978-602-97066-6-6
Harga               : Rp 45.000,-
Peresensi          : Mukani, alumni Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Seblak dan guru SMAN 1 Jombang

Pemilihan lokasi Muktamar NU di Jombang 1-5 Agustus pada 2015 nanti patut diapresiasi. Sebagai “ibu kota” NU, Jombang melahirkan banyak tokoh NU. Mulai Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab Hasbullah, Mbah Bisri Syansuri, Gus Wahid Hasyim sampai presiden RI ke-4 Gus Dur. 

Jumlah ini belum ditambah dengan banyak aktivis NU yang sudah almarhum maupun yang sekarang masih ber-khidmat. Baik kepada NU secara langsung ataupun lewat banom, lajnah, lembaga dan organisasi underbow.

Namun yang paling menarik adalah sosok Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Kiai kharismatik yang akrab dipanggil dengan Mbah Hasyim ini adalah sosok pejuang tangguh dengan masa yang sangat berliku. Rintangan yang dihadapi juga tidak kecil. Mulai saat masih menuntut ilmu sampai wafat 1947 karena memikirkan nasib umat.

Dunia Hitam

Nama besar Pesantren Tebuireng sekarang tidak lepas dari sosok Mbah Hasyim. Terlebih sejak jenasah Gus Dur dimakamkan di situ. Setidaknya dua ribu peziarah setiap hari mengunjungi makam presiden RI keempat itu. Tentu ini menjadikan Pesantren Tebuireng sebagai pondok pesantren “tersibuk” di Indonesia. Apalagi yang berkunjung tidak hanya dari kalangan orang Islam. Tapi juga komunitas non-Muslim. Bahkan dari luar negeri.

Semua penulis sepakat bahwa dusun Tebuireng, sebelum pendirian pesantren, awalnya adalah pusat kemaksiatan di abad XIX Masehi. Ini sebagai akibat negatif dari pendirian Pabrik Gula Tjoekir oleh Belanda. Baik dalam bentuk perjudian, perampokan, prostitusi, minuman keras, pencurian, dan sebagainya. Ini yang dalam teori sosiologi disebut sebagai culture shock. 

Namun beberapa penulis berbeda pendapat tentang asal usul nama Tebuireng. Setidaknya terdapat empat pendapat. Pertama, nama Tebuireng berasal dari nama Kebo Ireng. Dia seorang pimpinan pasukan kerajaan Majapahit yang meninggal dunia di daerah itu.

Sosok ini menjadi justifikasi bagi para ahli maksiat di sekitar Tebuireng. Bahkan Wiro, pimpinan kelompok ini, mengaku didatangi Kebo Ireng dalam rupa ghaib sebelum bertanding dan dikalahkan oleh Abdullah (hlm. 236). Pendapat pertama ini juga didukung Aguk Irawan dalam Penakluk Badai: Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari (2012).

Kedua, menyatakan bahwa nama Tebuireng berasal dari kata kebo (kerbau) dan ireng (hitam). Kata Tebuireng merujuk kepada kebo bule yang terperosok ke dalam kubangan besar, penuh dengan lintah penghisap darah. Karena terlalu banyak darah yang dihisap lintah, maka warna kulitnya berubah menjadi hitam (ireng). Sejak saat itu daerah tersebut bernama kebo ireng yang akhirnya lambat laun berubah menjadi Tebuireng. 

Pendapat kedua ini paling populer di kalangan masyarakat dan para penulis. Pendapat ini ditulis dalam buku Akarhanaf berjudul Kiai Hasjim Asj’ari; Bapak Umat Islam Indonesia (1950), buku karya Solichin Salam berjudul KH. Hasyim Asy’ari; Ulama Besar Indonesia (1963) dan buku Aboebakar Atjeh berjudul Sedjarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (1957).

Ketiga, memiliki kemiripan dengan pendapat kedua. Hanya kerbau yang dimaksud adalah milik Mbah Hasyim. Sebelum kejadian itu, daerah tersebut belum memiliki nama. Jadi, menurut pendapat ini, insiden kerbau masuk ke kubangan besar itu terjadi setelah Mbah Hasyim mendirikan pesantren. Itulah cikal bakal nama Tebuireng. 

Keempat adalah pendapat yang tidak begitu populer di telinga masyarakat. Pendapat ini menyatakan bahwa nama Tebuireng berasal dari banyaknya tanaman tebu yang tumbuh di daerah Cukir. Kulit tebu ini berwarna hitam, yang bahasa Jawa disebut dengan ireng

Tebu varietas ini memiliki kadar gula lebih tinggi daripada varietas lainnya. Sehingga hasil produksi pengolahan tebu menjadi gula lebih meningkat jika dibandingkan menggiling varietas tebu lainnya. Ini yang mendorong pendirian sebuah pabrik gula baru di daerah selatan Jombang bernama NV. Koldy en Coster van Housf Suiker Fabric. 

Karena pengucapan penduduk lokal yang sulit, nama perusahaan itu lebih terkenal dengan sebutan Pabrik Cukir. Pendapat keempat ini disampaikan Abdul Basit Adnan dalam buku Kemelut di NU (1982).

Klarifikasi Ulang

Pendapat terakhir memiliki kedekatan dengan titik kebenaran. Dalam buku Guru Sejati Hasyim Asy’ari ini, Masyamsul Huda juga lebih mempercayai pendapat keempat (hlm. 259). Meski penulis menyebut Mbah Hasyim melakukannya pada tanggal 6 Pebruari 1906. Padahal, semua penulis biografi Mbah Hasyim merujuk bahwa tanggal itu adalah pengakuan Belanda kepada Pesantren Tebuireng sebagai badan hukum yang sah.  

Terdapat beberapa hal yang harus diklarifikasi ulang dari buku ini. Sebagai novel sejarah, sumber kutipan seharusnya valid dari sumber aslinya. Tidak sekedar disebut dalam daftar pustaka (hlm. 269).

Penyebutan “nama asli” Pesantren Tebuireng juga kurang proporsional. Salafiyah Syafi’iyah, seharusnya dikutip secara jelas untuk menyebut pesantren yang didirikan Mbah Hasyim pada 1899 itu. Ini mengingat nama Salafiah Syafi’yah sudah menjadi trade mark pesantren saat itu.  

Verifikasi selanjutnya yang perlu ditanyakan adalah pendirian PG Tjoekir yang di buku ini disebut 1884. Mengingat semua referensi yang ada selama ini merujuk angka 1825 sebagai pendirian PG Tjoekir (hlm. 17). 

Penyerangan tentara Belanda yang dipimpin de Kock untuk menangkap Mbah Hasyim juga perlu diverifikasi ulang (hlm. 261). Ini karena di beberapa maraji’ disebut bahwa penyerangan itu dilakukan Belanda pada tahun 1932. Serangan ini yang menyebabkan Mbah Hasyim “terpaksa diungsikan” ke Pesantren Keras. 

Di atas itu semua, usaha Masyamsul Huda untuk “menulis” berbagai cerita rakyat patut diapresiasi. Selama ini cerita rakyat hanya dituturkan dari mulut ke mulut. Dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dengan ditulis, cerita rakyat itu akan “tetap hidup” meski sang penutur sudah meninggal dunia. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar