Kisah
Ibrahim yang Nyaris Tak Masuk Akal
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla
Membaca kisah Ibrahim – bapak
ketiga agama semitik, Yahudi, Kristen dan Islam itu—seperti membaca cerita
fantastik yang nyaris tak masuk akal. Tetapi tradisi keagamaan yang dibangun
oleh Ibrahim memang seperti ingin menunjukkan bahwa yang tak masuk akal bisa
terjadi. Jika ada satu hal yang layak dipelajari dari tradisi Ibrahim, ialah
bahwa “the impossible is possible”.
Baik
dalam Perjanjian Lama yang menjadi sumber utama seluruh kisah mengenai
nabi-nabi bangsa Israel, maupun dalam Quran, tak ada keterangan yang jelas
mengenai kelahiran Ibrahim. Tetapi, jika kita menengok tradisi midrash (semacam
tradisi lisan yang merupakan tafsir atas Taurat) atau buku-buku tarikh yang
ditulis oleh sejarawan Muslim, ada sejumlah kisah menarik tentang kelahiran
patriak ini.
Dalam
tarikh Tabari, misalnya, kita jumpai kisah kelahiran Ibrahim yang, seperti kelahiran
Yesus dan Muhammad, cukup fantastik. Dikisahkan di sana, seorang juru ramal
(astrolog) datang ke Raja Nimrod, penguasa tanah Babylonia (Irak sekarang ini).
Mereka mengabarkan, seorang bayi akan lahir. Dia akan membawa malapetaka besar:
menggulingkan kekuasaan Nimrod, dan menghancurkan patung-patung sesembahannya.
Mengetahui
itu, Nimrod membikin beleid: seluruh perempuan harus dipisahkan dari suaminya.
Sementara bayi yang terlanjur lahir harus dibunuh. Rencana Nimrod ini ternyata
meleset. Dengan intervensi Tuhan, bayi Ibrahim lahir dengan selamat. Padahal
Terah, ayah Ibrahim (di Quran disebut sebagai Azar), adalah pegawai tinggi
kerajaan. Dan ia juga bertugas untuk mengawasi bayi-bayi yang lahir untuk
dibunuh.
Lepas
apakah kisah ini faktual atau tidak, kelahiran Ibrahim adalah fantastik:
kelahiran yang “very unlikely”, nyaris mustahil lolos dari kutukan Nimrod.
Tetapi, kelahiran Ibrahim juga menandai hal lain: Sejak lahir, Ibrahim sudah
merupakan antitesis terhadap kekuasaan perkasa yang nyaris sulit ditaklukkan;
kekuasaan Nimrod.
Ini
memang perlawanan yang mustahil. Nimrod adalah penguasa besar, sementara
Ibrahim adalah “lone ranger”, pahlawan yang bekerja sendirian; hanya dituntun
oleh YHWH, tuhan orang-orang Yahudi. Di sini kita berjumpa dengan kemustahilan
pertama dalam kisah Ibrahim – seorang individu, dengan semangat heroik, hendak
berhadapan dengan kekuasaan besar yang mustahil dikalahkan.
Ibrahim
melawan Nimrod dengan cara yang unik. Ia tidak melakukan konfrontasi langsung,
meski, seperti disebut dalam Quran (21:60-63), Ibrahim sempat mencoba melakukan
konfrontasi kecil-kecilan dengan menghancurkan patung-patung yang menjadi pusat
pemujaan dalam sebuah kuil di pusat kota (mungkin di dalam ziggurat, bangunan
khas dalam peradaban Sumeria). Tapi, akhirnya, Ibrahim menempuh jalan lain.
Ibrahim
memilih jalan non-konfrontasi. Ia, bersama seluruh keluarganya, menyingkir dari
Ur Kasdim, kota tempat kelahirannya. Ia bertolak ke utara, menuju tanah yang
dijanjikan Tuhan: Kanaan. Setelah sempat transit untuk beberapa waktu di Harran
(perbatasan Syria-Turki sekarang), Ibrahim akhirnya sampai di Kanaan, dan
mendirikan mezbah, tempat persembahan bagi Tuhan.
Karena
bencana kelaparan, Ibrahim, bersama isterinya Sarah (saat itu, menurut
Perjanjian Lama, masih bernama Sarai), mengungsi ke Mesir. Di sini kisah
fantastik berikutnya terjadi. Raja Mesir terpikat oleh kecantikan Sarai dan
hendak memperisterinya. Tetapi Tuhan melakukan “intervensi” dengan menurunkan
tulah. Batallah rencana raja itu. Ibrahim kembali ke Kanaan.
Dalam
Perjanjian Lama, Ibrahim selalu dijanjikan akan menjadi bapak dari suatu bangsa
besar. “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati
engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. (Kejadian
12:2)
Tetapi
Ibrahim tak berputera. Bagaimana ia akan melahirkan bangsa yang besar jika tak
berputera? Sarai akhirnya meminta suaminya itu untuk menghampiri Hagar, budak
perempuannya yang berasal dari Mesir. Tentu dengan niat untuk memperoleh
keturunan. Hagar akhirnya mengandung.
Sebuah
percekcokan terjadi antara Sarah dan Hagar yang sedang mengandung itu. Hagar
diusir dari rumah Ibrahim, dan lari ke padang pasir. Dalam pelariannya itu,
seorang malaikat menampakkan diri padanya seraya mengabarkan bahwa ia akan
melahirkan bayi laki-laki, dan harus memberinya nama Ismael.
Kepada
Ibrahim, Tuhan berjanji akan memberkati Ismael. “Ia akan Kuberkati, Kubuat
beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku
akan membuatnya menjadi bangsa yang besar.” (Kejadian 17:20) Dalam versi
Kristen, Hagar dan Ismael akhirnya tinggal di gurun Paran di kawasan Sinai.
Dalam versi Islam, apa yang disebut Paran adalah kawasan Hijaz sekarang.
Ibrahim membawa Hagar dan Ismael ke sana. Setelah selesai membangun Kaabah,
Ibrahim kembali ke Kanaan, berkumpul dengan Sarah dan Ishak.
Tuhan
juga menjanjikan kepada Ibrahim sesuatu yang lain. Kali ini, sebuah janji
fantastik yang nyaris mustahil. Tuhan menjadikan kepada Ibrahim dan Sarah
seorang putera. Mereka justru tertawa dalam hati, nyaris tak percaya pada janji
ini. Ibrahim sudah nyaris berumur seratus tahun. Sarah pun sudah (dalam
istilah Perjanjian Lama) “layu”. Bagaimana mereka bisa memiliki seorang putera?
Ah, ndak mungkin!
Tetapi
sesuatu yang tampak mustahil itu menjadi mungkin dalam rencana Tuhan. Ibrahim
memiliki seorang putera dari isterinya sendiri, dan ia memberinya nama
Ishak.Tentu saja, Ibrahim suka cita karena akhirnya ia memiliki keturunan yang
akan melanjutkan impiannya Tetapi persis di situ datang ujian.
Pada
suatu hari, Tuhan mendatanginya dan memerintahkan agar menjadikan puteranya itu
kurban persembahan. Versi Quran agak sedikit beda. Perintah itu datang melalui
sebuah mimpi (QS 37:105). Kita bisa membayangkan betapa berat ujian ini. Ishak
adalah anak satu-satunya Ibrahim, dan ia harus mengurbankannya. Sebuah ujian
yang tak masuk akal. Tetapi, karena iman yang teguh, Ibrahim memenuhi perintah
itu. Ia membawa Ishak ke tanah Moria dan mendirikan mezbah di sana untuk
mengurbankan puteranya itu.
Di saat
itulah intervensi Tuhan datang kembali. Saat Ibrahim nyaris menyembelih Ishak,
Tuhan turun tangan, memanggilnya, dan melarangnya untuk mengurbankan
Ishak. Kini Tuhan tahu bahwa Ibrahim memang memiliki iman yang tegar.
Kisah
ini, bagi manusia modern, memang menimbulkan soal. Ini jelas kisah yang berbau
kekerasan pada anak. Kisah ini sulit diterima oleh sensitivitas modern.
Bagaimana kita “berkilah” di hadapan kisah yang tak masuk akal ini?
Buat
saya, kisah ini sebaiknya tidak dipahami secara harafiah. Ini hanyalah
perlambang tentang ketegaran iman yang dibungkus dalam sebuah drama yang kaya
dengan pelbagi simbolisme. Salah satu simbolisme yang mengesankan saya di sini
ialah: Kita semua adalah hewan kurban yang seharusnya mempersembahkan diri,
hidup dalam sebuah komitmen moral yang teguh terhadap Tuhan.
Jika
Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan telah mati, maka dalam simbolisme kisah
Ibrahim ini manusia telah mati. Tetapi kematian manusia itu disusul oleh sebuah
kebangkitan kembali dalam bentuk kehidupan baru. Simbolisme lain: kisah pengurbanan
Ishak ini mungkin juga semacam nubuat akan peristiwa “pengurbanan” Yesus di
tiang salib. Sebagaimana Ishak, Yesus mati di tiang salib, dan kemudian bangkit
kembali (dalam versi Kristen); atau tak jadi mati di tiang salib karena
digantikan oleh orang lain (versi Islam).
Kisah
Ibrahim dimulai dengan peristiwa fantastik: kelahirannya yang menjadi nubuat
akan hancurnya kekuasaan Nimrod. Ia juga diakhiri dengan peristiwa yang
fantastik: pengurbanan sang anak.
Kita bisa
mempertanyakan apakah semua kisah itu benar-benar terjadi atau tidak. Tetapi
pertanyaan tentang historisitas peristiwa Ibrahim kurang terlalu relevan dan
penting. Yang jauh lebih penting ialah membaca kisah ini sebagai skema sejarah
yang meletakkan landasan bagi peristiwa-peristiwa besar yang akan terjadi di
masa mendatang — peristiwa di mana aktor-aktornya adalah anak cucu Ibrahim.
Kisah
Ibrahim adalah kisah tentang mungkinnya sesuatu yang kelihatannya tak mungkin.
Jika kita lihat trayek sejarah tiga agama yang lahir dari Ibrahim itu, kita
seperti menonton pagelaran peristiwa yang nampak mustahil, tetapi terjadi juga.
Siapa
yang mengira bangsa Yahudi yang mengalami diaspora berabad-abad, nyaris punah,
tiba-tiba bisa mendirikan sebuah negara: negara Israel? Siapa yang mengira
bahwa agama Kristen yang semula merupakan “sekte” kecil di Jerusalem, lalu
tiba-tiba menjadi agama terbesar di dunia? Siapa yang mengira Islam yang
berangkat dari pinggiran peradaban di tanah Hejaz, kemudian menjadi agama universal
yang memiliki cakupan wilayah yang begitu luas?
Kisah yang dialami oleh anak-anak
Abraham alias Ibrahim adalah kisah tentang “the possibility of the impossibe”.
Tentang sesuatu yang tak masuk akal, tetapi toh akhirnya terjadi juga. Janji
Tuhan pada Ibrahim benar-benar terwujud: dari dirinya lahir bangsa besar, baik
melalui jalur Ishak atau Ismael. Meskipun dua puak besar ini (puak Ishak dan
Ismael) kadang-kadang terlibat dalam konflik dan perseteruan. Perseteruan yang
biasa terjadi antara saudara sekandung! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar