Neotribalisme
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Setelah
70 tahun merdeka, bangsa Indonesia perlu membaca ulang moto dan realitas sosial
Bhinneka Tunggal Ika, mengingat masyarakat Nusantara berkembang sangat dinamis.
Tulisan
ini diinspirasi oleh buku Beyond Tribalism (2012) oleh Celia de Anca, mencoba
melihat secara kritis kemunculan komunalisme baru. Istilah tribalisme dalam
buku ini dipahami secara netral, positif, merujuk pada ikatan suku, marga,
ataupun hubungan darah. Bukan tribalisme dalam konotasi kasar, negatif, tidak
beradab. Menurut Celia, sekarang ini di berbagai masyarakat dunia tengah
berlangsung proses mengendurnya ikatan sukuisme tradisional.
Jika
dahulu individualitas seseorang seakan hilang melebur dalam identitas dan
ideologi kesukuan, sekarang seseorang justru berusaha untuk melepaskan diri
dari ikatan dan tekanan kesukuan, lalu membangun komunitas baru dengan
mengandalkan kekuatan pribadinya yang ditopang oleh prestasi keilmuan, profesi,
dan jejaring sosial baru.
Dalam
jejaring sosial tribalisme klasik, komunikasi berlangsung secara lisan dan
tatap muka dalam struktur sosial yang hierarkis berdasarkan keturunan. Dalam
komunitas baru yang oleh Celia disebut neotribalisme, telah terjadi pergeseran
nilai sangat mendasar. Relasi sosial dalam neotribalisme cenderung demokratis
dan kontraktual. Mereka berkelompok didasarkan pilihan sukarela dan kesamaan
profesi ataupun hobi yang umumnya selalu berorientasi ekonomi.
Komunalisme
baru ini lebih longgar, rasional, anggotanya bebas keluar-masuk, mengingat
sifatnya sukarela. Kecenderungan ini sesungguhnya sudah lama dibahas oleh Max
Weber, bahwa dampak sosial dari modernisasi pendidikan, teknologi, dan
birokrasi akan menggoyahkan ikatan komunalisme etnis. Orang lebih percaya diri
dan nyaman dengan mengenalkan identitas barunya sebagai kaum profesional
ketimbang identitas suku atau marga yang bersifat primordial.
Kata
identitas, berasal dari bahasa Latin idem dan enti, menunjuk pada kesamaan
entitas, terutama kesamaan sifat dan kategori sosial. Dahulu, di Indonesia
identitas itu sangat terbatas, yang menonjol adalah identitas suku dan agama.
Namun, sekarang ini berkembang banyak sekali identitas baru yang menjadi acuan
dan pilihan seseorang.
Saya
sendiri sering kali menerima beragam kartu nama dari orang yang sama. Juga
sering bertemu orang yang sama dalam forum komunitas yang berbeda-beda.
Artinya, telah muncul beragam identitas sosial baru yang memungkinkan seseorang
untuk membangun rumah komunal baru di luar kategori suku dan agama. Kita hidup
dalam masyarakat baru yang sangat cair dan plural, yang sekaligus juga penuh
kompetisi yang dipicu oleh kepentingan politik dan ekonomi.
Membaca
ulang Bhinneka Tunggal Ika
Sejak
awal, konsep kebinekaan itu bersifat dinamis visioner yang diikat dalam
semangat kebangsaan dan kemanusiaan. Bukan semata menunjuk pada realitas
antropologis dan geografis, bahwa penduduk Nusantara ini tersebar ke berbagai
pulau dengan ragam bahasa, budaya, dan agama.
Lebih
dari itu adalah juga sebuah tekad untuk bersatu memajukan dan menyejahterakan
anak-anak bangsa dengan tetap menghargai identitas setiap etnis dan agama.
Dibandingkan kategori etnis, identitas agama paling bertahan karena dibakukan
dalam kartu tanda penduduk (KTP).
Dalam
agenda penyemaian anak-anak Indonesia, peranan perguruan tinggi sangat
signifikan, terutama perguruan tinggi papan atas. Kampus telah memfasilitasi
bertemunya putra-putri daerah terbaik. Mereka melebur ke dalam satu komunitas
hibrida yang disatukan oleh semangat akademis.
Di kampus
itu pula terjalin hubungan persahabatan lintas etnis yang sebagian berlanjut
pada perkawinan yang pada urutannya melahirkan generasi baru yang semakin
mengindonesia. Generasi ini semakin samar afiliasi dan identitas etnisnya.
Mereka lebih memilih identitas yang menonjolkan pilihan dan prestasi akademis,
karier, dan hobinya. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin menjadi pemimpin
Indonesia mestinya mereka yang datang dari kampus terbaik dan punya pengalaman serta
penghayatan keindonesiaan yang plural, majemuk, dan inklusif.
Dengan
mengendurnya identitas primordialisme, konsep kebinekaan haruslah berkembang
menjadi kebinekaan progresif yang berkeadilan, yaitu munculnya keanekaragaman
pusat-pusat unggulan pendidikan, budaya, industri, dan ekonomi sehingga terjadi
pemerataan penyebaran penduduk dan sentra-sentra ekonomi serta budaya, tidak
hanya terpusat di Pulau Jawa. Selama ini konsep kebinekaan berjalan di tempat,
bahkan terjadi hegemoni oleh satu etnis dan wilayah terdapat yang lain.
Memasuki
70 tahun kemerdekaan, kita bukannya merayakan kebanggaan sebagai masyarakat dan
bangsa yang dianugerahi keragaman nabati, hayati, dan kultural yang sedemikian
melimpah, melainkan pertengkaran dan keluh kesah akibat kurang mampu
memanfaatkan dan mengendalikan anugerah dan warisan kekayaan bangsa, termasuk
mengisi amanat kemerdekaan.
Neotribalisme
partai politik
Di
Indonesia, secara ikonik neotribalisme yang dimaksudkan oleh Celia de Anca
mungkin saja tecermin dalam komunitas partai politik. Komunitas partai politik
ini memiliki daya tarik bagi warga masyarakat untuk berhimpun dan membangun
identitas baru dalam bingkai keindonesiaan dengan menyimpan agenda politik dan
ekonomi yang kental.
Partai-partai
politik besar cenderung semakin inklusif, longgar, tidak menonjolkan identitas
etnis dan agama. Para kadernya pun sering melakukan akrobat kutu loncat.
Militansi mereka lebih didasari motif kalkulasi kekuasaan dan ekonomi, bukannya
keterikatan etnis dan agama.
Jadi,
jika neotribalisme partai politik ini tidak diperkuat oleh penerapan prinsip
profesionalisme, meritokrasi, dan etika, jangan-jangan yang terjadi adalah
neotribalisme dalam konotasinya yang negatif. Sebuah kerumunan orang-orang yang
haus dan lapar akan kekuasaan dan sumber ekonomi, bukan lagi sebagai penyangga
dan pejuang bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Partai politik lalu
terjatuh menjadi bagian dari problem, bukannya solusi bangsa.
Sebuah
catatan kecil terhadap buku Beyond Tribalism adalah fenomena Tionghoa
perantauan. Mereka tetap memiliki ikatan kuat dengan identitas primordialnya,
tetapi dalam waktu yang sama mereka mengembangkan prinsip profesionalisme dan
melakukan bisnis secara rasional. Secara etnis mereka masih eksklusif, tetapi dari
sisi bisnis mereka inklusif. Mungkin setia pada nasihat Khonghucu, U Hao,
berbaktilah kepada orangtua, Ai Kwo, cintailah negaramu, dan ingat, di empat
penjuru lautan semuanya adalah bersaudara.
Mereka
melakukan diaspora ke seluruh dunia dengan bendera bisnis dan budaya, bukan
senjata seperti yang dilakukan Barat yang kadang mengingatkan kenangan pahit
semasa Perang Salib. []
KOMPAS,
23 September 2015
Komaruddin
Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar