Selasa, 08 September 2015

Azyumardi: Indonesia Setelah 70 Tahun



Indonesia Setelah 70 Tahun
Oleh: Azyumardi Azra

Memasuki dasawarsa kedelapan setelah 70 tahun kemerdekaan Indonesia pada 2015, negeri ini tidak hanya mampu bertahan di tengah berbagai tantangan dan kesulitan, tetapi juga mencapai banyak kemajuan signifikan dalam berbagai lapangan kehidupan.

Tetap kecemasan dan kerisauan masih melanda banyak kalangan masyarakat—termasuk kalangan ahli dan spesialis—ketika Indonesia mulai melangkah memasuki dasawarsa kedelapan kemerdekaan. Hal ini terlihat misalnya dalam Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) XXVI dalam rangka Kongres IX pada pekan lalu (27/8/2015).

Dalam ‘introspeksi’ dan ‘retrospeksi’ AIPI, segenap warga bangsa patut bersyukur karena Indonesia tidak tercabik-cabik konflik komunal yang pernah melanda daerah tertentu dari waktu ke waktu. Selain itu, AIPI juga mengapresiasi prestasi Indonesia berdemokrasi selama lebih dari 15 tahun Era Reformasi setelah sebelumnya mengalami periode sistem otoriter yang panjang di bawah rejim Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin (1959-65) dan rejim Orde Baru dengan Demokrasi Pancasila (1966-98).

Di balik prestasi itu, AIPI juga mencatat tidak sedikit daftar kegagalan dan potret buram negara-bangsa Indonesia dalam rentang usia 70 tahun itu. “Di antara kegagalan itu dapat disebut misalnya kegagalan negara menegakkan pemerintahan bersih dengan memberantas atau sedikitnya mengurangi korupsi secara signifikan; kegagalan mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial; kegagalan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan kegagalan negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, termasuk hak hidup bagi minoritas agama dan kepercayaan”.

Karena itu, AIPI merasa perlu mengajukan pertanyaan; ‘Apa yang salah? Mengapa salah urus negara dan pemerintahan masih berlanjut terus dan hampir selalu berulang meskipun Indonesia sudah 70 tahun merdeka? Tantangan apa saja yang menghadang Indonesia menyongsong masa depannya? Apakah NKRI bisa bertahan untuk 100 tahun berikutnya?

Pembicaraan dalam Sesi Panel Tokoh yang mencakup Menkumham Luhut B. Panjaitan; ekonom dan pakar lingkungan hidup Emil Salim; Ketua Umum AIPI dan Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang; dan penulis Resonansi  ini tak bisa lain kecuali terfokus pada masa depan Indonesia berdasarkan tantangan dan masalah hari ini dan ke depan.

Secara umum, keempat panelis menyatakan optimis dengan masa depan Indonesia—meski disertai sejumlah catatan kritis dan reflektif. Luhut merasa optimis dengan masa depan Indonesia yang dengan demokrasi bisa membawa negeri ini ke arah lebih baik. Tetapi ia wanti-wanti mengenai Indonesia yang penuh keragaman, yang menghendaki pemimpin yang mampu berdiri di atas semua golongan. “Indonesia membutuhkan pemimpin yang dapat menjadi teladan. Indonesia tidak memerlukan pemimpin tanpa hati yang membuat rusak, pemimpin yang hanya mementingkan dirinya, golongannya dan kantongnya”.

Bagi Emil Salim, kerusakan masa depan Indonesia dapat disebabkan bangsa Indonesia sendiri, khususnya kalangan politisi yang tidak memiliki logika dan sensitivitas. Ia mengakui pentingnya para politisi dan parpol sebagai pilar demokrasi. “Sayangnya politikus justru membuat demokrasi bukan menjadi jalan untuk menciptakan keadilan sosial. Di tengah krisis ekonomi sekarang, ketika nilai dolar menuju lima belas ribu rupiah, DPR malah mau membangun tujuh proyek prestisius. Ke mana pikiran mereka?”, tegas Emil Salim.

Berbicara setelah kedua panelis tadi, penulis Resonansi ini mengingatkan tentang pentingnya memelihara optimisme bangsa dalam menyongsong masa depan. Indonesia sepanjang 70 tahun kemerdekaan membuktikan kemampuan tidak hanya bertahan, tetapi juga mencapai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Jika kita lebih banyak pesimis, masa depan negara bangsa ini juga menjadi gelap gulita.

“Dalam perjalanan selama tujuh puluh tahun, Indonesia tetap menjadi negara-bangsa yang utuh di tengah berbagai ancaman dan potensi disintegrasi. Perjalanan sejarah selama tujuh puluh tahun mengajarkan bahwa di tengah segala skeptisisme, ketidakpercayaan dan ketidakmungkinan, Indonesia yang sangat plural tetap utuh dan bisa berdiri sampai sekarang”.

Banyak kalangan pengamat asing sejak masa pergerakan nasional, pasca-kemerdekaan sampai sekarang ini masih bersikap skeptis terhadap masa depan Indonesia. Bagi mereka, Indonesia adalah negara-bangsa yang tidak mungkin (improbable nation) yang merupakan ‘keajaiban’ (miracle) karena keragaman dan kebhinnekaan dalam berbagai aspek kehidupan.

Meski merupakan ‘mukjizat’, menghadapi tantangan hari ini dan masa depan lebih jauh—seperti 100 tahun kemerdekaan pada 2045—pemerintah memiliki peran tanggungjawab khusus menciptakan kondisi lebih kondusif bagi pemeliharaan dan penguatan keindonesiaan.

Untuk itu, pemerintah semestinya mempercepat usaha mengatasi berbagai kesulitan ekonomi yang kini kian meningkat. Jika keadaan ekonomi terus memburuk, kesulitan hidup kian meningkat, dan jurang pendapatan kian lebar, maka potensi keresahan sosial bakal juga meningkat. Pada tahap ini, jika tidak terkendali, potensi dan ancaman disintegrasi dapat mewujudkan dirinya. Na’udzu billah min Dzalik. []

REPUBLIKA, 03 September 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bidang sejarah dan anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar