Kamis, 10 September 2015

Azyumardi: Ketua DPR RI dan Pilpres AS



Ketua DPR RI dan Pilpres AS
Oleh: Azyumardi Azra

Pertemuan Ketua DPR Setya Novanto beserta sejumlah anggota parlemen Indonesia dengan bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, Kamis (3/9), patut disesal- kan. Memperkenalkan Setya dalam konferensi pers di New York, Trump merasa mendapatkan dukungan (endorsement) ”sahabatnya yang merupakan salah satu di antara orang sangat berkuasa” dari Indonesia.

Dukungan itu agaknya penting bagi Trump, terutama bukan dalam konteks politik pilpres AS, tetapi lebih terkait bisnis yang sedang dia garap di Indonesia. Kalah atau menang dalam pilpres nanti, Trump yang aslinya pebisnis real estate, hotel, dan kasino, juga aktor reality show TV melalui Trump Hotel Collection bekerja sama dengan MNC Group pimpinan Hary Tanoesoedibjo mengembangkan the largest integrated resort’ di Bali dan Lido, Sukabumi.

Dalam konteks pilpres AS, pertemuan Setya-Trump bisa disebut sebagai dukungan secara tersirat (tacit endorsement), mencerminkan sikap partisan. Sebagai pejabat tinggi yang membawa nama dan lembaga terhormat Indonesia, jika tidak mau partisan, Setya sepatutnya bertemu tak hanya dengan bakal calon presiden dari Partai Republik, tetapi juga dari Partai Demokrat.

Karena itu, jika ketua dan rombongan anggota DPR ini terjadwal hanya bisa berte- mu salah satu bakal calon—tidak dengan bakal calon dari partai lain—sepatutnya dia membatalkannya. Sekali lagi, pertemuan dengan hanya salah satu bakal calon tak bisa lain kecuali hanya mencerminkan sikap partisan atau dalam istilah lain yang populer di AS disebut meddling, ’ikut bermain’, dalam politik dalam negeri AS.

Pejabat tinggi Indonesia jelas secara etis dan diplomatik tidak boleh terbuka bersikap politik partisan terhadap atau meddling dalam politik negara lain, termasuk AS. Mereka mesti bukan hanya tidak menunjukkan sikap partisan lewat pertemuan dengan salah satu bakal calon presiden, tetapi juga tak berkomentar tentang politik (political meddling) negara bersangkutan. Memang sikap politik partisan dan meddling Ketua DPR dalam politik pilpres AS tidak menjadi berita utama media dan publik AS. Hal itu terkait kenyataan bahwa Indonesia tidak banyak dikenal para pemilih AS.

Satu-satunya negara yang sering melaku- kan meddling dalam pilpres AS adalah Isra- el. Hal itu mudah dipahami. Israel memiliki kepentingan besar dengan siapa yang bakal menang dalam pilpres AS; bagi Israel sangat penting apakah capres tertentu sepenuhnya mendukung kepentingan Israel atau memberikan dukungan hanya ”setengah hati”.

Meddling Israel terakhir dalam pilpres AS terjadi pada pilpres tahun 2012. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, baik secara implisit maupun eksplisit, menyatakan dukungan kepada capres Partai Republik, Mitt Romney. Netanyahu juga menyatakan Romney adalah teman lamanya.

Sebaliknya, PM Israel yang terkenal seba- gai sangat keras (hawkish) ini secara terbu- ka mengungkapkan kejengkelannya kepada kandidat presiden petahana dari Partai Demokrat, Barack Obama, karena menolak bertemu dengannya seusai Sidang Umum PBB, September 2012. Netanyahu menyata- kan, Presiden Obama tidak bersikap keras dan tegas kepada Iran dalam pengembangan nuklir oleh negara ayatullah itu.

Kalangan petinggi Partai Demokrat mengecam Netanyahu sebagai telah ikut bermain (meddling) dan melakukan intervensi terhadap pilpres AS. Partai Demokrat berusaha membangkitkan sentimen nasionalisme membendung aksi Netanyahu. Sebaliknya, PM Israel ini menuding AS sebagai selalu ikut mencampuri pemilu Israel.

Berbeda mencolok dengan Netanyahu, meski pertemuan Setya bisa dianggap sebagai meddling dalam pilpres AS, jelas dampaknya hampir tak ada bagi pemilih AS. Indonesia tak pernah dikenal sebagai negara yang bisa memengaruhi politik AS. Bagi para presiden AS, Indonesia pasca-Soekarno adalah teman baik yang tidak punya rekam jejak mencampuri politik dalam negeri AS.

Boleh jadi keberatan terhadap politicalmeddling Ketua DPR Setya Novanto datang dari kubu Partai Demokrat. Bakal calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, yang masih memimpin dalam berbagai survei, belum memberikan tanggapan. Hillary jauh lebih lama dan lebih dekat dengan Indonesia sejak suaminya, Bill Clinton, menjabat Presiden AS (1993-2001).

Karena itu, jika mempertimbangkan kepentingan Indonesia secara keseluruhan, lebih logis kalau warga Indonesia berharap— tanpa political meddling—Hillary memenangi piplres AS, 8 November 2016. Hillary jauh lebih memahami dan lebih berempati kepada Indonesia daripada Trump karena mantan Menlu AS ini tahu banyak hal tentang negara dan masyarakat negeri ini. Bagaimanapun, pejabat tinggi seperti Ketua DPR sepatutnya tidak meddling dalam politik AS dalam bentuk apa pun. Tidak elok!

Hal sama berlaku bagi Indonesia. Pastilah warga, pejabat, dan politisi Indonesia sangat gusar dan heboh jika dalam pilpres Indonesia ada pejabat tinggi AS mengadakan pertemuan dengan salah satu capres Indonesia. Karena itu, meddling pejabat publik Indonesia dalam politik AS bisa jadi dapat alasan tambahan bagi pihak tertentu AS untuk meddling dalam politik Indonesia, khususnya pilpres 2019 dan seterusnya. []

KOMPAS, 8 September 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Dewan Penasihat UN Democracy Fund, New York (2006-2008) dan International IDEA Stockholm (2007-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar