Ketua DPR RI dan Pilpres AS
Oleh: Azyumardi Azra
Pertemuan Ketua DPR Setya Novanto beserta sejumlah anggota
parlemen Indonesia dengan bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai
Republik, Donald Trump, Kamis (3/9), patut disesal- kan. Memperkenalkan Setya
dalam konferensi pers di New York, Trump merasa mendapatkan dukungan
(endorsement) ”sahabatnya yang merupakan salah satu di antara orang sangat
berkuasa” dari Indonesia.
Dukungan itu agaknya penting bagi Trump, terutama bukan dalam
konteks politik pilpres AS, tetapi lebih terkait bisnis yang sedang dia garap
di Indonesia. Kalah atau menang dalam pilpres nanti, Trump yang aslinya
pebisnis real estate, hotel, dan kasino, juga aktor reality show TV melalui
Trump Hotel Collection bekerja sama dengan MNC Group pimpinan Hary
Tanoesoedibjo mengembangkan the largest integrated resort’ di Bali dan Lido,
Sukabumi.
Dalam konteks pilpres AS, pertemuan Setya-Trump bisa disebut
sebagai dukungan secara tersirat (tacit endorsement), mencerminkan sikap
partisan. Sebagai pejabat tinggi yang membawa nama dan lembaga terhormat
Indonesia, jika tidak mau partisan, Setya sepatutnya bertemu tak hanya dengan
bakal calon presiden dari Partai Republik, tetapi juga dari Partai Demokrat.
Karena itu, jika ketua dan rombongan anggota DPR ini terjadwal
hanya bisa berte- mu salah satu bakal calon—tidak dengan bakal calon dari
partai lain—sepatutnya dia membatalkannya. Sekali lagi, pertemuan dengan hanya
salah satu bakal calon tak bisa lain kecuali hanya mencerminkan sikap partisan
atau dalam istilah lain yang populer di AS disebut meddling, ’ikut bermain’,
dalam politik dalam negeri AS.
Pejabat tinggi Indonesia jelas secara etis dan diplomatik tidak
boleh terbuka bersikap politik partisan terhadap atau meddling dalam politik
negara lain, termasuk AS. Mereka mesti bukan hanya tidak menunjukkan sikap
partisan lewat pertemuan dengan salah satu bakal calon presiden, tetapi juga
tak berkomentar tentang politik (political meddling) negara bersangkutan. Memang
sikap politik partisan dan meddling Ketua DPR dalam politik pilpres AS tidak
menjadi berita utama media dan publik AS. Hal itu terkait kenyataan bahwa
Indonesia tidak banyak dikenal para pemilih AS.
Satu-satunya negara yang sering melaku- kan meddling dalam pilpres
AS adalah Isra- el. Hal itu mudah dipahami. Israel memiliki kepentingan besar
dengan siapa yang bakal menang dalam pilpres AS; bagi Israel sangat penting
apakah capres tertentu sepenuhnya mendukung kepentingan Israel atau memberikan
dukungan hanya ”setengah hati”.
Meddling Israel terakhir dalam pilpres AS terjadi pada pilpres
tahun 2012. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, baik secara implisit
maupun eksplisit, menyatakan dukungan kepada capres Partai Republik, Mitt
Romney. Netanyahu juga menyatakan Romney adalah teman lamanya.
Sebaliknya, PM Israel yang terkenal seba- gai sangat keras
(hawkish) ini secara terbu- ka mengungkapkan kejengkelannya kepada kandidat
presiden petahana dari Partai Demokrat, Barack Obama, karena menolak bertemu
dengannya seusai Sidang Umum PBB, September 2012. Netanyahu menyata- kan,
Presiden Obama tidak bersikap keras dan tegas kepada Iran dalam pengembangan
nuklir oleh negara ayatullah itu.
Kalangan petinggi Partai Demokrat mengecam Netanyahu sebagai telah
ikut bermain (meddling) dan melakukan intervensi terhadap pilpres AS. Partai
Demokrat berusaha membangkitkan sentimen nasionalisme membendung aksi
Netanyahu. Sebaliknya, PM Israel ini menuding AS sebagai selalu ikut mencampuri
pemilu Israel.
Berbeda mencolok dengan Netanyahu, meski pertemuan Setya bisa
dianggap sebagai meddling dalam pilpres AS, jelas dampaknya hampir tak ada bagi
pemilih AS. Indonesia tak pernah dikenal sebagai negara yang bisa memengaruhi
politik AS. Bagi para presiden AS, Indonesia pasca-Soekarno adalah teman baik
yang tidak punya rekam jejak mencampuri politik dalam negeri AS.
Boleh jadi keberatan terhadap politicalmeddling Ketua DPR Setya
Novanto datang dari kubu Partai Demokrat. Bakal calon presiden dari Partai
Demokrat, Hillary Clinton, yang masih memimpin dalam berbagai survei, belum
memberikan tanggapan. Hillary jauh lebih lama dan lebih dekat dengan Indonesia
sejak suaminya, Bill Clinton, menjabat Presiden AS (1993-2001).
Karena itu, jika mempertimbangkan kepentingan Indonesia secara
keseluruhan, lebih logis kalau warga Indonesia berharap— tanpa political
meddling—Hillary memenangi piplres AS, 8 November 2016. Hillary jauh lebih
memahami dan lebih berempati kepada Indonesia daripada Trump karena mantan
Menlu AS ini tahu banyak hal tentang negara dan masyarakat negeri ini.
Bagaimanapun, pejabat tinggi seperti Ketua DPR sepatutnya tidak meddling dalam
politik AS dalam bentuk apa pun. Tidak elok!
Hal sama berlaku bagi Indonesia. Pastilah warga, pejabat, dan
politisi Indonesia sangat gusar dan heboh jika dalam pilpres Indonesia ada
pejabat tinggi AS mengadakan pertemuan dengan salah satu capres Indonesia.
Karena itu, meddling pejabat publik Indonesia dalam politik AS bisa jadi dapat
alasan tambahan bagi pihak tertentu AS untuk meddling dalam politik Indonesia,
khususnya pilpres 2019 dan seterusnya. []
KOMPAS, 8 September 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat UN Democracy Fund, New York (2006-2008) dan
International IDEA Stockholm (2007-2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar