Dicari:
Pendidikan Keagamaan Bervisi Kebangsaan
Oleh:
Hasibullah Satrawi
DI era
media sosial seperti sekarang, ada satu hal yang sejatinya menjadi perhatian
dan keprihatinan kita bersama. Yaitu, persoalan radikalisasi ruang publik yang
tampak semakin liar, bahkan dianggap sebagai hal yang wajar.
Secara
wilayah sebaran, radikalisasi yang ada semakin luas merambah setiap individu
yang mempunyai peralatan komunikasi yang memadai (bisa mengakses pelbagai macam
media sosial), termasuk kalangan anak-anak muda yang masih membutuhkan
bimbingan intensif terkait hal-hal yang diketahuinya. Khususnya hal-hal yang
diketahui melalui media sosial.
Tidak
lama ini, contohnya, istilah Islam Nusantara yang dijadikan sebagai tema
Muktamar Ke-33 NU dipersoalkan oleh sebagian pihak. Khususnya kelompok-kelompok
yang selama ini dikenal bersikap anti-NKRI dan hendak mengubah NKRI menjadi
negara agama.
Melalui
kebebasan informasi yang ada (khususnya melalui media sosial),
kelompok-kelompok antiNKRI melakukan simplifikasi, bahkan manipulasi terhadap
terma Islam Nusantara. Hingga sebagian pihak menyamakan Islam Nusantara dengan
Islam Liberal, sebagian yang lain menyamakannya dengan Syiah dan lain
sebagainya.
Padahal,
Islam dengan ciri khas yang berkembang di Nusantara (disingkat menjadi Islam
Nusantara) merupakan salah satu elemen yang membuat Indonesia menjadi negeri
majemuk dengan prinsip kesetaraan dan kebebasan. Termasuk kebebasan yang
digunakan kelompok antiNKRI untuk menghujat bangsa ini dan Islam Nusantara.
Seandainya
Islam yang berkembang di Nusantara tidak dengan corak kelenturan, keterbukaan,
dan kemajemukan, mungkin NKRI tak pernah ada. Dan, kalaupun ada, sangat mungkin
menjadi negeri yang dilanda konflik bersenjata dan saling membunuh antara warga
dan warga atau antara rakyat dan pemerintah, seperti saat ini jamak terjadi di
negara-negara Timur Tengah.
Dalam
hemat penulis, maraknya radikalisasi di ruang publik mutakhir (sebagaimana di
atas) menunjukkan adanya persoalan yang sangat serius terkait dengan pendidikan
keagamaan yang minus kebangsaan.
Pelbagai
macam lembaga pendidikan yang ada, mulai tingkatan paling bawah hingga paling
atas, sangat minim menyajikan pendidikan keagamaan yang bervisi kebangsaan.
Yang
sangat banyak ditemukan adalah pendidikan keagamaan semata-mata dan pendidikan
umum semata-mata. Akibatnya adalah tak sedikit orang yang tumbuh dengan
berpedoman semata-mata pada hal-hal keagamaan secara ketat. Sedangkan sebagian
lainnya justru tidak peduli dengan hal-hal yang bersifat keagamaan.
Sementara
itu, di ruang-ruang publik yang lebih luas di luar sekolah, kampanye
radikalisasi yang sarat dengan kebencian terus digalakkan banyak pihak, baik
melalui media sosial maupun mimbar-mimbar keagamaan. Bahkan, hal-hal yang dalam
kurun waktu sebelumnya tidak dipersoalkan belakangan sengaja dipermasalahkan
oleh mereka. Misalnya, perdebatan tentang Islam Nusantara (sebagaimana
dijelaskan di atas) atau penggunaan waktu imsak bagi yang berpuasa (sebagaimana
sempat ramai di sebagian pihak pada bulan puasa lalu).
Di negeri
majemuk seperti Indonesia, keagamaan dan kebangsaan tidak dapat dipisahkan.
Keduanya harus disatukan laiknya bapak dan ibu. Hingga terlahir anakanak yang
berbakti kepada ’’kedua orang tuanya’’.
Oleh
karena itu, semangat pendidikan keagamaan bervisi kebangsaan sejatinya hadir
dalam sistem pendidikan nasional, mulai tingkatan paling dini hingga tingkatan
paling tinggi.
Dalam
konteks mata pelajaran, contohnya, materi tentang keagamaan masih bersifat
’’sisipan’’ di lembaga-lembaga pendidikan umum. Materi keagamaan yang
disampaikan pun sebatas ’’ritualitas’’. Pun demikian sebaliknya. Materi tentang
kebangsaan masih bersifat ’’sisipan’’ di lembaga-lembaga pendidikan agama.
Materi kebangsaan yang disampaikan pun sebatas ’’formalitas’’.
Oleh
karena itu, sangat dipahami bila sistem pendidikan yang ada acap tidak berdaya
menghadapi pelbagai macam gempuran yang dilakukan pelbagai macam kelompok
radikal yang menghendaki NKRI diganti menjadi negara agama. Bahkan, menurut
sejumlah ahli, tak sedikit di antara anak-anak muda saat ini yang bergabung
dengan kelompok radikal. Setidak-tidaknya menjadi simpatisan mereka.
Di
sinilah letak strategis kekuatan ekstrakurikuler. Kegiatan ini harus
dimanfaatkan secara optimal untuk menambal sulam kekurangan-kekurangan yang ada
dalam sistem pendidikan nasional. Sebab, terlalu berharga waktu yang harus
dibuang bila menunggu segala sesuatunya ’’menjadi sempurna’’.
Dalam
beberapa tahun terakhir, penulis dilibatkan Kementerian Agama (Kemenag) untuk
menjadi juri dalam lomba debat nasional untuk mata pelajaran agama Islam di
tingkat sekolah menengah atas. Kegiatan terakhir dilaksanakan pada pertengahan
Agustus kemarin (11–14).
Sebagian
peserta terlihat masih sangat gagap untuk menyenyawakan antara kesadaran
keagamaan dan visi kebangsaan. Sebagian peserta yang lain tampak lebih piawai
dalam menyatupadukan antara keduanya.
Menurut
hemat penulis, kegiatan seperti ini sangat efektif untuk memperkuat pendidikan
keagamaan bervisi kebangsaan di kalangan para siswa. Hingga mereka mempunyai
kecakapan argumentatif dalam menghadapi pelbagai macam ideologi anti-NKRI yang
ada di sekitarnya.
Penguatan
seperti ini sangatlah penting bagi para pemuda ke depan, khususnya di tengah
menguatnya tensi radikalisasi dengan jangkauan yang lebih luas (sebagaimana
telah disampaikan di atas). Hingga para pemuda bisa tetap berkembang dalam
semangat keagamaan yang bervisi kebangsaan.
Hal yang
harus dipahami bersama adalah bahwa kelompok-kelompok anti-NKRI senantiasa
menggunakan momentum dan peluang sekecil apa pun untuk mewujudkan impiannya,
termasuk kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler. Bila tidak ada pencegahan dini
yang bersifat masif, bukan tidak mungkin kelompok anti-NKRI akan terus
menguasai anak bangsa ini satu per satu. Nauzubillah, semoga ini tidak sampai
dan tidak boleh terjadi! []
JAWA POS,
25 Agustus 2015
Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah dan
Dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar