Sertifikasi
Masjid dan Ponpes
Oleh: M
Hasan Mutawakkil Alallah
MANUSIA
semakin lama semakin banyak. Bertambahnya jumlah manusia itu biasanya diiringi
dengan berbagai masalah yang mungkin muncul untuk melingkupinya. Semakin tinggi
pertambahan penduduk itu, semakin kompleks pula tingkat masalahnya. Apalagi,
kompleksitas masalah tersebut bisa saja semakin tinggi saat kepentingan pribadi
atau bahkan kelompok semakin menonjol. Lebih-lebih lagi, perbedaan masa sering
pula diikuti perbedaan kepentingan.
Di
sinilah gagasan percepatan sertifikasi aset penting untuk dilakukan. Salah satu
aset yang selama ini mendapatkan perhatian paling kecil adalah lahan rumah
ibadah maupun pondok pesantren (ponpes). Karena itulah, sertifikasi lahan rumah
ibadah dan ponpes menarik untuk diperbincangkan.
Gagasan
sertifikasi lahan rumah ibadah dan ponpes mulai menguat melalui kesepakatan
antara Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin serta Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan. Bahkan, di sela-sela acara
welcome dinner rakerda DPD Realestat Indonesia (REI) Jawa Timur di Ciputra
World Surabaya Rabu (3/6/2015), menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN
memberikan kepastian, ”Kemarin melalui menteri agama dan kami akan MoU,
menangani secara khusus mempercepat sertifikasi. Supaya di negeri ini tidak ada
rumah ibadahpondok pesantren yang tergusur.”
Keseriusan
gagasan sertifikasi masjid dan ponpes itu layak didukung. Sebab, langkah
menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN sangat konkret. Dia telah mendatangi
dan melakukan MoU dengan beberapa kelompok sosial agar menginventarisasi status
tanah masjid yang dimiliki. Bahkan, menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN
sudah mulai memantapkan desain mengenai tanah wakaf supaya tidak menjadi sumber
masalah dalam kaitannya dengan status keberadaan tempat ibadah.
NU Jatim
pun pernah menggelar rangkaian seminar nasional yang bertema Gerakan Nasional
Penyelamatan Aset-Aset Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Sukolilo pada Sabtu
(6/6/2015). Dalam rangkaian itu, telah ditandatangani nota kesepahaman (MoU)
antara NU serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Jika
melihat pentingnya pendataan dan sertifikasi aset itu, sinergi antara ormas dan
pemerintah menjadi sangat bernilai tinggi. Sinergi tersebut dibutuhkan dalam
usaha melindungi aset-aset yang dimiliki ormas seperti NU. Salah satu contoh
konkret, sinergi tersebut berbentuk pengambilan langkah taktis. Di antaranya,
NU bersama tim Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN membentuk Tim Sertifikasi
Aset Nahdlatul Ulama untuk mempercepat pengurusan administrasi aset-aset NU,
antara lain masjid dan ponpes.
Kita
perlu menghargai gagasan sertifikasi masjid dan ponpes dari menteri agama yang
dikonkretkan bersama menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN itu. Sebab,
tujuannya sangat baik, yakni tidak ada rumah ibadah yang digusur dan timbul
sengketa lahan. Jangan sampai ada sengketa tanah atas rumah ibadah dan ponpes.
Menggalakkan
sertifikasi aset berbadan hukum adalah keputusan yang rasional. Langkah itu
sangat –bagi saya al faqir– berarti upaya untuk menghindari perselisihan antara
ahli waris atau dengan organisasi lain yang memiliki kepentingan tertentu.
Tentu saja langkah paling awal yang harus dilakukan meliputi pendataan dan
pemrosesan aset. Setelah pendataan selesai, langkah selanjutnya adalah sertifikasi
atas aset itu supaya berkekuatan hukum tetap.
Selama
ini, NU memiliki pengalaman yang cukup pahit. Terhadap aset-asetnya, selalu
dinyatakan milik NU. Tapi, klaim kepemilikan itu sangat sering tidak didukung
oleh surat-surat dan legalitasnya. Akibatnya, legalitas kepemilikan tersebut
sering dipertanyakan.
Sebagai
contoh kecil, selama ini ada 13.000 aset milik NU Jatim. Namun, dari jumlah
tersebut, hanya sekitar 5.000 aset yang sudah berbadan hukum NU. Itu semua
berarti bahwa sertifikasi aset kelembagaan cenderung masih sangat rendah, di
bawah 50 persen.
Sejarah
memberikan nasihat hidup yang penting. Selama ini, para ulama dikenal sangat
ikhlas dalam berjuang. Bahkan, untuk kepentingan perjuangan itu, mereka ikhlas
menyerahkan aset tanah hingga bangunan di atasnya untuk digunakan sebagai
tempat pembinaan umat atau pemberdayaan masyarakat.
Keikhlasan
para ulama yang tinggi tersebut harus kita dukung dengan melakukan
pengadministrasian atas nilai keikhlasan itu. Kita semua tidak berharap
keikhlasan tersebut akan diselewengkan untuk kepentingan sesaat oleh
pihak-pihak yang berkepribadian buruk. Karena itu, sertifikasi atas aset yang
berupa lahan tempat ibadan dan ponpes adalah bentuk dukungan untuk
melanggengkan nilai dan pahala keikhlasan para ulama tersebut.
Kasus-kasus
sengketa lahan belakangan ini harus menyadarkan kita semua atas pentingnya
sertifikasi aset. Akibatnya akan sangat buruk bila pendataan,
pengadministrasian, hingga sertifikasi aset itu lalai dilakukan. Sebab, di sana
akan ada orang tua yang dipenjarakan anak kandung gara-gara sengketa lahan. Di
sana juga akan ada anggota keluarga yang dibawa ke pengadilan gara-gara rebutan
aset tanah dan bangunan.
Sertifikasi
ingin menyelamatkan siapa pun yang berkaitan dengan aset, baik dalam kapasitas
pemilik maupun pengguna. Rumah ibadah dan ponpes adalah tempat individu dan
masyarakat untuk menempa diri dan mengembangkan sumber daya manusia guna
kebaikan bersama. Sertifikasi sama artinya dengan penyelamatan bersama atas
aset demi kebaikan dan kemajuan bersama pula. Semoga. []
JAWA POS,
20 Juni 2015
M Hasan Mutawakkil Alallah ; Ketua Tanfidziyah
PW NU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar