Demografi
dan Agama
Oleh:
Anis Matta
Agama
salah satu faktor yang memengaruhi perilaku individu. Ketika individu- individu
berkembang menjadi kelompok, tentu ia akan memengaruhi wajah suatu masyarakat.
Sejumlah orang menganut agama tertentu, dengan identitas dan perilaku tertentu,
adalah fakta demografis dan sosiologis yang membentuk peta sosial-politik.
Bagaimana pada tataran global?
Pada
April lalu Pew Research Centre di Amerika Serikat melansir laporan prediksi
pertumbuhan agama-agama di dunia. Dalam laporan itu diperkirakan pada 2050
jumlah muslim akan sama dengan pemeluk agama Kristen di dunia.
Sebagai
perbandingan, pada 2010 Kristen adalah agama terbesar di dunia dengan estimasi
pemeluk 2,2 miliar (31%) dari 6,9 miliar penduduk Bumi. Islam berikutnya,
dengan jumlah 1,6 miliar atau 23%.
Lebih
lanjut Pew memprediksi muslim akan mengisi 10% populasi Eropa dan menggeser
Yahudi sebagai agama non-Kristen terbesar di Amerika. Di negeri Paman Sam,
pemeluk Kristen akan turun dari tiga perempat menjadi dua pertiga pada 2050.
Yang
menarik India. Hindu akan tetap menjadi agama mayoritas. Namun, karena penduduk
yang begitu banyak, jumlah muslim di India akan melewati negara mana pun, termasuk
Indonesia.
Atheis,
agnostik, dan orang yang tidak berafiliasi dengan agama, walaupun meningkat di
sejumlah negara seperti AS dan Prancis, akan menurun pangsanya dalam komposisi
populasi global. Buddha akan berjumlah sama dengan jumlahnya pada 2010,
sementara Hindu dan Yahudi akan tumbuh.
Di Afrika
diperkirakan Kristen akan tumbuh mencapai 40% dari jumlah penduduk benua itu.
Nigeria akan menjadi negara dengan jumlah umat Kristen terbanyak dibanding
semua negara, kecuali AS dan Brasil.
Inilah prediksi
wajah demografi agama di dunia pada 2050. Setiap prediksi tentu punya kelemahan
dan ruang untuk kesalahan (margin of errors), namun laporan Pew ini menarik
untuk kita jadikan sebagai referensi secara kritis.
Selain
potret demografis, kita juga menyaksikan tokoh-tokoh berbagai agama muncul di
berbagai bidang. Ambil contoh di Amerika. CEO Microsoft Satya Nadella adalah
warga negara AS beragama Hindu kelahiran Hyderabad, India. Cofounder YouTube
Jawed Karim adalah muslim keturunan Bangladesh kelahiran Jerman Timur (waktu
itu) yang melintas ke Jerman Barat dan pindah ke Amerika setelah reunifikasi
Jerman. Di negeri Paman Sam sudah ada dua orang muslim menjadi anggota Kongres.
Di Belanda, wali kota Rotterdam adalah muslim kelahiran Maroko dan di Inggris
sudah ada beberapa wali kota muslim. Masih banyak contoh di berbagai negara.
Keseimbangan
Baru
Fenomena
di atas dan prediksi Pew menunjukkan dunia sedang bergerak ke arah keseimbangan
baru—dengan segala harapan dan kecemasannya. Dalam berbagai kesempatan
berdiskusi di negara-negara dunia Islam, seperti Turki, Mesir, atau Aljazair,
saya kerap mendapat pertanyaan bagaimana Indonesia melewati transisi demokrasi
dalam ketegangan hubungan antara Islam dan negara serta Islam vis-a-vis
modernitas. Di Indonesia sendiri ini diskusi panjang yang telah dibuka
Tjokroaminoto dan Sutan Takdir Alisjahbana sebelum kemerdekaan, dilanjutkan
Nurcholish Madjid mulai 1970-an, hingga sekarang.
Yang juga
banyak dibahas adalah betapa benturan budaya yang belum sepenuhnya selesai
menjadi masalah bagi modernisasi di dunia Islam. Basis keagamaan yang kental di
suatu masyarakat tidak dapat dicerabut begitu saja oleh proyek besar
modernisasi. Pada saat yang sama, negara tidak dapat menyelesaikan benturan ini
dengan pendekatan struktural. Dalam hal relasi agama (Islam) dan negara, dari
pengalaman banyak negara, ketegangan yang muncul malah berujung pada
pertempuran yang merugikan kedua belah pihak (lose-lose battle).
Jika kita
membaca data Pew di atas, kita melihat keseimbangan geopolitik baru di masa
depan dimulai dari perubahan lanskap demografis. Negara tidak lagi menjadi
”lawan bicara” tunggal agama dalam berinteraksi. Masyarakat sipil dan pasar
kini berperan untuk menjadi ruang aktualisasi agama-agama. Negara akan surut menjadi
penjaga ketertiban administrasi penduduk global yang dapat berpindah dari satu
tempat ke tempat lain. Negara akan menjadi makin netral dan tak ”berwarna”.
Agama
pernah menjadi faktor pemicu globalisasi sejak lebih dari seribu tahun lalu,
ketika terjadi penyebaran agama dari pusat-pusat agama ke berbagai penjuru
dunia, baik Buddha, Hindu, Islam, dan Kristen. Namun, konteks penyebaran agama
pada saat itu adalah ekstensifikasi basis pengikut secara kuantitatif yang
kerap berkelindan dengan motif-motif politik dan ekonomi.
Globalisasi
agama yang sekarang berlangsung adalah rasa pertautan orang-orang di seluruh
dunia oleh ajaran, referensi dan perilaku dari ajaran agama yang sama.
Pertumbuhan agama bukan lagi disebabkan ekspansi wilayah dan penaklukan, tetapi
akibat ”pertumbuhan organik” di dalam umat beragama tersebut dan akseptabilitas
agama oleh individu yang makin atomistik.
Daya
globalisasi agama kini dalam beberapa hal mengaburkan negara-bangsa.
Globalisasi punya sisi gelap membuat orang teralienasi, merasa asing, dan
sendiri di tengah dunia yang hiruk-pikuk. Maka tak heran jika globalisasi,
selain menghasilkan keterbukaan, juga memicu lahirnya ”ketertutupan”. Fenomena
ekstremisme dan primodialisme merupakan pantulan balik dari globalisasi yang
menjangkau hingga ke relungrelung privat kehidupan.
Kita
beruntung karena semua umat beragama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
terbentuknya negarabangsa Indonesia. Perdebatan Piagam Jakarta dalam proses
pembentukan negara Indonesia adalah referensi sejarah yang berharga. Saya
memandang peristiwa itu secara positif. Itulah bentuk kompromi dan jiwa besar
para pendiri bangsa dalam menyusun suatu cetak biru yang dapat memayungi
seluruh warga dari berbagai agama. Karena itu, untuk konteks Indonesia,
globalisasi agama (atau agama-agama) dan negara-bangsa dapat diarahkan untuk
saling memberi manfaat dan menguatkan satu sama lain.
Keseimbangan
baru di tataran global tidak boleh dimaknai karena ”kuat sama kuat, mari kita
bertarung”. Sebaliknya, spirit yang harus dikedepankan adalah ”karena kita sama
kuat, mari bekerja sama”. Koeksistensi damai antaragama adalah proyek besar
berikutnya untuk meredam kekerasan berkedok agama yang dimainkan sekelompok
kecil tertentu.
Dunia
kini diliputi kecemasan akibat terorisme karena siapa pun kita dan apa pun
agama kita dapat saja tiba-tiba terluka bahkan terbunuh oleh alasan yang tidak
kita mengerti. Rasa sakit akibat luka itu sama. Karena itu, sebenarnya umat
manusia di dunia dipersatukan oleh ketakutan yang sama. Terciptanya perimbangan
demografis baru pada 2050 itu harus menjadi momentum keseimbangan perdamaian
global yang diusahakan oleh semua pihak, baik dari negara maupun komunitas
agama global.
Keseimbangan
baru itu juga menjadi peluang Indonesia berperan sebagai referensi dalam
transisi demokrasi dan pengelolaan relasi agama dan negara— khususnya bagi
negara-negara dunia Islam. Tentu itu memberi tantangan yang lebih berat lagi
bagi kita sendiri untuk merawat demokrasi dan perdamaian antarumat beragama di
negeri kita. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan. []
KORAN
SINDO, 17 Juni 2015
Anis Matta ; Presiden Partai Keadilan Sejahtera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar