Lipstik Merah untuk Hari
Persamaan Gaji
Oleh: Dahlan Iskan
20 April
2015
”Film itu
dibuat 35 tahun lalu. Itu tahun kelahiran saya,” ujar Ny Sloane
Standly-Beasley, pembicara di forum Equal Day Pay Selasa lalu. ”Tapi, keadaan
yang digambarkan dalam film itu masih sama sampai sekarang,” tambahnya sambil
menahan sedu.
Film
berjudul 9 to 5 (melambangkan jam kerja di perusahaan Amerika)
itu dibintangi Jane Fonda dan Dolly Parton. Memang pas untuk menggambarkan
perbedaan perlakuan kepada pekerja perempuan. ”Ini masih terjadi di sini. Di
Amerika. Di tahun 2015,” katanya. Di Amerika, katanya, pekerja perempuan
dibayar kurang dari 80 persen pekerja laki-laki.
Sloane
mengisahkan pengalamannya bekerja di perusahaan raksasa Amerika. Perusahaan itu
masuk Fortune 500 dalam ranking 20 besar. Dua tahun lalu perusahaan menambah
pegawai dua orang (semua kaki-laki) untuk posisi yang sama dengannya. Gaji
orang baru itu 3 dolar lebih tinggi daripada dia yang sudah berpengalaman enam
tahun. ”Ini kelihatannya bukan selisih yang besar,” kata Sloane. ”Tapi, kalau
dikalikan setahun, sama nilainya dengan satu BMW seri 3,” tambahnya.
Dia
lantas mengadu dan menuntut perbaikan. Dua tahun belum berhasil. Bahkan,
akhirnya dia diberhentikan dengan alasan perusahaan ingin lebih efisien melalui
pengurangan 2.200 pekerja.
Sepuluh
orang yang berbicara di forum itu mengeluhkan hal yang sama. Mereka menyerukan
perlunya perempuan untuk terus berjuang mendapatkan persamaan hak. ”Sebagai
orang Indonesia, saya kaget melihat forum ini. Benarkah kenyataannya seperti
yang tergambar dari forum ini?” tanya saya kepada Dr Robert Dion, satu-satunya
pembicara laki-laki dari Universitas Evansville, saat berbincang setelah acara
itu. ”Benar,” ujar Dr Dion.
Saya
lantas teringat kepada para perempuan yang saya angkat jadi direktur. Baik di
Jawa Pos Group maupun sewaktu di BUMN. Saya kemukakan kepada Dion bahwa di
Indonesia, negara yang jauh ketinggalan dari Amerika, tidak ada perbedaan
perlakuan antara pekerja kaki-laki dan perempuan seperti itu.
”Sudah
empat tahun kami selenggarakan acara seperti ini,” ujar Erica Taylor, CEO YWCA.
”Kami inginkan tanggal 14 April sebagai hari persamaan gaji antara laki-laki
dan perempuan,” katanya. ”Tapi, mengapa yang hadir kebanyakan pakai baju
merah?” tanya saya. ”Ini lambang perjuangan kami,” jawabnya.
Ny
LaNeeca Williams, staf Bagian Persamaan dan Keberagaman di Universitas
Evansville, juga pakai baju merah. Dia juga jadi pembicara yang menarik. Malam
menjelang acara, LaNecca menelepon anak perempuannya yang berumur 24 tahun yang
tinggal di Colorado. Dia minta anaknya mengenakan baju merah keesokan harinya.
Sebagai dukungan terhadap gerakan persamaan gaji. Suaminya pun, dan juga
anaknya yang masih berusia 8 tahun, mengenakan baju merah.
”Mom,
tidak perlu takut memperjuangkan itu,” pesan anaknya. ”Hanya mengurangi rasa
takutlah cara untuk menghilangkan perbedaan gaji ini,” katanya. Tapi, sang anak
masih bisa menyelipkan humor. ”Tapi, baiknya, Mama juga mampir ke toko
Walgreens, beli lipstik merah,” katanya. Walgreens adalah toko untuk kelas
rata-rata.
”Pokoknya,
Mama besok harus menyerukan agar perempuan tidak punya rasa takut lagi,” kata
sang anak.
”Untuk
tidak takut pakai lipstik merah?” sela sang ibu dengan nada getir.
Rupanya
menyerukan agar perempuan Amerika tidak takut menuntut persamaan gaji tidak
semudah menyerukan pemakaian lipstik merah.
LaNecca
mengambil contoh ibunya sendiri. Dia pun lantas menceritakan kisah hidup sang
ibu yang jadi penyangga utama keluarganya. Ibunya bekerja di perusahaan besar
untuk sif ketiga, pukul 22.00 sampai 07.00. Dia berusaha cepat pulang agar bisa melihat anak-anaknya
berangkat sekolah. Sang ibu juga selalu hadir di pertemuan orang tua murid.
Juga masih harus bikin roti dan kue untuk makan anak-anaknya. ”Pokoknya, lagu I
am Every Woman yang dinyanyikan Whitney Houston itu pas untuk menggambarkan ibu
saya,” ujar LaNecca.
Ibunya,
kata dia, menerima gaji hanya 45 persen dari teman yang laki-laki di perusahaan
yang sama, di posisi yang sama. Tapi, ibunya tidak pernah mengeluh. ”Saya hanya
sekali mendengar ibu mengeluhkan itu saat bertemu teman-teman perempuannya di
arena boling mingguan,” kata LaNeeca.
Sebagai
ahli, dia menceritakan hasil studi bahwa perempuan bergaji rendah karena
pendidikan. Juga karena bekerjanya kurang maksimal karena merawat rumah tangga.
Atau karena perempuan itu sendiri mengambil pekerjaan yang bergaji rendah.
Tapi, papar dia, hasil studi yang sama juga mengakui kalaupun semuanya setara,
tetap saja gaji perempuan lebih rendah.
Kalau
perempuan kulit putih hanya dibayar 78 persen dari laki-laki, perempuan
nonkulit putih lebih parah lagi. Menurut hasil studi itu, perempuan dari ras
Hawaii dan Kepulauan Pasifik hanya menerima 65 persen. Perempuan kulit hitam
hanya 64 persen. Perempuan American Indian hanya 55 persen. Dan perempuan
Amerika Latin hanya 54 persen. ”Bahkan, gaji pekerja perempuan yang resmi pun
kalah dengan pekerja gelap laki-laki,” terang dia.
Beberapa
kali menghadiri seminar di Evansville, Indiana (sesekali jadi pembicara), baru
sekali ini saya tersenyum-senyum kaget. Kok Amerika, kampiunnya segala hal,
termasuk kampiun dalam demokrasi dan hak-hak asasi manusia, ternyata masih
menyisakan masalah emansipasi seperti itu. Memang, seperti LaNecca akui,
keadaan sekarang sudah lebih baik. Misalnya dibanding saat ibunya masih jadi
pekerja. Tapi, perkembangan perbaikannya sangat lambat. ”Kalau tren
perbaikannya seperti itu, baru 50 tahun lagi terjadi persamaan gaji,” kata
Erica Taylor.
Gerakan
persamaan gaji itu dilakukan serentak 14 April lalu di seluruh Amerika. Bahkan,
mereka menyebut-nyebut perbedaan gaji itu juga terjadi di…Gedung Putih, istana
Presiden Barack Obama. Tapi, juru bicara Gedung Putih mengatakan bahwa
perbedaan gaji itu kini sudah lebih kecil.
Rupanya
Obama pengin menjadi gong dalam perkara ini. Tanggal 14 April lalu dia angkat
bicara. ”Saya proklamasikan Selasa hari ini sebagai hari persamaan gaji antara
pekerja laki-laki dan perempuan,” katanya. ”Tiap hari Selasa adalah hari
persamaan gaji,” katanya seperti dikutip luas di berbagai media.
Dan ini
kata Erica Taylor, ”Saya juga berharap inilah tahun terakhir kami pakai baju
merah.” (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar