Pluralisme, Negara dan Agama
Oleh: Maman Imanulhaq
Pengertian Pluralisme
Salah satu prasarat terwujudnya masyarakat modern yang demokratis
adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan bangsa. Kemajemukan
ini diapresiasi sebagai sunnatullah. Masyarakat majemuk ini tentu saja memiliki
budaya dan aspirasi yang beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan yang
sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok sosial
dengan yang lainnya. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial dan politik.
Namun kadang-kadang perbedaan-perbedaan ini menimbulkan konflik di
antara mereka. Maka sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunculkan
konsep atau paham kemajemukan (pluralisme). Untuk mewujudkan dan mendukung
pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi. Meskipun hampir semua
masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial, namun
kenyataannya, permasalahan toleransi ini masih sering muncul dalam suatu
masyarakat.
Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama, dan sebagainya, Indonesia
termasuk salah satu negara yang paling majemuk di dunia. Hal ini disadari betul
oleh para founding fathers kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme
ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika.” Munculnya Sumpah Pemuda pada tahun
1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan pluralisme ini yang
sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dalam menghadapi penjajah
Belanda, yang kemudian dikenal sebagai cikal-bakal munculnya wawasan kebangsaan
Indonesia melahirkan sebuah masyarakat majemuk yang terbuka, multikultural dan
demokratis.
Ada berbagai opsi dalam masyarakat mengenai pluralisme keagamaan:
Pertama adalah sikap menerima kehadiran orang lain atas dasar konsep
hidup berdampingan secara damai. Yang diperlukan adalah sikap tidak saling
mengganggu. Kedua adalah mengembangkan kerjasama sosial-keagamaan melalui
berbagai kegiatan yang secara simbolik memperlihatkan dan fungsional mendorong
proses pengembangan kehidupan beragama yang rukun. Ketiga adalah mencari dan
mengembangkan dan merumuskan titik-titik temu agama-agama untuk menjawab problem,
tantangan dan keprihatinan umat manusia. Opsi pertama adalah sekedar
tahap awal dan kondisi minimal untuk membangun kebersamaan masyarakat. Opsi
ketiga merupakan landasan “teologis” bagi masing-masing umat untuk membangun
sebuah masyarakat dimana semua orang dapat hidup bersama dalam semangat
persamaan dan kesatuan umat manusia. Opsi kedua merupakan perwujudan nyata dari
kebersamaan itu.
Berbicara mengenai pemikiran keagamaan dan pluralisme di Indonesia
tidak bisa lepas dari dua tokoh besar yaitu Nurcholish Madjid dan Abdurrahman
Wahid, mereka berdua adalah para pemikir keagamaan yang Pluralisme itu sendiri
lahir dari kesadaran dan kesediaan menerima perbedaan untuk kemudian
mengolahnya sebagai unsur kreatif masyarakat kita sebagai sebuah kesatuan yang
mengandung dan merangkum kemajemukan.
Dalam persepektif masyarakat kita yang multietnik perlu disadari
bahwa masing-masing etnik tentu memiliki identitas budayanya sendiri. Dan
kehadiran berbagai agama yang menjadi anutan masyarakat kita telah memperkaya
kemajemukan bangsa Indonesia. Kehadiran agama-agama itu tentu saja masuk dalam
budaya bangsa Indonesia. Karena itu pluralisme dengan sendirinya identik
muradif atau sinonim dengan multikulturisme. Semboyan Bhineka Tunggal Ika
terpatri dalam semboyan negara kita, Garuda Pancasila menegaskan bahwa bangsa
kita menganut prinsip pluralisme. Dan pluralisme yang perlu kita kembangkan
adalah pluralisme yang terwujud dalam sikap pluralistik, yakni sikap yang
bersedia menerima perbedaan, bukan hanya sebagai realitas objektif, tetapi juga
sebagai potensi dinamik yang memberikan kemungkinan-kemungkinan dan harapan
akan kemajuan di masa depan. Sebuah pluralisme yang menyemangati sistem
pergaulan sosial yang memungkinkan setiap unsur kultural masyarakat saling
berinteraksi secara alamiah dalam proses yang saling memperkaya, dan
diharapkan.
Pandangan Pluralisme Menurut Tokoh
Pandangan Nurcholish Madjid tentang Pluralisme.
Nurcholish Madjid adalah orang yang dianggap sebagai salah satu
tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Nurcholish Madjid
dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman keyakinan di
Indonesia. Menurut Madjid, keyakinan adalah hak paling dasar setiap manusia dan
keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Madjid
mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam konsep Madjid
tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang
disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Madjid meyakini
bahwa manusia sebagai individu yang sempurna, ketika menghadap Tuhan di
kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan
kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis. Dalam pemahaman keagamaan
Islam Madjid menegaskan bahwa pluralisme memiliki dasar keagamaan yang kuat
dalam Al quran, seperti: “untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah lah kembali Ayat tersebut, menurut Madjid dimulai dengan pernyataan fakta
bahwa masyarakat dalam dirinya sendiri terbagi ke dalam berbagai macam
komunitas, yang masing-masing memiliki orientasi kehidupannya sendiri ke arah
petunjuk. Disamping itu ada ayat Al quran yang memberi pengakuan terhadab
keragaman budaya, bahsa dan agama sebagai wahan untuk saling berlomba dalam
mengukir kebajikan dan bekerja sama dalam kebenaran: “Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara manusia di sisi Allah
ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Qs. Al-Hujurat 49/13).
Oleh karena itu, kata Madjid, yang diharapkan dari setiap
masyarakat manusia adalah menerima kemajemukan itu sebagaimana adanya, kemudian
menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam rangka kemajemukan itu sendiri.
Misalnya, yang secara harfiah dijelaskan dalam ayat Al quran di muka, sikap
yang sehat itu adalah menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing untuk
secara maksimal saling mendorong dalam usaha mewujudkan berbagai kebaikan dalam
masyarakat.
Pandangan Abdurrahman Wahid tentang Pluralisme
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dikenal karena sering membela kaum
minoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal
yang berani. Reputasi ini sangat menonjol pada era orde baru. Gus Dur bersikap
tegas menjadi pembela pluralisme dalam beragama. Dalam pemikiran Gus Dur, ia
tidakmenginginkan agama menjadi sekedar simbol, jargon, dan menawarkan
janji-janji yang serba akhirat sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan
tidak tersentuh. Sikap demikian memang sangat mengkhawatirkan, terutama bagi
mereka yang mengedepankan simbol-simbol dan ritus-ritus formal saja.
Gus Dur juga dikenal sebagai bapak pluralisme dan demokrasi di
Indonesia. Dasar semua pemikirannya tidak lain adalah konsep humanisme,
memanusiakan manusia. Humanisme ini menurut Listyono adalah pengahargaan
tertinggi terhadap nilai nilaikemanusiaan yang melekat pada diri manusia.
Penghargaan tersebut tercermin dalam tingkah laku manusia yang menghargai
kehidupan orang lain yang memiliki kebebasan berpendapat, berpikir, berkumpul,
dan berkeyakinan atas apa yang diyakini terbaik bagi hidupnya.
Bagi Gus Dur, nilai terpenting dari sebuah agama adalah pemaknaan
terhadap bagaiman manusia menempatkan dirinya di dunia untuk bisa mengelola dan
mengaturnya bagi tujuan kebaikan hidupnya tersebut. Gus Dur berkeyakinan bahwa
justru humanisme Islam lah, termasuk juga ajaran-ajaran Islam tentang toleransi
dan keharmonisan sosila, yang mendorong seorang Muslim tidak seharusnya takut
kepada suasana plural yang ada di masyarakat modern, sebaliknya harus
meresponya dengan positif. Berdasarkan pemahaman humanisme tersebut, menjadi
wajar bila Gus Dur sangat menolak segala bentuk kekerasan, apalagi di dalamnya
berdimensi agama. Masih ingat kasus konflik berdarah di Ambon serta Situbondo,
yang ditolaknya adalah pelibatan agama untuk melakukan kekerasan dalam konflik
tersebut. Karenanya, ia pun kemudian tidak setuju dengan pendirian
laskar-laskar agama untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut. Secara tegas,
ia mengatakan bahwa perjuangan hak asasi manusia, demokrasi, dan kedaulatan
hukum adalah perjuangan universal dan bukan hanya menjadi hak atau claim
satu-satunya sebuah agama. Gus Dur mengakui bahwasanya segala perjuangan dan
pemikirannya yang kemudian dibaca orang sebagai bentuk perjuangan atas
penyemarakan pluralisme dan demokrasi tidak lain adalah perjuangan nasionalisme
Indonesia itu sendiri. Karena bagi Gus Dur ruh dari nasionalisme adalah
bagaimana kita sepakat bahwa segala bentuk penjajahan dimuka bumi, siapa pun
penjajahnyaharus dilawan, siapapun yang terjajah harus kita bela. Oleh karena
itulah, kaum minoritas dan yang tertindas selalu dibela oleh Gus Dur.
Sedangkan fungsi Islam bagi kehidupan manusia menurut Gus Dur,
seperti dalam Al quran, “Nabi Muhammad diutus tidak lain untuk membawakan
amanat persaudaraan dalam kehidupan” (wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin)
dengan kata “rahmah” diambil pengertian “rahim” ibu, dengan demikian manusia
semuanya bersaudara. Kata “alamin” disini berarti manusia, bukannya berarti
semua makhluk yang ada. Jadi tugas kenabian yang utama adalah membawakan
persaudaraan yang diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya
tindak kekerasan dari kehidupan. Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau
melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal
yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu,
tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog
antar agama. Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebetuhan berlaku dalam hal
ini. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antar
agama juga menjadi kewajiban. Kitab suci Al quran juga mengatakan:
“Sesungguhnya telah kuciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan
Kujadikan kalian saling mengenal (Qs. Al Hujurat 49/13). Menunjuk kepada
perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar
berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah
hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalarang adalah perpecahan dan
keterpisahan. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kerjasama antara berbagai
sistem keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam menangani kehidupan masyarakat,
karena masing-masing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan dan
kemakmuran dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda-beda. Disinilah
nantinnya terbentuk persamaan antar agama, bukannya dalam ajaran atau akidah
yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi.
Batasan antara peranan negara dan peranan masyarakat dalam
menyelenggarakan kehidupan beragama itu harus jelas. Negara hanya bersifat
membantu, justru masyarakat yang harus berperan menentukan hidup matinya agama
tersebut di negeri ini. Di sinilah terletak firman Tuhan dalam Al quran: “Tak
ada paksaan dalam beragama, (karena) benar-benar telah jelas mana yang benar
dan mana yang palsu” (Qs. Al Baqarah 2/256). Jelas dalam ayat ini tidak ada
peranan negara sama sekali melainkan yang ada hanyalah peranan masyarakat yang
menentukan mana yang benar dan mana yang palsu. Jika semua agama itu besikap
saling menghormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini.
Pluralisme dianjurkan sebagai jalan terbaik untuk melayani, atau
sebuah proses yang mendorong lahirnya demokrasi paling ideal dalam masyarakat
yang semakin modern dan kompleks, agar setiap individu atau kelompok dapat
berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan. Adapun prinsip pluralisme
adalah perlindungan terhadap hak individu dan kelompok melalui peraturan dan
perundang-undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check and balances.
Dalam arti luas, konsep ini menjelaskan bahwa tak ada satu kelompok pun yang
menduduki keputusan selama-lamanya. Kekuasaan itu selalu berganti;
sekurang-kurangnya pergantian itu dilakukan melalui pengaruh individu atau
kelompok terhadap kelompok yang berkuasa dalam proses pengambilan keputusan.
Pluralisme merupakan pandangan posmodern yang mengatakan bahwa
semua kebudayaan manusia harus dihargai dan diperhatikan. Tak ada satu
kebudayaan (atau masyarakat) pun yang superior terhadap kebudayaan atau
masyarakat yang lain; bahwa setiap kebudayaan mempunyai kontribusi tertentu
terhadap proses memanusiakan orang lain. Pandangan ini wajar, karena pada
kenyataannya betapa sering kita menemukan ada kebudayaan atau seperangkat
kebudayaan dari komunitas atau masyarakat tertentu yang tidak kita ketahui
secara pasti. Oleh karena itu, pluralisme menglaim bahwa dalam masyarakat
dimana kita hidup bersama, tidak ada kebudayaan yang tidak setara. Karenanya,
setiap kebudayaan harus diakui, dihargai secara sosial oleh penduduk yang
beragam. Tesis utama pluralisme sering digunakan dalam ilmu politik secara
konservatif, bahwa kekuasaan sosial ekonomi harus disebarkan secara berimbang
di antara semua kelompok dalam masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat menarik kesimpulan
bahwa secara teoritis, pluralisme (budaya) merupakan sebuah konsep yang
menerangkan ideal (ideologi) kesetaraan kekuasaan dalam suatu masyarakat
multikultur, di mana kekuasaan ”terbagi secara merata” di antara
kelompok-kelompok etnik yang bervariasi sehingga mendorong pengaruh timbal
balik di antara mereka. Dan dalam masyarakat multikultur tersebut,
kelompok-kelompok etnik itu dapat menikmati hak-hak mereka yang sama dan
seimbang, dapat memelihara dan melindungi diri mereka sendiri karena mereka
menjalankan tradisi kebudayaannya (Suzuki, 1984).
Rumusan istilah yang dapat ditarik dari rumusan-rumusan
makna pluralisme di atas adalah:
pertama, pluralisme (budaya) menggambarkan kenyataan bahwa dalam
masyarakat, ada kelompok-kelompok etnik yang tidak terakulturasi ke dalam
identitas budaya etnik. Pada umumnya budaya kelompok seperti ini menampilkan
perilaku budaya yang berbeda, misalnya berbicara dengan bahasa yang lain dari
bahasa etniknya, memeluk agama yang berbeda dengan mayoritas agama yang dipeluk
etniknya, dan lain-lain, yang berarti mereka menampilkan sistem nilai yang
berbeda dari nilai etniknya.
Kedua, bahwa terbentuk pula pluralisme struktural dalam
masyarakat, yang menggambarkan perbedaan budaya di antara, kelompok-kelompok
etnik, tetapi perbedaan tersebut hanya terletak pada wilayah struktur sosial
semata-mata. Berarti, meskipun kelompok-kelompok etnik itu mempunyai beberapa
unsur budaya yang sama dengan budaya dominan, mereka selalu tampil dengan
budaya tertentu (subkultur) yang terpisah dari kelompok dominan.
Menurut Suzuki, bagaimanapun juga, dalam pluralisme terkandung
konsep bahwa setiap orang tetap memiliki etnik tertentu dan tetap mempraktikkan
etnisitas sebagai suatu yang sentral dalam menentukan relasi mereka dengan
orang lain dari kebudayaan dominan. Akhirnya, pluralisme sebagai sebuah
ideologi berasumsi bahwa semua ”isme” (rasisme, reksisme, kelasisme) merepkan
pendekatan bagi kehidupan yang harmonis satu sama lain. Bagaimanapun juga,
konsep pluralisme budaya memang sangat bertentangan dengan fokus
etnisitas yang tunggal. Sebagaimana dikatakan oleh Newman, pluralisme
merupakan gerakan yang berdampak terhadap perubahan struktur sosial
masyarakat, dimulai dari perubahan struktur sosial individu dan kelompok
(Suzuki 1984; Soderquist 1995).
John Gray dalam Singelis (2003) mengatakan bahwa pada dasarnya
pluralisme mendorong perubahan cara berpikir dan bersifat universal,
untuk mencegah klaim pandangan bahwa ada kebudayaan yang
paling benar. Menurut Gray, semua kebudayaan itu penting sehingga tidak ada satu
kebudayaan pun yang mengklaim bahwa apa yang dikatakan oleh kebudayaan
itu menjadi rasionalisasi atas semua kebudayaan lain. Inilah argumentasi paling
penting dari pluralisme. Jadi, seorang pluralis-dengan kata lain –harus dan
selalu akan mengatakan bahwa meskipun setiap kebudayaan memiliki norma-norma
universal, dan norma-norma tersebut dapat diberlakukan kapan dan dimana saja,
harus diingat bahwa norma-norma universal itu tidak lebih baik daripada
validitas kearifan budaya sendiri.
Peran Negara Dalam Mewujudkan Pluralisme
Negara sebagai pelaku politik yang secara jelas memiliki potensial
berpengaruh luas secara kausal dalam masyarakat (Anderson, 1987). Negara
sebagai alat masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan antar
manusia dan mengatur gejalagelala kekuasaan dalam masyarakat. (Budiardjo,
1978). Negara dengan kedaulatannya menjadi alat yang kuat memajukan manusia,
sehingga merupakan satu institusi penting masyarakat untuk membantu manusia
meraih tujuan hidup yang lebih baik (Singh, 1986).
Kebebasan beragama di negara Indonesia, mengacu pada UUD 1945.
Kewajiban negara melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan mengandung pengertian, bahwa negara tidak mempunyai
wewenang mencampuri urusan agama dan kepercayaan semua warga negaranya.
Sebaliknya, negara harus memberikan perlindungan terhadap semua warga
negaranya untuk melaksanakan ibadah sebagaimana keyakinannya.
Jika kita merujuk pada pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
“Setiap orang bebes memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”;
dan Pasal 28E ayat (2) menyatakan. “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Kebebasan beragama tersebut ditegaskan pula dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
yang sudah sudah berlaku sejak tahun 1945, yang bunyinya, “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Undang-undang tersebut pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai
jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan
secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak
kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk
mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
Meskipun begitu di Indonesia sendiri masih sering terjadi
kekerasan yang mengatas namakan agama atau golongan, seperti pelanggaran hak
asasi yang melibatkan dua agama yang berbeda yang terjadi di Ambon pada tahun
1999 yang memakan banyak korban jiwa. Pelanggaran tersebut sungguh bertentangan
dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena jika kita jabarkan arti dari sila
pertama kita seharusnya saling menghormati antar umat beragama agar tercipta
perdamaian. Dalam sila pertama dapat kita pahami keberadaan Tuhan dalam setiap
agama dan di Indonesia terdapat berbagai agama, sehingga hal tersebut jangan
sampai menimbulkan perpecahan di antara kita. Kasus penyerangan terhadap
kelompok Ahmadiyah di Cikeusik yang terjadi pada bulan februari 2011. Yang mana
juga memakan korban, 3 anggota dari Ahmadiyah meninggal dunia.
Melihat semua kejadian tersebut, Pengadilan sepertinya tak lagi
dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk menghalangi merebaknya
kekerasan yang mengatasnamakan agama dan mengembangkan kehidupan pluralisme di
Indonesia. Apalagi untuk melindungi hak-hak fundamental rakyat Indonesia,
khususnya hak untuk beribadah berdasarkan agama dan keyakinan, hak yang tidak
bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Yang mana juga dijamin dalam UUD 1945,
yakni Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”
Melihat fenomena yang dicontohkan beberapa kasus yang telah
disebutkan, jaminan konstitusi tidak lagi berdaya terhadap hak-hak tersebut
hingga belum terimplementasi dengan baik. Jika undang-undang ini
terimplementasi dengan baik, mungkin tidak akan ada kelompok yang diklaim
sebagai aliran sesat, dan jikapun ada, setidaknya mereka yang dinilai sesat
masih bebas menikmati haknya untuk tetap hidup dan tumbuh di negeri ini. Bukan
sebaliknya, perlakuan terhadap mereka yang dinilai sesat justru mencerminkan
penghakiman terhadap keyakinan yang bersumber dari hati nurani mereka.
Hubungan Pluralisme Dengan Negara Dan Agama
Pluralisme Agama di Indonesia
Kebebasan beragama di negara Indonesia,mengacu pada UUD
1945. Kewajiban negara melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan mengandung pengertian, bahwa negara tidak mempunyai
wewenang mencampuri urusan agama dan kepercayaan semua warga negaranya. Sebaliknya,
negara harus memberikan perlindungan terhadap semua warga negaranya untuk
melaksanakan ibadah sebagaimana keyakinannya Jika kita merujuk pada pasal 28E
ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali dan Pasal 28E ayat (2) menyatakan.
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya ”. Kebebasan beragama tersebut
ditegaskan pula dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang sudah sudah berlaku sejak
tahun 1945, yang bunyinya, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
Undang-undang tersebut pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan
konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan secara
bebas, undang-undang inI mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan
beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk
mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.Undang-undang
tersebut pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk
kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkansecara bebas, undang-undang
ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak
untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuK mengekspresikan fikiran serta
sikap sesuai dengan hati nurani. untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Meskipun begitu di Indonesia sendiri masih sering terjadi
kekerasan yang mengatas namakan agama atau golongan, seperti pelanggaran
hak asasi manusia yang melibatkan dua agama yang berbeda yang terjadi di Ambon
pada tahun 1999 yang memakan banyak korban jiwa.Pelanggaran tersebut sungguh
bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena jika kita jabarkan arti
dari sila pertama kita seharusnya saling menghormati antar umat beragama
agar tercipta perdamaian. Dalam sila pertama dapat kita pahami keberadaan Tuhan
dalam setiap agama dan di Indonesia terdapat berbagai agama, sehingga hal
tersebut jangan sampai menimbulkan perpecahan di antara kita.
Kasus penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik yang
terjadi pada bulan februari 2011. Yang mana juga memakan korban, 3 anggota dari
Ahmadiya meninggal dunia.Pengusiran kelompok Syiah di Sampang, Madura.
Penyerangan itu terjadi pada 6 agustus 2012. Pada penyerangan itu satu warga
Syiah tewas, 10 orang luka kritis, puluhan orang luka-luka. Selama delapan
bulan mereka mengungsi di gedung olahraga Sampang, sebelum akhirnya pada 20
juni 2013 dipindah oleh pemerintah kabupaten Sampang ke Sidoarjo.Melihat
semuakejadian tersebut, Pengadilan sepertinya tak lagi dapat digunakan sebagai
salah satu sarana untuk menghalangi merebaknya kekerasan yang mengatasnamakan
agama dan mengembangkan kehidupan pluralisme di Indonesia. Apalagi untuk
melindungi hak hak fundamental rakyat Indonesia, khususnya hak untuk beribadah
berdasarkan agama dan keyakinan, hak yang tidak bisa dikurangi dal m keadaan
apapun. Yang mana juga dijamin dalam UUD 1945, yakni Pasal 28 I ayat (1) UUD
1945, yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.
Berdasarkan pernyataan Pembukaan 1945 alinea keempat
tersebut diatas menunjukkan bahwa peranan negara cukup kuat, dapat terlihat
dari:Pertama, pernyataan ”… melindungi segenap bangsa Indonesia…” mengandung
arti bahwa negara menjamin terpeliharanya dengan jelas hakhak warga atau
penduduk dalam segala aspek kehidupan, seperti terjaminnya keselamatan jiwa dan
raga, kepemilikan, kebebasan berakidah, berorganisasi, berpendapat dan lainlain
sebagainya. Kedua,pernyataan “… seluruh tumpah darah …”, berarti negara sangat
berperan dalam mempertahankan tanah air yang menjadi tumpah darah bangsa
Indonesia, seluruh wilayah menyatu dengan bangsa adalah tanggung jawab negara
untuk mempertahankannya, seperti keutuhan wilayah negara dari gangguan,
ancaman dan tantangan dari luar, negara berperan menangkal upaya negara asing
untuk mengintervesi sejengkalpun tanah Indonesia.
Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam
Negara Orde Baru (2003) melakukan analisis yang tajam tentang hubungan “agama
dan negara”. Walaupun hubungan agama dan kekuasaan berbeda dari satu agama ke
agama yang lain baik dalam praktek maupun dalam doktrinnya, namun pengalaman
menunjukkan bahwa agama dan kekuasaan negara sulit dilepaskan. “Agama menjadi
inti kekuasaan dan kekuasaan menjadi inti agama” (hlm. 532). Pandangan ini
perlu kita periksa dalam realitas komunitas agama masing-masing.
Nurcholish Madjid dalam buku Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah
Telaah Teoritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (1992)
menjelaskan bahwa para pemimpin agama dalam Islam menurut hakikatnya tidak
memiliki otoritas atas siapa pun.
Mereka hanya memiliki wewenang keilmuan agama, karena itu suara
mereka dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan kualitasnya tergantung pada
tingkat pengetahuannya. Singkatnya, dalam Islam seorang ulama memiliki
independensi yang utuh. Namun pandangan tersebut tentu saja berbeda dari
komunitas Islam yang satu dengan komunitas Islam yang lain Dalam bukunya
Kebenaran yang HIlang (aslinya: al-Haqiqah al-Ghaybah) dengan sub judul Sisi
Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (2007) Farag
Fouda (Faraj Faudah), seorang pemikir Mesir berhaluan sekuler, mengambil posisi
melawan konsep ideologis para ulama Islam Mesir yang membela politik Islam.
Pokok yang diperdebatkan adalah hubungan agama dan politik,
penerapan syariat Islam, dan institusi khalifah. Fouda tidak menentang argumen
kubu lawannya dengan cara membongkar sisi kelam praktek politik dan kekuasaan
dalam sejarah Islam sendiri. Ia, misalnya, menunjuk betapa sejarah politik
sesudah Nabi sarat dengan jelek yang yang memalukan, bahkan tidak
berperikemanusiaan. Sebagai salah satu contoh ia merujuk pada pembunuhan Usman
bin Affan karena pertikaian politik antarsahabat Nabi. Jenazahnya ditolak
dimakamkan di pekuburan Muslim, itu pun terjadi tiga hari sesudah kematiannya
Bernard Lewis dalam Bahasa Politik Islam (1994) menulis bahwa “Islam adalah
agama yang sejak awal pertumbuhannya mengalami sukses luar biasa di bidang
politik. Sejak semula Islam adalah agama para penguasa, atau agama yang
mempunyai kekuasaan” (terkutip dalam Dhakidae, hlm. 533). Pengalaman di negeri
kita sendiri bahwa penguasa selalu membutuhkan dukungan politik dari para ulama
dan kaum santri. Proses pemakaman Usman diselingi hujatan dan tindakan
tak terpuji seperti meludahi jenazah, bahkan salah satu persendian mayat Usman
dipatahkan. Di mata Fouda, fakta seperti itu menunjukkan hilangnya semangat
ijtihad dalam berpolitik. Tentang kubu lawannya, ia menulis, “Mereka tetap
berteriak atas nama Islam dengan sesuatu yang merendahkan Islam. Akibatnya
Islam dianggap sebagai agama kaum fanatis, padahal ia adalah agama kaum lapang
dada… Mereka memantulkan patologi-patologi kejiwaan yang mereka idap sendiri
kepada Islam, sesuatu yang kita tolak atas nama agama pula dan selaku umat
Islam” (hlm. 36 – 37).
Pesan kuat dari pemikiran Fouda, yaitu apabila praktek politik
merujuk kepada agama dan sejarahnya, baiklah keberpihakan politik dengan basis
agama itu tidak menyembunyikan sisi kelam dari agama dalam politik. Agama wajib
menyuntikkan kebenaran historis dan ideal bagi cara berpolitik. Karena moral
dan spiritualitas agama itu bagaikan roh yang menghidupkan politik yang sejati.
Dalam sejarah Gereja Katolik, tercatat bahwa Konsili Lateran V (1215)
menetapkan sistem pemerintahan teokratis. Dengan itu Gereja menggenggam dua
kekuasaan sekaligus, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Implikasinya,
agama Katolik dipaksakan menjadi agama negara, dan seorang pemimpin negara,
seperti raja dan kaisar, harus mendapatkan restu dari Paus di Roma. Kekuasaan
kepausan sendiri dipandang berasal dari delegasi ilahi, sementara pemerintah
monarki dilegitimasi dengan hukum ilahi. Dengan teokrasi, gereja mengontrol
semua bidang kehidupan. Paus pun tak ragu-ragu menjatuhkan hukuman bagi siapa
saja, termasuk bagi seorang ilmuwan seperti Galileo Galilei.
Ketika dalam abad ke-18 pecah Revolusi Perancis, secara tak
terhindarkan gereja ikut terseret ke medan pertikaian politik. Humanisme dan
kebebasan yang sudah berkecambah sejak masa Renaissance (abad ke-15) menjadi
nilai-nilai hakiki di era revolusi dalam wujud demokrasi. Akibatnya, Gereja
mesti memihak gerakan restorasi monarki yang dianggap lebih melindungi hukum
ilahi. Seruan Gereja untuk kembali kepada Tuhan, bukan manusia, dengan
sendirinya menyiratkan penolakan terhadap demokrasi. Sejarah Prancis mencatat
bahwa suasana keruh hubungan Gereja dan negara, agama dan politik, berlangsung
tak kurang dari dua abad lamanya.
Untunglah Gereja Katolik mampu belajar dari pengalamannya. Bahwa
agar manusia dihormati martabat luhurnya, dan agar Gereja tetap komit dengan
misi pewartaan Injil, maka Gereja harus perlu mengakui otonomi negara dalam
berpolitik. Konstitusi Pastoral Gaudium et spes [Konsili Vatikan II] 1965
akhirnya secara defenitif meninggalkan sistem teokrasi dan mendudukkan diri
sebagai mitra pemerintah dalam melayani kesejahteraan umum. “Pro bono publico”
(demi kebaikan umum) menjadi jiwa pengabdian yang mempertemukan Gereja dan negara,
agama dan politik, karena hakikat moral dan spiritualnya niscaya terkoyak.
Sebaliknya, janganlah negara memanfaatkan agama dan simbol-simbolnya sebagai
instrumen politik, karena hal itu akan mendangkalkan praktek beragama menjadi
formalitas yang superfisial.
Gerakan Reformasi Gereja-gereja Protestan yang dilakukan oleh
Martin Luther dan John Calvin dengan benar mengkritik “kolusi suci” Gereja
Katolik dan kekuasaan politik di abad pertengahan sejarah Eropa. Dari kalangan
Gereja Katolik sendiri reformasi spiritual dilakukan oleh Fransiscus dari Asisi
(1182-1226) sebagai protes terhadap kolusi tersebut dengan mengatakan bahwa
Gereja harus kembali kepada tugas spiritualnya. William dari Ockham
(1285-1346), seorang imam Fransiskan, juga melancarkan kritik dengan argumen
bahwa negara memiliki otonomi mengurusi politik, dan tidak membutuhkian
otoritas apa pun dari Paus di Roma. Artinya, sebelum Reformasi Protestantisme,
sudah dilakukan upaya-upaya pembaharuan internal Gereja dalam kaitan dengan
kekuasaan politik. Sejarah Gereja-Gereja Kristen di Indonesia mencatat bahwa
masuk dan berkembangnya Gereja di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
“hubungan baik” dengan pemerintah kolonial. Penguasa VOC pernah melarang para
imam Katolik bekerja di Sulawesi Utara, sebaliknya memberikan keluasan kepada
misi Protestan yang mewartakan Injil. Hal yang sama berlaku di Maluku.
Pengalaman hubungan Gereja dan kekuasaan Orde Baru juga menarik untuk
direfleksikan.
Teori tentang good governance mengajarkan satu hal yang penting.
Penguatan demokrasi terjadi seiring dengan pergeseran dari “government” ke
“governance”. “Govern-ment” dan “Governance” sama-sama terkait dengan cara
penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi administrasi, dst dalam rangka
kepentingan umum suatu bangsa atau negara. Namun “government” berarti sistem di
mana unsur pemerintah dominan dalam menyelenggarakan kekuasaan politik.
Dalam konteks itu, agama-agama merasa harus mendekatkan diri kepada kekuasaan
untuk turut berpartisipasi demi kepentingannya. Pada “governance”
penyelenggaraan kehidupan bersama tergantung pada tiga pilar, yaitu negara
(state), masyarakat (civil society), dan dunia usaha (market). Negara (state,
government) terdiri dari badan eksekutif, yudikatif, legislatif, militer,
polisi, dan mereka yang bertugas memberikan public service. Negara berfungsi
menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil; membuat peraturan
yang efektif dan berkeadilan; menyediakan public service yang efektif dan accountable;
menegakkan HAM; melindungi lingkungan hidup; mengurus standar kesehatan;
pendidikan dan standar keselamatan publik.
Masyarakat meliputi organisasi masyarakat, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), organisasi profesi, komunitas-komunitas agama, media massa,
dsb. Masyarakat berperan mengontrol negara dan menjaga agar hak-hak masyarakat
terlindungi; mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana cheks and balances
pemerintah; mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;
mengembangkan SDM; sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat. Dilihat dari
teori tersebut, yaitu dalam perspektif “good governance” agama mengambil posisi
dalam civil society dan antara lain menjalankan fungsi kontrol terhadap
pemerintah. Peranan agama ini akan semakin seimbang, dalam arti tidak menempel
dan berpengaruh buruk terhadap kepentingan umum, apabila demokrasi semakin
ditumbuhkan sehingga partisipasi, rules of law, transparansi dan akuntabilitas
(=prinsip-prinsip good governance) semakin dipraktekkan. Dalam perspektif itu,
dibutuhkan gerakan untuk memberdayakan good governance dalam institusi negara
dan masyarakat.
Akhirnya, kemajemukan masyarakat Indonesia menuntun negara
Indonesia kembali pada dasar negara, Pancasila, seperti yang diletakkan oleh
founding fathers. Pancasila perlu dikembalikan sebagai dasar negara yang
nilai-nilainya menjadi rujukan semua produk hukum di Indonesia. Hanya dalam
bingkai Pancasila kita memiliki keseimbangan antara ruang kebebasan publik bagi
setiap orang dan individu warga negara dan “privacy” masing-masing komunitas
agama untuk mengurusi dirinya.
PENUTUP
Akhirnya, kemajemukan masyarakat Indonesia menuntun negara
Indonesia kembali pada dasar negara, Pancasila, seperti yang diletakkan oleh
founding fathers. Pancasila perlu dikembalikan sebagai dasar negara yang
nilai-nilainya menjadi rujukan semua produk hukum di Indonesia. Hanya dalam
bingkai Pancasila kita memiliki keseimbangan antara ruang kebebasan publik bagi
setiap orang dan individu warga negara dan “privacy” masing-masing komunitas
agama untuk mengurusi dirinya.
Kita membutuhkan tiga hal.
(a) Refleksi dan kajian mengenai pengalaman hubungan komunitas
agama dengan kekuasaan negara (politik) untuk menentukan seberapa jauh kita
sendiri menjadi penghambat pluralisme di negeri ini. (b) Good Governance dapat
merupakan bingkai yang mendudukkan agama dalam posisi yang sehat terhadap
negara (politik). (c) Pancasila sebagai dasar negara Indonesia perlu
dikembalikan sebagai bingkai ideologi yang memberikan ruang bagi agama-agama untuk
bereksistensi menurut hakikatnya; Pancasila juga perlu dikembalikan sebagai
rujukan peraturan-peraturan hukum negara. []
KOMPASIANA, 28 May 2015
Maman Imanulhaq ; Anggota DPR RI Periode
2014-2019, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka, penulis
buku "Fatwa dan Canda Gus Dur" dan Antologi Puisi "Kupilih
Sepi"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar