"Sang Kiai" Menentang Ordonasi Guru
Perubahan politik
pada tahun 1900 mempengaruhi arah kebijakan pemerintah Hindia Belanda, terutama
masalah agama. Kebijakan yang semula netral terhadap agama berubah hingga
mendeskritkan salah satu agama. Adanya perlawanan dari umat Islam yang dipimpin
haji atau guru agama pada abad XIX hingga XX menjadi alasan pemerintah Hindia
Belanda memberlakukan kebijakan Ordonansi Guru pada tahun 1905.
Kebijakan ini ini
merupakan pengawasan terhadap pendidikan Islam terutama mengenai
administrasinya revivalisme (kebangkitan) Islam, yang kita ketahui sebelumnya
Islam pernah berjaya sekitar abad XVI dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara seperti Aceh, Demak, Mataram, Cirebon, Banten dan
sebagainya. Penerapan Ordonansi Guru ini oleh pemerintah Hindia Belanda
diharapkan dapat menekan timbulnya revivalis.
Hal tersebut memiliki
dampak tersendiri bagi pendidikan Islam terutama pesantren yang kelembagaannya
saat itu non-administratif dan pada abad XX perkembangannya meluas di Pulau
Jawa terutama di wilayah Jawa Timur. Kebebasan guru agama dalam siar
agama menjadi terhambat sedangkan bagi pesantren ordonansi ini tidak mudah
dijalankan karena pesantren memiliki kelemahan dalam hal administrasi.
Di Pesantren
Tebuireng Jombang misalnya, pengasuhnya yakni K.H Hasyim Asy’ari sebelum
melakukan pengajaran harus ijin terlebih dahulu terhadap bupati Surabaya, hal
tersebut tentunya mempersulit siar dari seorang guru agama.
Memang, di sisi lain,
hal ini juga berdampak positif terhadap perbaikan administrasi pondok pesantren
di Jawa Timur yang dipelopori oleh Tebuireng dengan dibentuknya sistem madrasah
atau klasikal. Namun tetap saja menyulitkan para guru yang ada di pesantren
pada khususnya.
Pada akhirnya muncul
penentangan terhadap Ordonansi Guru oleh organisasi NU dan sejumlah pesantren
yang berbasis di Jawa Timur. Berlakunya Ordonansi Guru menimbulkan reaksi agar
peraturan ini dihapuskan. Penentangan ini muncul dari organisasi Islam
seperti SI dan Muhammadiyah.
Usaha penentangan
kebijakan ini tidak sia-sia. Perkembangan berikutnya peraturan itu akhirnya
dicabut, karena dianggap tidak relevan lagi, dan diganti dengan ordonansi tahun
1925, yang isinya hanya mewajibkan guru-guru agama untuk memberitahu bukan
meminta izin.
Pun dengan Pendidikan
Islam di Jawa pada abad XIX hingga XX yakni pesantren, yang kemudian mengalami
perkembangan yang pesat, khususnya di wilayah Jawa Timur. Meski berada diatas
tekanan dan pengawasan pemerintah Hindia Belanda, banyak pesantren besar yang
lahir pada abad XX seperti pesantren Tebuireng, Pesantren Tambak Beras, dan
Pesantren Lirboyo dan masih banyak lagi. []
(Ajie Najmuddin dari
berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar