Rabu, 17 Juni 2015

Kang Komar: The Tyranny of Habit



The Tyranny of Habit
Oleh: Komaruddin Hidayat

Disadari atau tidak, dalam kehidupan ini banyak sekali ungkapan dan perilaku yang selalu diulang-ulang yang pada urutannya menimbulkan pola permanen berupa kebiasaan dan selanjutnya kebiasaan akan membentuk karakter seseorang.

Contoh yang paling mudah diamati tentu saja dalam hal berbahasa. Tindakan yang berakar pada kebiasaan tak perlu lagi dipikirkan dan dipersiapkan matang- matang karena akan berlangsung hampir secara otomatis layaknya sebuah mesin. Kita semua pasti punya pengalaman bagaimana sebuah proses kebiasaan terbentuk sekalipun dijalani tanpa disadari atau dipersiapkan.

Misalnya saja pengalaman mengendarai mobil. Pada awalnya terasa begitu sulit, tegang, dan takut menabrak atau ditabrak. Tapi lama-lama setelah dicoba dan dijalani berulang kali akan terbiasa dan kita bisa mengendarai mobil dengan rileks bahkan menyenangkan. Tangan, kaki, dan perasaan seakan bekerja secara otomatis.

Salah satu aspek dalam pendidikan sesungguhnya adalah bagaimana membantu anak didik agar membangun kebiasaan yang benar dan baik agar pada urutannya terbentuk karakter dan pribadi yang baik serta terbiasa berpikir benar dan logis. Dalam pendidikan olahraga apa yang disebut training dan coaching, intinya adalah menggali bakat dan membentuk kebiasaan yang benar.

Misalnya seni dan cara menggiring bola agar cepat dan sulit direbut lawan. Dalam olahraga golf, sekalipun sudah menjadi pemain kelas dunia tetap diharuskan driving, yaitu latihan memukul bola hampir setiap hari berkisar seribu bola. Gunanya untuk menjaga ritme, gaya dan feeling agar kebiasaan yang sudah terbentuk tidak berubah atau rusak ketika bermain sungguhan.

Lalu apa hubungannya dengan tirani kebiasaan sebagaimana tertulis dalam judul di atas? Masalah serius akan muncul ketika seseorang telah terbelenggu dengan kebiasaan buruk, baik cara berpikir, bertutur kata, berperilaku, termasuk dalam hal kebiasaan makan dan minum. Kebiasaan yang telah terbentuk lama dan kokoh satu sisi membuat seseorang nyaman dan mudah menjalani hidup, tetapi sisi yang lain kebiasaan bisa menjelma menjadi penjara dan pembunuh.

Contoh paling mudah adalah kebiasaan makan dan minum yang tidak sehat, terlebih lagi yang mengandung alkohol tinggi dan zat adiktif, maka penggunanya tak ubahnya memelihara dan membesarkan musuh yang satu saat akan menyiksa dan membunuh dirinya. Kita dengan mudah melihat contoh tirani kebiasaan yang ujungnya telah menghancurkan karier hidup seseorang.

Mereka yang biasa mengambil hak orang lain meskipun kelihatannya sepele dan kecil, suatu saat jika kesempatan muncul akan berani melakukan korupsi dalam jumlah yang besar. Mereka yang terbiasa berbicara kotor dan merendahkan orang lain, jangan kaget ketika menjadi pejabat publik bicaranya sering kali tidak sopan dan menyakiti hati anak buah.

Kebiasaan bisa bermetamorfosis menjadi ideologi ketika berbaur dengan tradisi dan paham keagamaan serta bertemu dengan kalkulasi politik dan ekonomi. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini terdapat puluhan, bahkan ratusan, kebiasaan berupa ritual-ritual adat dan keagamaan yang menurut pandangan orang modern tak lagi cocok.

Misalnya, selama bulan Ramadan di kampung saya dulu setelah jam satu malam terdengar beduk masjid ditabuh keras-keras sampai jam tiga pagi. Maksudnya untuk membangunkan ibu-ibu agar bangun untuk mempersiapkan makan sahur untuk keluarga. Kebiasaan ini rasanya tak lagi cocok dipertahankan. Biarlah mereka istirahat tidur. Bagi keluarga yang memiliki jam bisa disetel weakernya untuk membangunkan kapan mereka mau.

Soal makan sahur, dengan adanya teknologi kulkas dan microwave, hanya dalam waktu setengah jam semuanya bisa terhidang dalam kondisi segar dan panas. Jadi, teknologi bisa mengganti kebiasaan memukul beduk di tengah malam untuk membangunkan orang serta menjaga kondisi makanan tetap segar. Masih berkaitan dengan kebiasaan yang perlu ditinjau ulang adalah kebiasaan membaca Alquran dengan menggunakan pengeras suara di masjid di saat orang istirahat tidur.

Ada seorang teman yang sudah bertahun-tahun menulis naskah dengan mesin ketik. Ketika ditawari dengan komputer, dia merasa tidak familier karena ketika dicoba malah mengganggu kelancaran dan produktivitasnya dalam berpikir. Lalu kembali lagi menulis dengan mesin ketik kuno. Ada lagi yang lebih antik, ada seorang penulis sangat produktif yang semua naskahnya dia tulis dengan pulpen, tulisan tangan.

Setelah jadi baru minta bantuan orang untuk menyalin ke dalam komputer. Baginya jari-jari tangan bergerak seiring dengan berpikir. Jika pakai komputer, kreativitasnya terganggu. Demikianlah, kebiasaan itu bisa membuat pekerjaan efisien, cepat dan tidak perlu membuat persiapan lama karena syaraf-syaraf tubuh sudah familier untuk melakukannya.

Namun mesti diingat kebiasaan juga bisa berkembang menjadi tiran yang membelenggu sehingga seseorang sulit berubah dan berkembang. Orang yang sudah berusia lanjut, pindah rumah atau kamar saja sulit tidur. Terlebih lagi diminta menggunakan telepon genggam, malah bingung karena sudah terbiasa menggunakan telepon kuno dengan pegangan yang besar.

Demikian juga menyangkut selera makan, banyak orang yang sudah mapan dan terpenjara dengan selera makanan daerahnya sehingga tidak bisa menikmati menu lain sekalipun kandungan gizinya lebih bagus, harga lebih mahal. Makanya banyak orang yang tersiksa tinggal di luar negeri karena sulit beradaptasi dengan makanan, cuaca, lingkungan sosial dan hal-hal lain yang serbabaru.

Dalam era yang serbaberubah ini, antara lain berkat kemajuan teknologi, seseorang dituntut untuk memiliki kesediaan dan keterampilan untuk beradaptasi. Seorang sarjana yang baru saja diwisuda hendaknya memiliki kapasitas intellectual adaptability karena akan menghadapi tantangan dan peluang baru yang belum pernah dipelajari sewaktu duduk di kampus.

Adaptasi intelektual tidak berarti mudah kompromi secara moral. Sedemikian pentingnya peranan habit atau kebiasaan sehingga banyak pakar psikologi yang melakukan studi dalam bidang ini. Seperti Charles Duhigg dalam karyanya The Power of Habit, Why we do what we do and how to change (2012). Habit memiliki kekuatan untuk menjalani dan meraih sukses hidup, namun habit bisa jadi penjara yang membuat seseorang sulit berubah dan berkembang.

Terlebih habit yang sudah dibalut dan dicampur dengan sentimen kesukuan dan keagamaan, akan sangat sulit untuk berubah atau diubah. Kita pun merasa nyaman tinggal dalam rumah habit, meskipun tahu-tahu dikejutkan oleh tsunami perubahan sosial yang membuat kita bingung tidak tahu harus berbuat apa. Ibarat kambing yang tertindih kandang yang roboh akibat angin kencang. []

KORAN SINDO, 12 Juni 2015
Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar