Pesantren dan Pengembangan Masyarakat
Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan yang pengasuhnya juga menjadi pemimpin umat dan menjadi sumber rujukan umat dalam memberikan legitimasi terhadap tindakan warganya, sudah barang tentu mempunyai dasar pijakan yang bersifat keagamaan dalam melakukan tindakannya, terutama jika itu dianggap ''baru" oleh masyarakatnya. Hal tersebut, karena watak pimpinan keagamaan dan masyarakat pendukungnya yang fiqih oriented selalu meletakkan kegiatan yang dilakukan dalam pola hitam-putih atau salah-benar menuntut hukum Islam.
Salah satu kegiatan yang dianggap baru menurut kalangan masyarakat
pesantren adalah pengembangan masyarakat, setidaknya kalau dilihat secara
kultural dari misi utama pesatren, serta porsi kegiatannya secara global, dalam
bidang pendidikan. Sedangkan pengembangan masyarakat, meskipun selama ini sudah
dilakukan, hanya bersifat sporadis. Kegiatan pengembangan masyarakat belum
dilakukan pesantren secara kelembagaan, di samping tanpa disertai visi yang
jelas, serta perangkat pendukungnya yang memadai.
Sementara itu pengembangan masyarakat yang bermuara pada
peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan
kebutuhan dan permasalahan masyarakat sebagai subyek atau obyek, sedangkan
kebutuhan masyarakat itu selalu berkembang dan permasalahan masyarakat pun
hampir tidak pernah absen di semua lapisan masyarakat, baik secara moril mau
pun materiil, maka sesungguhnya pengembangan masyarakat akan selalu mendapat
tempat sepanjang masa di masyarakat mana pun, baik kota mau pun desa, yang
masih bersifat agararis mau pun masyarakat industri.
Namun kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan
masyarakat yang salah satu dimensinya adalah pengembangan semua sumber daya,
maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil mengelola
sumber daya. yang ada di lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan
untuk berhasilnya pengembangan masyarakat. Sudah barang tentu, pesantren harus
tetap menjaga potensinya sebagai lembaga pendidikan.
Pesantren yang mampu mengembangkan dua potensinya, yaitu potensi
pendidikan dan potensi kemasyarakatan, bisa diharapkan melahirkan ulama yang
tidak saja dalam ilmu pengetahuan keagamaannya, luas wawasan pengetahuan dan
cakrawala pemikirannya, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya dalam
rangka pemecahan persoalan kemasyarakatan.
***
Untuk meletakkan pengembangan masyarakat atau pembangunan dalam
dimensi agama, terlebih dulu perlu dilihat kaitan kewajiban seorang muslim yang
telah siap menerima amanat atau tanggung jawab dari Allah SWT. Untuk itu di
samping memberi ajaran yang tertuang dalam bentuk Al-Qur’an dan Hadits sebagai
pedoman hidup, Allah menciptakan manusia terdiri atas lima komponen(1): (1). Jasad,
(2). Akal, (3). Perasaan, (4). Nafsu, (5). Ruh.
Dari terkumpulnya lima komponen itu, manusia mempunyai dua potensi
atau kemampuan, yaitu pertama kemampuan fisik (quwwah 'amaliyah) atau
kemampuan untuk melakukan kerja, yang kedua, kemampuan berpikir (quwwah
nadhariyah). Kemampuan berpikir ini sehat, bila akal, perasaan dan nafsu
berjalan sekaligus. Berpikir tanpa menggunakan akal akan menjadikan seseorang
emosi. Maka atas dasar kemampuan yang diberikan oleh Allah di atas, manusia
mempunyai tanggung jawab melaksanakan peritahNya dan meninggalkan laranganNya
secara simultan.
Mahmud Syaltut melihat bahwa ajaran Islam itu pada dasarnya dibagi
dua komponen pokok, yaitu 'aqidah dan syari’ah.(2) Dalam menghampiri masalah
‘aqidah yang menyangkut aspek kepercayaan manusia banyak dituntut menggunakan
kemampuan berpikir. Dalam menghampiri masalah syan'ah yang menyangkut aspek
perilaku, manusia dituntut banyak menggunakan kemampuan fisik.
Dari aspek syari'ah yang mengatur hubungan manusia inilah pada
dasarnya lahir taklif, yang mesti dilakukan manusia dalam menjalin hubungan
dengan empat macam sasaran terjadinya proses pembangunan atau pengembangan
masyarakat. Empat macam sasaran dimaksud tidak bisa diabaikan dan dipisahkan
salah satu dari yang lainnya, sebab dengan mengabaikannya akan terjadi
ketidakseimbangan kehidupan seseorang. Atau dengan ungkapan lain, kehidupan
seseorang yang mengabaikan salah satu hubungan dari empat macam sasaran
tersebut tidak akan mencapai hasanah di dalam kehidupan dunia kini atau hasanah
di dalam kehidupan akhirat kelak, di mana keduanya menjadi tujuan akhir
kehidupan seseorang beragama.
Adalah tidak mungkin mengetengahkan semua dasar-dasar agama yang
menjadi pangkal tolak para tokoh Islam, khususnya para pengasuh pesantren dalam
melakukan kegiatan pengembangan masyarakat baik yang bersumber dari nash-nash
Al-Qur’an, Hadits, mau pun Atsar (pendapat, atau perilaku para sahabat Nabi).
Sesuai dengan alur pemikiran yang membagi syari'ah kepada empat macam hubungan
manusia, maka ada baiknya di sini diketengahkan dasar-dasar keagamaan dengan
empat pola hubungan yang mendorong para pengasuh pesantren (setidaknya kami
sendiri) untuk melakukan pengembangan masyarakat.
***
Seperti dijelaskan di atas bahwa aspek syari'ah merupakan
perwujudan dari aspek 'aqidah. Dengan kata lain, sebagai orang yang percaya
kepada Allah, ia harus melakukan perintahNya dan menjauhkan laranganNya. Aturan
mengenai "perintah dan larangan" yang mendasari hubungan manusia
dengan Allah, disebut ‘ibadah, yaitu upaya seseorang dalam rangka
mendekatkan diri pada Allah. Ibadah ini ada dua macam, pertama, ibadah yang
bersifat qoshirah, yaitu ibadah yang manfaatnya kembali kepada
pribadinya sendiri. Kedua, ibadah muta'addiyah yang bersifat sosial.
Ibadah sosial ini manfaatnya menitikberatkan pada kepentingan umum. Dalam
kaidah fiqih(3) disebutkan: Ibadah yang bermanfaat kepada orang lain lebih
utama daripada ibadah yang manfaatnya hanya kepada diri sendiri".
Akan tetapi dalam hal ini tidak bisa diartikan, lebih baik
beribadah yang muta'addiyah saja, dan ibadah yang qashirah kita tinggalkan.
Kecuali apabila terjadi keadaan yang dilematis (ta'arudl) antara ibadah
qoshirah dan ibadah muta'addiyah diutamakan untuk memilih muta'addiyah
sepanjang yang qashirah tidak berupa fardlu 'ain. Dalam kaitan ini pula
perlu diketengahkan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggungjawaban (di hadapan Allah) seperti disampaikan Nabi
Muhammad SAW dalam sebuah hadits(4), yang artinya: "Kamu semua adalah
penanggung jawab, dan akan dimintai pertanggunjawaban atas yang dipercayakan
padamu". Sudah barang tentu setiap pemimpin diharapkan melakukan
tanggung jawab sebaik-baiknya, sehingga orang yang dipimpin, orang yang diasuh,
bisa menikmati kehidupan, menikmati kemerdekaan dan sebagainya.
Hadits di atas juga berkaitan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an
yang mengatakan bahwa, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi
dengan firmanNya yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat; Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi, orang
yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman,
"Sesungguhya Aku mengetahui yang tidak kamu ketahui".
Dari sini bisa dipahami, bahwa tugas kekhalifahan manusia di bumi
ini sebenarnya agar manusia berbuat baik di atas bumi tidak merusak, baik
merusak kehidupan, lingkungan atau tatanan yang ada. Dengan demikian sebenamya
kuatlah dasar dan motivasi pengasuh pesantren untuk melakukan kerja membangun,
baik untuk dirinya sendiri, keluarganya mau pun masyarakat. Sebab agama memberi
wahana ibadah yang bersifat individual, di samping wahana ibadah yang bersifat
sosial. Dan keduanya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mencari
ridlaNya dalam arti melakukan tanggung jawab di hadapanNya.
***
Islam mengatur hubungan antar manusia, baik antar muslim dengan
muslim, atau muslim dengan non-muslim. Apakah antara kedua belah pihak ada
hubungan kekerabatan persaudaraan, atau hubungan sosial. Dengan demikian satu
sama lain saling mengakui keberadaannya. Nabi memberikan dorongan perlunya
memperhatikan damemecahkan masalah yang menimpa umat Islam, sebagai berikut: “Barang
siapa yang tidak memperhatikan urusan umat Islam, tidak termasuk golongan
mereka".(5)
Lebih lanjut untuk memberi gambaran betapa perlunya pemimpin umat
agar selalu memperhatikan nasib dan kehidupan kaum dlu'afa, ada baiknya
diketengahkan surat Khalifah Umar Ibn Khattab RA kepada Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan, “Hendaknya engkau takut, jangan sampai menjauhi masyarakat, dan
dekati mereka yang dla’if bahkan mereka yang di bawahnya, dan berilah mereka
kesempatan untuk menyampaikan pendapat, sehingga luaslah kesempatan mereka
untuk berbicara, kenalilah orang asing karena apabila mereka ditekan, lemahlah
pemikirannya dan meninggalkan haknya".(6) Surat ini memberikan kesan
agar para pemimpin umat selalu memikirkan keadaan masyarakat, mengetahui
keadaan mereka, memberi kesempatan mereka untuk menyampaikan pendapat, agar
dengan demikian terbuka pula kesempatan untuk pengembangan diri mereka dan
pengembangan potensi manusiawinya.
Kalau melihat permasalahan orang desa di sekitar pesantren, yang
pada umumnya pesantren berada di daerah pedesaan, banyak masyarakat desa
dililit oleh permasalahan yang kompleks, seperti pendapatan rendah,
ketidakmampuan membiayai pendidikan anak, ketidakberdayaan mereka untuk
mendapatkan hak-hak yang asasi, lebih-lebih kalau mereka berhadapan dengan
kekuatan yang lebih besar seperti kekuatan negara, mereka tak berdaya. Hanya
saja karena penduduk desa ini sudah terbiasa dengan serba kesulitan, maka
masalah yang mereka derita tidak dirasakan sebagai masalah, padahal orang lain
melihatnya sebagai masalah serius yang perlu segera diatasi. Di sinilah
kewajiban para pengasuh pesantren sebagai pemimpin umat untuk memperhatikan
permasalahan umat tersebut.
***
Pada prinsipnya manusia diberi kebebasan berpikir tentang alam, di
samping memanfaatkannya untuk diri sendiri atau kepentingan bersama. Bahkan
dalam al-Qur’an surat Huud ayat 61, Allah berfirman, “Dia (Allah) telah
menciptakan kalian dari tanah dan menuntut kalian membangun (memakmurkan) di
atasnya". Setidaknya dari ayat yang diperintahkan Allah di atas,
memberi himbauan kepada hambaNya, untuk meramaikan bumi atau membangun di atas
bumi ini. Jelas perintah di sini adalah untuk berbuat baik, bukan sebaliknya,
untuk melakukan kerusakan seperti yang dikhawatirkan para malaikat dalam
dialognya dengan Allah dalam menanggapi proses awal penciptaan manusia.
Kewajiban membangun di atas bumi yang berwajah duniawi ini tentu
perlu dilengkapi ilmu-ilmu pengetahuan dan keterampilan pendukungnya. Sebab,
banyak Hadits Nabi yang mengacu pada hal ini, misalnya; “Barang siapa yang
menghendaki dunia, maka ia harus menguasai ilmunya, dan barang siapa yang
menghendaki akhirat maka ia harus menguasai ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan
keduanya, maka ia harus juga menguasai ilmunya."(7)
Banyak persoalan yang menyangkut apa dan bagaimana hubungan
manusia dengan alam semesta ini. Di balik perintah memanfaatkan alam, manusia
juga dilarang memanfaatkannya secara berlebihan. Apalagi pada saat sekarang
ini, perlu disebarluaskan isu tentang lingkungan, misalnya bahaya radiasi
nuklir, sehingga orang mempunyai kesadaran dan berperilaku shalih, yang
menyangkut kelestarian, kebersihan dan kesehatan lingkungan -suatu kesadaran
yang bertumpu pada ajaran agama.
Banyak petunjuk agama yang mengisyaratkan perlunya menjaga
keseimbangan kehidupan yang berwajah duniawi dan ukhrawi; yang artinya tidak
harus mementingkan hidup dan kehidupan yang berwajah ukhrawi saja, lalu
meninggalkan kehidupan yang duniawi. Sebab manusia hidup di dunia tentu
membutuhkan apa saja yang bersifat duniawi dan kalau kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka manusia yang bersangkutan tidak bisa melakukan aktivitas yang
bersifat ukhrawi dengan baik.
Sebaliknya seseorang pun tidak boleh mementingkan kehidupan yang
berwajah duniawi lalu meninggalkan kehidupan ukhrawi. Orang yang demikian,
hidupnya menjadi keras dan panas, terutama sisi ruhaniahnya. Orang yang
mementingkan kehidupan duniawinya saja belum tentu bahagia dalam arti
sesungguhnya. Sebab kebahagiaan yang ia capai hanya dari segi lahiriah,
sedangkan yang dari sisi batiniah ia tidak bisa menikmati.
Untuk mengisi kehidupan yang seimbang antara duniawi dan ukhrawi
itu, Allah memberi kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan manusia yang
bersifat ukhrawi seperti tercemin dalam rukun Islam, di samping memberi
kesempatan bahkan kewajiban untuk melakukan usaha yang berwajah duniawi seperti
pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan Nabi, kecuali sebagai
pemimpin kehidupan keagamaan, juga sebagai pemimpin kehidupan masyarakat, telah
menjadi petunjuk untuk itu. Secara individual, Islam juga memerintahkan
berusaha untuk mencukupi kehidupan ekonomi. Kata Nabi, "Apabila kamu
telah selesai melakukan shalat fajar (subuh) maka jangan terus tidur lalu tidak
berusaha mencari rezeki".(8) Secara ekstrem Khalifah Umar Ibn Khattab
ra. berkata, "Jangan sekali-kali engkau duduk saja meninggalkan usaha
mencari rezeki sembari berdo'a: ''Ya Allah, berilah kami rezeki", padahal
eugkau mengetahui bahwa sesungguhnya langit itu tidak akan pernah memberi hujan
emas dan perak".(9) Bahkan Islam melarang menganggur, seperti
disampaikan oleh sebuah hadits Nabi, "Orang yang paling berat siksanya
di hari kiamat, adalah orang yang dicukupi rezekinva tetapi ia menganggur".(10)
***
Kalau dilihat dari sejarah munculnya pesantren dan penerapan
ajaran 'aqidah dan syari'ah pada masyarakat pendukungnya, tidaklah berlebihan
apabila disebut, pesantren itu merupakan kesatuan dalam keragaman. Kesatuan dalam
pemihakannya dalam Islam Sunni, kesatuan dalam misinya yaitu menyampaikan
dakwah dan pesan keagamaan kepada masyarakatnya di samping lembaga yang
menekuni tafaqquh fiddin. Namun pesantren beragam dalam cara, metoda,
taktik dan strategi untuk melakukan dakwahnya. Bahkan dalam satu sisi dakwahnya
sekalipun, seperti yang tercermin dalam pola pendidikannya.
Persoalan yang terakhir dapat dimengerti, karena dipengaruhi oleh
pendiri pesantren dan masyarakat pendukungnya, atau salah satu dari dua faktor
tersebut. Kedua faktor itu berkaitan dengan tantangan yang ada dan jawaban yang
muncul. Bahkan hubungan saling mempengaruhi ini terus berlangsung pada periode
pengasuh pengganti. Hanya saja pesantren itu sebenarnya sangat tergantung
kepada pengasuh sebagai elemen yang paling esensial dan pemegang otoritas di
pesantren.(11) Karena itu pula, arah, taktik, strategi, sistem dan organisasi
pendidikan dalam pesantren sangat dipengaruhi oleh pengasuhnya.
Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan masyarakat yang merupakan
peningkatan peran pesantren ini,(12) respon para pengasuh pesantren pun menjadi
beragam. Meskipun sebenarnya banyak nash al-Qur'an, Hadis atau Atsar para
sahabat Nabi yang memberikan dorongan untuk melakukan usaha pembangunan
kemasyarakatan seperti sudah dijelaskan pada permulaan tulisan ini. Memang
ajaran tersebut tidak merupakan sesuatu yang baru, tetapi karena usaha
pembangunan itu dianggap kegiatan baru, maka respon para pengasuh menjadi
beragam.(13)
Sekali lagi hal tersebut tergantung kepada wawasan dan visi
pengasuh pesantren tentang pengembangan masyarakat. Sebagai contoh dalam kasus
ini, pada tahun 1984 BPPM Maslakul Huda Kajen, Pati bekerjasama dengan P3M
mengajak 12 pesantren di Jawa Tengah, ternyata 3 dari jumlah itu (25 persen)
tidak dapat menerima kegiatan pengembangan masyarakat dengan alasan yang tidak
sama. Pada umumnya, alasan mereka tidak bisa melaksanakan kegiatan pengembangan
masyarakat, karena misi pesantren adalah tafaqquh fiddin. Perluasan
kegiatan di bidang kemasyarakatan selain dianggap asing, juga dikhawatirkan
terabaikannya fungsi utama tersebut. Jadi antara tafaqquh fiddin dan
pengembangan masyarakat belum dilihat kaitannya yang esensial, akibat dan belum
lengkapnya informasi yang mereka terima tentang apa, bagaimana, mengapa
pengembangan masyarakat itu, di samping belum banyaknya contoh kongkrit wujud
pesantren yang melaksanakan pengembangan masyarakat.
Untuk menyebarkan ide, makna dan tujuan pengembangan masyarakat,
barangkali lebih baik dkan dengan berkomunikasi secara lisan dengan para
pengasuh pesantren. Dalam hal ini komunikasi tulis apakah lewat surat menyurat,
penyebaran majalah atau buletin yang mempunyai pesan pengembangan masyarakat
tidak cukup, mengingat budaya yang berkembang di pesantren masih kuat melalui komunikasi
lisan.
***
Di banyak negara berkembang, strategi pembangunan yang
mengutamakan pembangunan ekonomi dengan mengejar peningkatan pendapatan
perkapita belaka, tidak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran,
kesenjangan antara kaya-miskin, antara sektor desa-kota; kecuali bila strategi
tersebut dilengkapi dengan strategi yang mengarah pada pemerataan hasil
pembangunan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.(14)
Demikian pula kasus Indonesia, lebih-lebih pada dasawarsa delapan
puluhan ini, di mana ekonomi Indonesia dilanda resesi, di samping masih
dipengaruhi oleh berkurangnya penerimaan pendapatan negara dari sektor minyak.
Maka dengan strategi yang kedua, (pemenuhan kebutuhan pokok) dirasa agak bisa
mengurangi masalah kemiskinan, kesenjangan pendapatan dan pengangguran yang
masih banyak dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Namun sekali lagi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah jumlah
penduduk yang berkekurangan sangat besar, tersebar di beberapa daerah pedesaan,
dengan adat istiadat yang tidak sama, serta permasalahan yang bermacam-macam,
sehingga dalam kondisi yang demikian tidak dapat diterapkan kebijaksanaan
sentral atau pendekatan teknokratis -meminjam istilah Ismed Hadad- yang hanya
mengejar target, baik target waktu mau pun hasil riil. Sebab kondisi alam, dan
budaya masyarakat satu daerah dengan yang lain sangat berbeda.
Dalam kondisi demikian lebih tepat apabila dilakukan pendekatan
yang mengajak peran serta (partisipasi) masyarakat dalam proses pembangunan.
Pendekatan ini harus dilakukan sejak awal melihat permasalahan mereka sendiri,
merencanakan kegiatan yang dipilih dalam mengatasi permasalahan, melakukan
kegiatannya dan mengevaluasi hasil kerja yang dilakukan.
Dengan demikian semua proses kegiatan akan disesuaikan dengan
kebutuhan dan potensi yang ada di masyarakat. Masyarakat tidak saja menjadi
obyek, tetapi menjadi subyek pembangunan yang pada sisi lain akan mengembangkan
keswadayaan dan sumber daya yang ada di sekitar mereka.
Tidak dapat dielakkan memang, strategi pemenuhan kebutuhan pokok
yang membutuhkan peran-serta memerlukan waktu, di samping itu fasilitas
pemandu, baik orang-perorang atau lembaga yang dapat berperan sebagai
motivator, fasilitator untuk memunculkan atau mengembangkan peran-serta, atau
swadaya masyarakat. Sebab pada dasarnya strategi pendekatan ini intinya usaha
penyadaran masyarakat agar mereka bisa mengembangkan sumber daya yang ada pada
diri mereka, lingkungan dan alam sekitar.
Di sinilah pesantren dengan potensi sosial keagamaannya bisa
melakukan peran sebagai lembaga pengembangan swadaya masyarakat, terutama
melalui nilai-nilai keagamaan seperti kemandirian, keadilan, kerja sama dan
sebagainya. Mengingat kebutuhan masyarakat itu selalu ada dan bahkan selalu
berkembang, maka apabila pesantren bisa melakukan peran sebagai lembaga swadaya
masyarakat, ia akan selalu mendapat tempat di masyarakat, bahkan bisa lebih
mengembangkan potensi kemasyarakatan.
Selanjutnya bagi pesantren diperlukan syarat yang mendukungnya,
antara lain: 1) Wawasan yang benar dari pengasuh pesantren tentang pengembangan
masyarakat, di samping kepekaannya terhadap permasalahan yang berkembang, baik
yang menyangkut sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, dan 2)
Tersedianya tenaga dari kalangan pesantren yang menjadi motivator pembangunan
masyarakat dan yang mampu menjadi manager of resources yang ada di sekitarnya.
Sudah barang tentu apabila pesantren melakukan peran pengembangan
swadaya masyarakat sebagai upaya untuk mengikuti petubahan sosial yang ada, ia
tetap harus menjaga kelestarian fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan
keilmuan.
***
Dalam suatu makalah berjudul Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap
Kegiatan Sosial, Soedjatmoko (15) memberi kesimpulan, pendidikan agama akan
dapat memenuhi suatu fungsi yang sangat penting dalam perkembangan sosial yang
ada di Indonesia. 1). Berusaha memupuk beberapa sifat tertentu, di antaranya
keberanian hidup, bersedia mandiri dan berinisiatif, peka terhadap hak dan
keperluan manusia, sanggup kerjasama untuk kepentingan umum, di dalam proses
perubahan sosial terus menerus, tanpa ketakutan akan perubahan itu sendiri. 2).
Berusaha merangsang anak didik untuk mengamalkan ilmu mereka. 3). Berusaha
memupuk motivasi yang kuat pada anak didik untuk mempelajari dan memahami
kenyataan sosial yang terdapat di masyarakat. 4). Berusaha untuk berintegrasi
dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama.
Dari uraian terdahulu tulisan ini dan kesimpulan Soedjatmoko di
atas dapat ditarik benang merah, pesantren yang melakukan pengembangan
masyarakat punya prospek sebagai berikut:
1). Pesantren akan selalu dapat mengikuti perkembangan sosial,
sebab dari segi visi, orientasi dan programnya ada pemihakan untuk
mengembangkan masyarakat sekitarnya. Implikasi dari kepeduliannya terhadap
permasalahan masyarakat ini, pesantren akan dapat memberi arah perkembangan
masyarakat dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi yang ditindaklanjuti
dengan kerja nyata dalam rangka pemecahan permasalahan yang ditentukan di
masyarakat. Sehingga kalau ada permasalahan yang menyimpang dari tujuan serta
nilai dan ajaran yang dikembangkan, pesantren tidak saja memberikan keputusan
halal-haram, tetapi melihat permasalahan lebih dahulu dan mencarikan jalan
keluar, sehingga masyarakat tidak terperangkap dalam kegelapan dan keharaman
terus.
2). Pesantren yang bersangkutan mempunyai laboatorium sosial,
yaitu adanya kelompok-kelompok swadaya yang difasilitasi pesantren. Baik
kelompok dalam bidang ekonomi seperti kelompok pedagang kecil, perajin; mau pun
kelompok di bidang sosial seperti kelompok taman gizi, kelompok pemakai air,
kelompok kesehatan, kelompok belajar, kelompok wanita produktif dan sebagainya.
Sejalan dengan dinamika masyarakat, kelompok swadaya ini tidak
bisa berhenti, harus selalu mempunyai inisiatif untuk pengembangan kelompok
mereka, baik dari segi jumlah anggota, kualitas, pelayanan, mau pun perluasan
sasaran. Dan karena kelompok swadaya diprakarsai dan difasilitasi oleh
pesantren, maka kelompok itu akan melakukan komunikasi dengan pesantren secara
timbal balik. Proses interaksi ini tentu mempengaruhi wawasan santri, terutama
para santri senior yang sudah mempunyai pemikiran tentang masalah-masalah
sosial.
Pengembangan masyarakat yang menjadi wahana laboratorium sosial
ini selanjutnya akan menjadi bahan untuk tambahan khazanah ilmu pengetahuan
santri yang pada gilirannya akan menambah wawasan pemikiran, sehingga menambah
kepekaan mereka terhadap masalah-masalah sosial. Di sinilah perlunya bagi
perpustakaan pesantren sekarang ini untuk melengkapi bahan bacaan non-kitab,
apakah buku-buku keterampilan, ilmu-ilmu sosial, majalah, koran dan lain-lain.
Dengan demikian ada media bagi para santri untuk melengkapi ilmu
pengetahuannya, tidak saja dalam ilmu agama, tapi juga ilmu non-agama, sehingga
terjadilah proses interaksi antara keduanya.
Untuk menutup tulisan ini ada baiknya kita perhatikan identitas
ulama menurut Imam Ghazali seperti yang terekam dalam Ihya Ulumuddin,
"Setiap ulama adalah orang yang 'abid (ahli ibadah); zuhud, mengerti
ilmu-ilmu akhirat; pengetahuannya diabdikan untuk Allah; peka, jeli dan paham
benar akan kemaslahatan makhluk".
Dari ciri yang terakhir jelas sekali, apa yang seharusnya
dilakukan oleh para ulama pengasuh pesantren dalam rangka membina umat. Bukan
saja membina dalam kehidupan beragama, tapi juga kehidupan sosial ekonomi,
serta membina kehidupan berbangsa dan bernegara.
***
Catatan Kaki:
1. Sahal
Mahfudh, Makalah Tenaga Pengembangan Masyarakat, 1984 (tidak
dipublikasikan) hal. 63
2.
Mahmud Syaltut,
Al-Islam 'Aqidah wa Syari'ah, Dar al-Qalam, cetakan ketiga, hal. 12
3.
Imam Suyuti, Mawahib
al-Saniah, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Nabhan, Surabaya, hal. 237
4.
Muhyiddin al-Nawawi, Riyadl
al-Sholihin,hal. 142
5.
Muhammad Athiyah
al-Ibrasyi, Ruh al-Islam, Daru Ihya’i Kutubi al-Arabiyyah, tanpa tahun,
cetakan kedua, hal. 220
6.
Ibid
7.
Ibid, hal.
336
8.
Jami’ al-Shaghir, juz I
hal. 30
9.
Al-Ibrasyi, Op. Cit.,
hal. 311
10.
Ibid., hal.
312
11.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, LP3ES, hal. 55. Profil Pesantren, LP3ES. hal. 112
12.
Profil Pesantren, LP3ES,
hal. 112
13.
Ibid, hal.
79-80
14.
Ismed Hadad, Pembangunan
Swadaya Masyarakat, dalam Prisma, April 1983 hal. 5-7
15.
Soedjatmoko, Pengaruh
Pendidikan Agama Terhadap Kehidupan Sosial, dalam Etika Pembangunan, LP3ES,
hal. 274~275
*)
Tulisan ini pernah dimuat di Pesantren No: 2/Vol. IV/1987 dengan judul
Pengembangan Masyarakat oleh Pesantren: Antara fungsi dan Tantangan. Juga bisa
ditemukan di buku KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004
(Yogyakarta: LKiS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar