Jumat, 19 Juni 2015

Dahlan: Pakai dan Tidak



Pakai dan Tidak
Oleh: Dahlan Iskan

Berhari-hari sejak ditetapkan sebagai tersangka 5 Juni lalu saya, keluarga dan teman-teman berdebat soal pengacara. Mau pakai pengacara atau tidak. Saya pribadi berkeras untuk tidak perlu pengacara. Tapi keluarga dan teman-teman berkeras harus pakai pengacara.

Saya sendiri optimis bahwa kebenaran akan muncul dengan sendirinya. Tidak usah dibela-bela. Bahkan saya beren­cana akan bersikap sangat low profil. Saat diperiksa jaksa nanti saya akan langsung saja mengatakan terserah jaksa. Kalau memang jaksa merasa menemukan bukti yang kuat, silakan.

Di pengadilan pun, saya berencana tidak akan melakukan eksepsi atau pledoi. Silakan saja jaksa menunjukkan barang bukti. Silakan hakim men­de­ngarkan saksi-saksi. Berdasarkan barang bukti dan kesaksian itu silakan hakim menilai. Lalu memutuskan. Kalau hakim memang menilai saya salah dan harus masuk penjara akan saya jalani dengan ikhlas.

Saya sudah mengalami penderitaan menjadi anak yang amat miskin. Saya juga sudah pernah berada dalam situasi yang begitu dekat dengan kematian. Hidup ini harus diterima apa adanya. Harus “nrimo ing pandhum”.

Keluarga saya sudah bisa menerima prinsip itu. Tapi teman-teman terus berargu­men­tasi. Senjata terakhir yang mereka gunakan adalah “kebenaran yang tidak diperjuangkan akan kalah dengan kebatilan yang diperjuangkan”. Lalu dikutiplah ayat-ayatnya dan ajaran-ajaran yang terkait dengan itu.
Saya menyerah.

Saya juga harus memegang filsafat hidup saya ini: “Rendah hati itu bisa menjadi kesombongan kalau niatnya sengaja merendah-rendahkan”. “Tidak mau mendengarkan saran-saran banyak orang adalah kesombongan dalam bentuk yang lebih parah”.

Saya tidak berniat seperti itu. Saya pun setuju menunjuk pengacara. Tapi, siapa? Begitu banyak pengacara yang berse­dia membantu. Tinggal pilih: yang dar-der-dor, yang taktis, yang lemah-ge­mulai atau yang bagaimana?

Saya serahkan sepenuhnya pada teman-teman. Ketika mengarah ke satu nama, ter­nyata tidak gampang menghubungi beliau. Sampai tanggal 10 Juni beliau masih di luar kota. Padahal panggilan pemeriksaan harus saya penuhi tanggal 11 Juni 2015.

Baru 10 Juni hampir tengah malam te­man-teman berhasil bertemu beliau. Masih banyak yang harus dibicarakan de­ngan beliau pada hari pemanggilan itu. Beliau yang saya maksud adalah Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. (*)

JAWA POS, 12 Juni 2015
Dahlan Iskan | Mantan CEO Jawa Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar