Bung
Karno Kita
Oleh:
Budiarto Shambazy
Berbagai
kalangan, terutama dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sepanjang Juni
2015 ini memperingati ”Bulan Bung Karno”. Meski tidak bersifat resmi,
peringatan seperti ini terbukti makin relevan dilangsungkan dan semoga saja
menular pula dirayakan untuk mengenang tokoh-tokoh nasional kita yang patut
diteladani.
Semakin
tahu informasi mengenai Bung Karno (BK) akan semakin kaya dan tentunya
mengundang pro dan kontra. Ini gejala bagus supaya masyarakat menyadari bahwa
manusia biasa seperti BK, layaknya sebuah baterai atau aki, ada ”plus dan
minusnya”.
Sulit
dibantah perjuangan BK mewujudkan cita-cita kemerdekaan belum tersaingi oleh
tokoh-tokoh lainnya. Perjuangan itu diawali dari aktivitasnya sebagai tokoh
pemuda di Bandung pada 1920-an sampai membacakan teks Proklamasi 17 Agustus
1945.
Perjuangan
BK bukan sebatas menggerakkan aksi massa melawan Belanda ataupun Jepang. Ia
juga coba merumuskan ideologi, bentuk demokrasi, konstitusi, sampai doktrin-doktrin
kenegaraan sepanjang ia mengabdi sebagai aktivis ataupun presiden.
Terlalu
banyak untuk menghitung jumlah buku, karya tulis, pidato, dan dokumentasi lain
mengenai BK. Sampai kini pun belum juga selesai perdebatan tentang apa
sesungguhnya yang terjadi pada BK di hari-hari yang menegangkan di negeri ini
sejak 30 September 1965 sampai Soeharto menjadi pejabat presiden pada 12 Maret
1967.
Pada
periode sekitar 10 tahun pertama sejak proklamasi, BK lebih banyak melawat ke
sejumlah daerah di negeri ini. Dalam beberapa kesempatan, BK menyebut
memercayai Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menjalankan roda pemerintahan
sehari-hari di Jakarta.
Pada
periode 1955-1965, BK mungkin lebih sering melawat ke mancanegara. Hasil jerih
payahnya melancarkan diplomasi bebas-aktif tecermin dari sukses Indonesia
menjadi salah satu pendiri Konferensi Asia Afrika ataupun Gerakan Nonblok.
Dunia
menempatkan BK sebagai salah seorang pemimpin dunia yang cemerlang dan
visioner. Sampai akhir hayatnya, BK menerima lebih dari 20 gelar doktor honoris
causa dari universitas di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Timur, Rusia (Uni
Soviet), Tiongkok, serta sejumlah negara Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Ia hanya
kalah dari Nelson Mandela yang menerima hampir 50 gelar tersebut dari
mancanegara. Sayang, pengakuan intelektual pada tingkat global ini diwarnai
”petualangan” BK memprakarsai pembentukan Nefos (New Emerging Forces) karena
kekecewaan dia terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pada
periode 1963-1965 BK juga sibuk memerangi Malaysia. Banyak kalangan menilai
politik konfrontasi terhadap negara jiran itu dilancarkan BK untuk mengalihkan
perhatian dari kondisi ekonomi domestik yang semakin sulit.
Apakah
argumen itu sahih atau tidak, tentu bisa didebatkan panjang-lebar. Sebuah hal
yang pasti, sejak memberlakukan Dekrit 5 Juli 1959, BK sesungguhnya telah
memulai proses pembangunan Indonesia sebagai kekuatan menengah yang disegani
setidaknya di Asia Pasifik.
Kita
nyaris go nuclear (memiliki senjata nuklir) serta pusat pelatihan bagi militer
dari negara-negara Asia dan Afrika. Kita punya angkatan bersenjata yang
disegani dengan puluhan kapal selam, ratusan pesawat tempur, dan seterusnya.
Utang
luar negeri BK saat itu hanya 2,5 miliar dollar AS. BK telah mencanangkan
perencanaan pembangunan per delapan tahun dengan tujuan utama menjadikan
Indonesia take-off sebagai negara industri pada 1970-an.
Kekayaan
migas dan tambang dikelola secara cermat dan hemat, begitu juga strategi ekspor
komoditas-komoditas andalan (seperti karet dan kopra). Pendek kata, apa yang
dilakukan Pak Harto, pembangunan melalui Repelita (rencana pembangunan lima
tahun), sebenarnya hanya kelanjutan dari yang dilakukan BK.
Pembangunan
manusia yang dilakukan BK sejak Dekrit 5 Juli juga cukup impresif. Jika Anda
buka data dari sejumlah buku karya ilmuwan Barat, ternyata ketika itu generasi
muda Indonesia disebut sudah siap menghadapi kompetisi global berkat sistem
pendidikan yang memadai.
Mungkin
kalau berbicara tentang Dekrit 5 Juli kita menyimpulkan BK sebagai diktator
bertangan besi yang enggan dikritik. Pada saat itulah dia mulai membungkam
oposisi dan memberangus pers serta pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya mulai
dikultusindividukan oleh berbagai kalangan elite.
Sekali
lagi, manusia seperti baterai atau aki yang ada plus dan minusnya. Bung Karno
kita tak terkecuali, ia juga manusia biasa yang pernah menjadi pemimpin besar
kita yang telah mewariskan Tri Sakti untuk diwujudkan oleh pemerintahan saat
ini. []
KOMPAS,
20 Juni 2015
Budiarto
Shambazy | Wartawan
Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar