Pancasila dan Perspektif Islam Nusantara
Oleh:
Syaifullah Yusuf
DALAM
diskusi kecil bersuasana akrab akhir pekan lalu, Dekan Ilmu Keislaman untuk
Mahasiswa Internasional Al Azhar Kairo, Mesir, Prof Dr Abdel Moneem Fouad
mengeja Bansyasila tanpa kesulitan. Yang dia maksudkan adalah Pancasila. Moneem
menyebut Pancasila sebagai benang utama yang menyulam kehidupan Islam di
Indonesia. Islam Nusantara, menurut dia, tak akan terwujud tanpa deretan
kata-kata magis itu.
Melalui
pandangan objektif Moneem itu, agaknya kita bisa makin menyadari betapa
istimewanya Pancasila bagi keindonesiaan kita. Dan merenungkan Pancasila hari
ini, 70 tahun setelah hari lahirnya, mau tak mau ingatan kita akan dipaksa
untuk kembali ke momen penting pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, hari
penutupan sidang pertama BPUPKI, yang menjadi tumpuan bagi para bapak bangsa
kita untuk menyepakatinya sebagai hari kelahiran Pancasila.
Bagi Bung
Karno, Pancasila soal hidup mati. Bahkan, dia tidak sertamerta menjadikannya
wacana resmi dalam proses membentuk republik. Dia bersabar untuk sesuatu yang
mulia. Berpuluh-puluh tahun lamanya, untaian filosofis itu menyita waktu-waktu
perjuangannya. Bung Karno merenung tiada henti sampai akhirnya angka-angka
kalender Masehi menunjukkan 1 Juni 1945. Jumat pagi, pada hari yang mulia itu,
matahari belum jauh mengedar.
Para
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
mengambil tempat masing-masing. Sidang dibuka! Agendanya membahas Pancasila.
Bung Karno berusaha menghindari celah terjadinya debat semantik. ”Jikalau saya
peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu
perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ’gotong royong’. Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong. Alangkah hebatnya!
Negara gotong royong,” kata Bung Karno saat itu.
”Gotong
royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama,
perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat
semua buat kebahagiaan semua,” sambung Bung Karno.
Banyak
hal yang bisa dipelajari dari Bung Karno. Keterbukaan sikapnya, kegigihan
memperjuangkan filosofi hidup, ketulusan menerima masukan, kepekaan menyelami
gemuruh perbedaan perspektif, hatta hal-hal kecil seperti beda semantik.
Bung
Karno menggali, merenungkan, dan memperkaya pandangannya tentang negara dari
beragam perspektif hingga mengadu wawasan dengan the founding fathers lainnya.
Yang membuat kita kian kagum adalah sense of belonging- nya yang tinggi
terhadap kata Indonesia tulen: gotong royong. Dalam keseharian, amaliah gotong
royong diyakini Bung Karno akan berujung pada tegaknya keadilan. Keadilan akan
bermuara pada kebahagiaan bersama.
Kalau
keringat diperas, ujungnya harus kebahagiaan bersama. Sikap saling bantu
diamalkan hanya untuk kebahagiaan bersama. Inilah Pancasila, yang lalu menjadi
Trisila dan berujung Ekasila. Gotong royong dan berkeadilan dalam tradisi NU
termasuk qath’iyyat, yang pamali dibatalkan dengan nalar apa pun. Ia
berkedudukan sejajar dengan sikap tawassuth (moderat), tawaazun (berimbang),
i’tidaal (tegak lurus dalam prinsip), dan tasaamuh (toleransi).
Karena
qath’iyyat, sikap berlaku gotong royong dan hidup berkeadilan bersifat
universal, borderless, dan mesti shalih likulli zamaanin wa makaan (sesuai pada
setiap waktu dan di semua tempat). Gotong royong dan hidup berkeadilan harus
diamalkan oleh semua orang kapan saja dan di mana saja. Meminjam istilah Abd.
Moqsith Ghazali, prinsip-prinsip ajaran inti itu bersifat transhistoris,
transideologis, bahkan trans keyakinan agama.
Pada
faktor transideologi dan trans keyakinan agama itu, cendekiawan muslim Azyumardi
Azra menemukan, sikap gotong royong telah menjadi amalan harian pada kehidupan
umat Islam Indonesia. Di hampir semua daerah rural yang menjadi tempat tinggal
umat Islam (istilah lain Islam moderat), sikap dermawan dan saling bantu
selalu dijaga. Jangan heran, papar Azra, jika umat Islam Indonesia dikenal
sebagai umat Islam yang paling dermawan.
Hal itu
dapat dilihat dari rentetan upacara keagamaan yang selalu beriringan dengan
upacara tradisi. Seorang yang akan meminang calon istri/suami dikukuhkan dengan
acara walimahan –membaca wirid, zikir, dan ibadah lain, lalu diakhiri dengan
acara makan-makan. Selain karena memang gemar bersilaturahmi, para undangan
akan pulang dengan membawa berkat (makanan yang bisa dibawa pulang). Itulah
berkah kebersamaan.
Kegiatan
keagamaan berbaju tradisi akan mengiringi semua tahap kehidupan setiap orang
Islam Indonesia, sejak dia dikandung, dilahirkan, dikhitankan, dinikahkan,
pindah rumah, naik haji, hingga masuk ke kubur. Belum lagi acara-acara yang
murni keagamaan seperti mauludan, muharaman, Isra Mikraj, khataman, rajaban,
syakbanan, hingga kegiatan ibadah sepanjang Ramadan seperti takjilan. Nyaris
semuanya dengan makan.
Semua
kegiatan itu merupakan amaliah dari Ekasila, yang tak lain adalah gotong royong
ajaran Bung Karno. Karena banyak pikirannya yang berkesesuaian dengan amaliah
keseharian umat Islam, ada yang menyebut Bung Karno sebagai seorang mujadid
(pembaru kehidupan keagamaan). Karakter Islam Nusantara yang guyub akan menjadi
penyangga utama tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Giora
Eliraz (2004) dalam Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle
East Dimension menyebut, ”…watak kebangkitan Islam di Indonesia adalah unik,
ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan gagasan dasar tentang
pluralitas keagamaan. Berbeda dengan Timur Tengah yang ditandai dengan
peningkatan konservatisme berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan
ideologi fundamentalis –dan bahkan militansi dan radikalisme.”
Sikap
toleran dan penuh penerimaan umat Islam terhadap gagasan kebinekaan sudah
muncul sejak awal-awal proses mendirikan republik. Figur seperti KH A. Wahid
Hasyim, KH A. Wahab Hasbullah, KH Masjkoer, KH Ahmad Dahlan, KH Mas Mansoer,
dan Ki Bagus Hadikusumo mengambil peran penting menjaga keutuhan untaian mutu
manikam Nusantara. Dengan gotong royong demi keadilan, keutuhan bangsa jadi
taruhan. Dirgahayu Pancasila! []
JAWA POS,
02 Juni 2015
Syaifullah Yusuf ; Ketua Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PB NU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar