Menimbang Argumen Bacaan
Al-Qur’an Langgam Nusantara
Oleh: Muchlis M. Hanafi
Al-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Cahayanya menjadi penerang bagi manusia dalam meniti jalan menuju kebahagiaan. Sebagai karunia terbesar, Al-Qur`an menjadi obat penyejuk hati dan rahmat bagi siapa pun, lebih-lebih yang berpegang teguh pada petunjuknya. Tak heran, bila umat Islam sepanjang sejarah berupaya memberi perhatian terhadap segala sesuatu yang terkait Al-Qur`an. Tidak ada kitab apa pun di dunia ini yang mendapat perhatian melebihi perhatian umat Islam terhadap Al-Qur`an, mulai dari tulisan, bacaan dan hafalan, sampai kepada pemahaman dan pengamalan. Tidak berlebihan bila ada pakar yang berkata, Al-Qur`an telah menjadi poros bagi peradaban Islam.
Bacaan Al-Qur`an mendapat perhatian besar,
bukan saja karena setiap huruf yang dibaca mendatangkan pahala, tetapi juga
karena bacaan yang berkualitas akan menambah keimanan dan ketenangan (QS. Al-Anfal:
2). Ketika dibacakan Al-Qur`an, hati orang beriman akan bergetar, dan kulit pun
merinding karena keagungan kalam Tuhan (QS. Al-Zumar: 23). Bahkan, seperti
dilukiskan dalam QS. Al-Hasyr: 21 gunung-gunung pun tertunduk khusyuk dan pecah
berkeping-keping seandainya Al-Qur`an diturunkan kepadanya.
Bacaan dengan suara yang indah dan merdu,
lebih-lebih Al-Qur`an, akan lebih menyentuh dan menambah kekhusyukan hati serta
menarik perhatian untuk didengar, sehingga pesan-pesannya lebih mudah diterima.
Ibnu al-Qayyim mengilustrasikannya seperti rasa manis yang diletakkan pada
obat. Orang tak akan segan meminumnya, sehingga efek obat akan terasa ketika
menyentuh titik penyakit yang akan disembuhkannya.
Rasulullah, dalam banyak riwayat disebutkan
senang mendengar bacaan Al-Qur`an yang merdu, bahkan menganjurkan untuk
memperindah bacaan. Atas dasar itu, para ulama dan qurrâ` (pembaca dan
penghafal Al-Qur`an) mencari formula suara bacaan yang merdu, sehingga
terciptalah bentuk-bentuk nagham (nada dan irama bacaan) yang dikenal
hingga saat ini. Di antara nada dan irama (naghamât) yang sangat populer
adalah Bayati, Shaba, Sikah, Jiharkah, Hijaz, Rost dan Nahawand. Adalah
Ubaidillah (w. 79 H), putra salah seorang Sahabat Nabi, Abu Bakrah, yang
pertama kali membaca Al-Qur’an dengan nada dan irama dalam maqâmât
seperti dikenal saat ini.
Dari sekian banyak bentuk nagham,
tidak diketahui persis suara indah bacaan generasi pada masa Nabi. Apakah
menggunakan nada dan irama/ langgam tertentu, atau tidak. Oleh karenanya, sejak
dulu para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan membaca Al-Qur`an dengan
lagu. Pertanyaan hukum yang muncul, bagaimana sebenarnya bacaan Nabi Saw dan
para Sahabatnya yang dikenal merdu dan indah? Apakah dibolehkan menggunakan
lagu dalam bacaan? Keterbatasan transmisi suara bacaan generasi awal Islam,
karena belum dikenal alat perekam suara, melahirkan perbedaan pandangan di
kalangan ulama.
Bila dengan langgam yang sudah populer saja
masih diperdebatkan kebolehannya, lebih-lebih bila menggunakan langgam-langgam
baru yang belum dikenal sebelumnya, seperti langgam Jawa, Sunda atau lainnya
yang ada di Nusantara. Tak pelak, ketika pada peringatan Isra Miraj di Istana
Negara, Jumat, 15 Mei 2015, seorang qari melantunkan bacaan Al-Qur’an dengan
cengkok atau langgam Jawa, langkah ini menuai kontroversi. Gagasan ini
sebelumnya dilontarkan Menag saat menghadiri Milad ke-18 Bayt Al-Qur`an dan
Museum Istiqlal di Jakarta. Ia mengatakan, langgam bacaan Al-Quran khas
Nusantara, dengan kekayaan alam dan keragaman etniknya, menarik untuk dikaji
dan dikembangkan. Tentu saja dengan tetap memperhatikan kaidah ilmu tajwid.
Sebelum itu, dunia Islam pernah dibuat heboh
akibat ulah kreatif putra Indonesia. Avip Priatna,salah seorang konduktor
terbaik Indonesia dalam khazanah musik klasik,menggelar konser orkestra “The
Symphony of My Life” pada 3 Desember 2011. Dalam konser yang diiringi musik
oleh Batavia Madrigal Singers (BMS) dan Paduan Suara Mahasiswa Unika
Parahyangan, Avip mengalunkan bacaan QS. Al-Hujurat: 13 yang menjelaskan
keragaman suku dan bangsa diiringi irama yang mengharukan dengan dinamika bunyi
yang menggetarkan.
Persoalan ini perlu mendapat penjelasan
hukum, sebab boleh jadi akan muncul kreativitas baru dalam bacaan Al-Qur`an di
bawah semangat melantunkan Al-Qur`an dengan suara merdu. Tulisan ini akan
berusaha memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang muncul; 1) Bagaimana
sebenarnya bacaan Nabi Saw dan para Sahabatnya yang dikenal merdu dan indah?;
2) Bagaimana sejarah munculnya nagham bacaan Al-Qur`an?; 3) Bagaimana
pandangan ulama tentang hukum membaca Al-Qur`an dengan lagu?, dan; 4) Apakah
dalam melagukan bacaan dibolehkan menggunakan langgam selain langgam yang sudah
populer, seperti langgam Nusantara?
Bacaan Nabi Saw dan Sejarah Naghamât
Bacaan Al-Qur`an
Rasulullah adalah panutan dan teladan dalam
segala hal yang terkait ibadah, termasuk dalam membaca Al-Qur`an. Bacaan setiap
Muslim hendaknya menyerupai bacaan Nabi Saw, sebab beliau menerima langsung
Al-Qur`an dari Allah melalui Malaikat Jibril (QS. Al-Syu’ara : 135-139).
Sesuai perintah Allah, bacaan Nabi bersifat tartîl
(QS. Al-Muzzammil; 3), yaitu perlahan-lahan dalam melafalkan huruf-huruf
Al-Qur`an, sehingga bunyi huruf tersebut keluar dari mulut dengan jelas. Isteri
beliau, Aisyah RA, memberi gambaran, huruf-huruf yang keluar mulut beliau
seperti bisa dihitung satu per satu. Tujuannya, agar dapat dihafal dan diterima
pendengarnya dengan baik. Yang membaca dan mendengarnya pun dapat men-tadabburi
makna-maknanya, sehingga ucapan lisan tidak mendahului kerja akal dalam
memahami (Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 29/260).
Sahabat Nabi, Anas bin Malik, pernah ditanya
tentang bacaan Nabi. Ia menjawab, Nabi biasa memanjangkan huruf-huruf yang
perlu dibaca panjang untuk meresapi maknanya (HR. Al-Bukhari). Pada setiap akhir
ayat Nabi berhenti.
Nabi pernah ditegur oleh Allah ketika membaca
Al-Qur`an cepat-cepat mengikuti bacaan Malikat Jibril.
لَاتُحَرِّكْ
بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَبِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَاجَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17)
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
(19) [القيامة: 16 – 19[
Jangan engkau (Muhammad) gerakkan
lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya.Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan
membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya (QS. Al-Qiyamah;
16-19).
Suara bacaan Nabi pun terdengar indah dan
merdu. Salah seorang Sahabat, al-Barra Ibn Azib RA, yang pernah mendengar Nabi
membaca surah al-Tin dalam salat melaporkan, tidak ada orang yang bisa
menandingi keindahan suara bacaan Nabi. Di lain kesempatan, Abdullah Ibn
Mughaffal, mengilustrasikan keindahan suara bacaan Nabi ketika melantunkan
surah al-Fath mampu membuat unta yang ditungganginya terperanjat. Saat itu Nabi
membacanya dengan lembut dan dengan suara mendayu seperti terulang
huruf-hurufnya (tarjî`), yaitu melafalkan huruf alif (â) seperti
terulang tiga kali (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Meski memiliki suara merdu, Nabi senang
mendengar bacaan merdu dari para sahabatnya. Abdullah Ibnu Mas’ud sempat
terheran, mengapa Nabi memintanya membacakan Al-Quran, padahal Al-Qur`an
diturunkan kepadanya. Dalam mendengar dan membaca Al-Qur`an tidak jarang air
mata bercucuran karena merasakan keagungan Tuhan yang menurunkan Al-Qur`an.
Klan Asy`ari adalah salah satu yang dikenal
memiliki suara merdu saat itu. Nabi Saw senang mendengar bacaan Abu Musa
al-Asy`ari, bahkan memujinya sebagai orang yang diberi ‘seruling’ Nabi Daud,
karena keindahan suaranya. Nabi Daud, seperti diriwayatkan Ibnu Abbas, dikenal
sering melantunkan pujian dan doa dalam Zabur hingga mencapai tujuh puluh nada
dan irama (lahn) secara bervariasi. Demikian pula Umar bin Khattab
sering meminta Abu Musa untuk memperdengarkan bacaannya yang indah. Ia
mengatakan, “siapa yang bisa melantunkan Al-Qur`an dengan lagu seperti Abu
Musa, lakukanlah”.
Meski banyak para sahabat Nabi diketahui
memiliki suara merdu dalam bacaan Al-Qur’an, dan Nabi menganjurkan untuk
memperindah bacaan, tetapi tidak diketahui persis nada dan irama bacaan mereka.
Membaca Al-Qur`an dengan suara merdu disebut
dengan beberapa istilah, antara lain al-taghannî, al-tarannum, al-tathrîb,
al-tarjî`, al-qirâ`atu bil alhân. Sedangkan nada dan irama atau langgam
yang biasa digunakan dalam melantunkan bacaan Al-Qur`an disebut nagham
(jamak: naghamât). Bentuk atau tingkatannya disebut maqâmât. Yang
paling populer, antara lain Bayati, Shaba, Sikah, Jiharkah, Hijaz, Rost dan
Nahawand.
Nagham pada hakikatnya
adalah paduan berbagai jenis suara yang tersusun sehingga menjadi bunyi yang
beraturan. Pencarian manusia terhadap nagham berlangsung lama, dan
bersifat alamiah. Orang biasa mendapatkan suara-suara indah dari desiran angin,
suara pepohonan, halilintar, kicauan burung, suara binatang dan sebagainya.
Angin yang bertiup di sela-sela pepohonan, seperti pohon bambu, melahirkan
suara merdu. Dari situ manusia belajar membuat alat musik seperti seruling.
Begitu juga, ketika kayu atau bambu ditabuh atau dipukul akan menimbulkan
suara, yang lama kelamaan suara itu dibuat semakin beraturan. Demikian pula
suara manusia, ketika berbagai jenis suara dipadukan akan melahirkan nada dan
irama yang enak didengar.
Oleh karenanya, ilmu seni suara sudah dikenal
lama, paling tidak sejak Yunani kuno. Aristoteles, Plato dan pemikir Yunani
lainnya telah berbicara tentang itu. Sebelum Nabi Muhammad lahir, orang-orang
Arab sudah mengenal kesenian musik yang digunakan untuk mengiringi nyanyian
para budak atau pembacaan syair. Tradisi ini terus berlanjut pada masa Islam,
tetapi dengan mengalihkan nada dan irama pada nyanyian dan syair kepada
Al-Qur`an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal perkembangan naghamât
(lagu) Al-Qur`an pada era selanjutnya. Meski dalam perkembangannya, naghamât
(lagu) bacaan Al-Qur`an memiliki karakter yang berbeda dengan lagu pada seni
musik biasa.
Jadi, penerapan nagham sebagai unsur
estetika dalam bacaan Al-Qur`an sudah tumbuh sejak periode awal Islam. Kendati
demikian, sulit untuk melacak seperti apa proses perkembangan nagham
tersebut hingga memunculkan berbagai bentuk varian nagham seperti
dikenal saat ini. Hal itu disebabkan tidak ada bukti yang dapat dikaji, karena
belum ada alat perekam suara.
Dalam buku Jamâl al-Tilâwah fî al-Shawt wa
al-Nagham yang diterbitkan oleh Jam`iyyat al-Qur`an al-karîm li
al-Tawjîh wa al-Irsyâd, Beirut pada tahun 2012, disebutkan Ubaidillah (w.
79 H), putra salah seorang Sahabat Nabi, Abu Bakrah, adalah yang pertama kali
membaca Al-Qur`an dengan nada dan irama dalam maqâmât seperti dikenal
saat ini. Selain berprofesi sebagai qâdhî (hakim)di Basrah ia dikenal
memiliki suara bacaan Al-Qur`an yang merdu. Kajian tentang nada dan irama Arab
dalam bentuk musik dimulai pada permulaan masa dinasti Abbasiyah, dan
selanjutnya berkembang sepanjang sejarah di berbagai kawasan wilayah Islam.
Penemuan bentuk-bentuk nagham tersebut
tidak terlepas dari penghayataan masyarakat Muslim di beberapa wilayah pada
masa awal Islam terhadap pesan-pesan Al-Qur’an. Setiap wilayah memiliki
kekhasan, seperti nada bayati yang lahir dari sebuah keluarga al-Bayâti
di Irak; Nahawand, sebuah kota di Iran; Hijaz, sebuah kota di jazirah Arab;
Rost dan Sika yang berasal dari bahasa Persia. Dari nama-nama tersebut, tidak
semuanya berasal dari Arab, sehingga dapat disebut sebagai nada dan irama Arab
(luhûn al-Arab).
Langgam tersebut mengekspresikan pesan
Al-Qur’an yang ingin disampaikan. Misal, langgam Shabâ, menggambarkan suasana
rohani dan emosi yang menggelora, sehingga sangat tepat untuk ayat-ayat azab
dan kesedihan. Sebaliknya, langgam Nahawand penuh nuansa kegembiraan, sehingga
tepat untuk melantunkan ayat tentang surga dan nikmat karunia Allah lainnya.
Dasar penggunaan nagham, seperti kata qari terkemuka asal Mesir,
Al-Thablawi, adalah makna, bukan sekadar rasa atau karsa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan,
kendati Nabi menganjurkan untuk melantunkan Al-Qur`an dengan suara merdu,
tetapi beliau tidak menetapkan bentuk lagu atau nada dan irama tertentu dalam
bacaan, sehingga kita tidak dapat berkata lagu bacaan Al-Qur`an bersifat tawqîfiy
(ditetapkan). Dengan demikian, varian bacaan terbuka bagi kreatifitas manusia
sepanjang sejarah, sesuai dengan perkembangan estetika dan rasa seni manusia.
Hukum Membaca Al-Qur`an dengan Lagu
Para ulama sepanjang sejarah umat Islam (salaf
dan khalaf) sepakat, seperti dinyatakan oleh al-Nawawi, tentang
kebolehan dan anjuran memperindah suara dalam bacaan Al-Qur`an, dengan
memperhatikan unsur tartîl, yaitu ketepatan dalam melafalkan bacaan
sesuai dengan ilmu tajwid dan qirâ`at. Bacaan indah dan merdu tentu akan
lebih menyentuh dan menambah kekhusyukan dalam hati, serta mendorong akal
pikiran untuk mengambil pelajaran.
Mereka juga bersepakat dalam hal larangan
membaca Al-Qur`an dengan lagu yang dilantunkan secara berlebihan, sehingga
berpotensi merubah kata dan maknanya, seperti membaca pendek huruf yang
seharusnya dipanjangkan, atau sebaliknya memendekkan bacaan huruf yang
seharusnya dibaca panjang. Lagu bacaan yang berlebihan dan berakibat menambah
huruf atau menghilangkannya (al-tamthîth), menurut al-Nawawi, haram
hukumnya. Bukan hanya bagi pembacanya, tetapi seperti kata al-Mawardi, juga
bagi pendengarnya (al-Tibyân fî Âdâb Hamalatil Qur`ân, h. 107-108).
Bagimana jika bacaan yang menggunakan lagu (lahn)
tersebut tidak berlebihan, yaitu tetap memperhatikan kaidah ilmu tajwid dan qirâ`at?
Di sini, para ulama berbeda. Ada yang berpandangan makruh hukumnya, bahkan
mendekati kepada haram (karâhat tahrîm). Pendapat ini dikemukakan oleh
Anas Ibn Malik, Said Ibn al-Musayyab, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Sufyan
Ibn Uyaynah, mayoritas ulama mazhab Maliki dan ulama mazhab Hambali (Syarh
Shahîh al-Bukhari, Ibn Baththal, 10/258).
Ulama lain dari kalangan Sahabat dan tabi’in,
seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Atha Ibn Abi Rabah, membolehkan bacaan
Al-Qur`an dengan lagu. Imam al-Thahawi menjelaskan, Abu Hanifah dan
murid-muridnya biasa mendengarkan Al-Qur`an dilagukan. Demikian pula, Muhammad
bin al-Hakam pernah melihat ayahnya, al-Hakam dan Imam Syafi`i sedang mendengar
bacaan Al-Qur`an yang menggunakan lagu (Ibnu Bathal, 10/261). Berikut ini
argumen para ulama yang melarang dan yang membolehkan.
1. Dalil Ulama yang Melarang
a. Ayat-ayat Al-Qur`an yang menyatakan
keadaan orang-orang yang beriman ketika dibacakan Al-Qur`an hati mereka
bergetar, iman pun bertambah dan air mata bercucuran.
Allah berfirman:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ (2) [الأنفال: 2[
Sesungguhnya orang-orang yang beriman
adalah mereka yang apabila disebut nama Allahgemetar hatinya, danapabila
dibacakan ayat-ayat-Nya kepadamereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada
Tuhan mereka bertawakal, (QS. Al-Anfal; 2)
وَإِذَا
سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ
الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا
فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ [المائدة: 83[
Dan apabila mereka mendengarkan apa
(Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka
mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (dari
kitab-kitab mereka sendiri), seraya berkata, “Ya Tuhan, kami telah beriman,
maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran
Al-Qur'an dan kenabian Muhammad) (QS. Al-Maidah; 83).
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا [محمد: 24[
Maka tidakkah mereka menghayati
Al-Qur'an ataukah hati mereka sudah terkunci? (QS. Muhammad; 24)
Menurut mereka, bacaan Al-Qur`an dengan lagu
akan melalaikan pendengarnya dari rasa khusyuk, dan menjauhkan dari pelajaran
yang seharusnya dapat dipetik.
b. Hadis Nabi yang diriwayatkan Al-Thabrani,
al-Bayhaqi dan al-Hakim al-Turmudzi dari Hudzaifah bin al-Yaman, yang
menyatakan:
اقْرَءُوا
الْقُرْآنَ بِلُحُونِ الْعَرَبِ وأَصْوَاتِها، وَإِيَّاكُمْ ولُحُونَ أَهْلِ
الْكِتَابَيْنِ، وَأَهْلِ الْفسقِ، فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ بَعْدِي قَوْمٌ
يُرَجِّعُونَ بِالْقُرْآنِ تَرْجِيعَ الْغِنَاءِ وَالرَّهْبَانِيَّةِ وَالنَّوْحِ،
لَايُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، مفتونةٌ قُلُوبُهُمْ، وقلوبُ مَنْ يُعْجِبُهُمْ
شَأْنُهُمْ
)الطبراني
في المعجم الأوسط،7/183(
Bacalah Al-Qur`an dengan lagu dan
suara orang Arab. Hindarilah nada dan irama yang biasa digunakan oleh Ahlul
Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang fasik. Sesungguhnya akan datang
suatu saat, setelah aku nanti, kaum yang melagukan bacaan Al-Qur`an seperti
lagu, nyanyian gereja dan tangisan sedih. Bacaan yang tidak sampai melebihi
kerongkongan. Hati mereka sakit terpedaya, sama halnya dengan hati mereka yang
mengaguminya
(HR. Al-Thabrani dalam al-Mu`jam al-Awsath, 7/183).
c. Hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad
dari ‘Abis Ibn Abs al-Ghifari yang menceritakan tanda-tanda kedatangan kiamat,
antara lain:
يَتَّخِذُونَ
الْقُرْآنَ مَزَامِيرَ يُقَدِّمُونَهُ يُغَنِّيهِمْ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ
مِنْهُمْ فِقْهًا (رواه أحمد في مسنده، 25/ 427(
..... Mereka menjadikan Al-Qur`an
sebagai nyanyian. Mereka mendahulukan orang yang melagukan bacaan Al-Qur`an
untuk mereka, meskipun orang tersebut tidak lebih alim dalam hal pemahaman
keagamaan daripada mereka.
d. Rasulullah, dalam suatu hadis, dikabarkan
pernah melarang seorang muazin untuk menggunakan lagu dalam adzannya. Dalam
riwayat Al-Daruquthni dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
إِنَّ
الْأَذَانَ سَهْلٌ سَمْحٌ فَإِنْ كَانَ أَذَانُكَ سَمْحًا سَهْلًا وَإِلَّا
فَلَاتُؤَذِّنْ
)سننالدارقطني،2/
461(
Sesungguhnya azan itu mudah. Kalau
suara azanmu itu mudah silakan, bila tidak maka tidak usah azan (Sunan
al-Daruquthni, 2/461).
Bila dalam azan saja Nabi melarang untuk
mengumandangkannya dengan lagu, apalagi dalam bacaan Al-Qur`an yang mulia.
2. Dalil Ulama yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan bacaan Al-Qur`an
dengan lagu, berdalil sebagai berikut:
a. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari,
Muslim, Ahmad dan al-Nasai dari Abu Hurairah. Rasulullah bersabda:
لَمْ
يَأْذَنِ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِيِّ أَنْ يَتَغَنَّى
بِالقُرْآنِ»،وَقَالَ صَاحِبٌ لَهُ: يُرِيدُ يَجْهَرُبِهِ
“Allah tidak mengizinkan sesuatu
seperti yang pernah diizinkan kepada Nabi (Muhammad) untuk membaca Al-Qur`an
dengan lagu”. Yang dimaksud adalah, “lagu bacaan yang dilantunkan dengan suara
keras”.
Kata ya`dzan dan adzina dalam
hadis, selain bermakna ‘mengizinkan’ juga bermakna ‘mendengarkan’ dan
‘memperhatikan’ (al-istimâ`) (Fath al-Bâri, 9/68).
Sedangkan yataghannâ berasal dari kata al-ghinâ, yang
berarti memperbagus suara dengan lagu. Hadis ini secara tegas memuat kebolehan
dan anjuran untuk melantunkan bacaan Al-Qur`an dengan lagu.
b. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
dari Abu Hurairah.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالقُرْآنِ»،وَزَادَ غَيْرُهُ: «يَجْهَرُبِهِ»
)صحيح
البخاري،9/ 154(
“Bukan termasuk golongan kami yang
tidak melagukan (bacaan) Al-Qur`an”. Yang lain menambahkan, “membacanya dengan
suara keras”.
Ketika ditanya, bagaimana cara melagukannya
jika seseorang tidak memiliki suara yang bagus, Ibnu Abi Malikah, salah seorang
perawi hadis tersebut, mengatakan, ‘hendaknya ia memperbagus bacaannya
semampunya (sekuat tenaga)’.
c. Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh
al-Nasai dari al-Barra RA.
زَيِّنُوا
الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
)سنن
النسائي،2/ 179(
Hiasilah Al-Qur`an dengan suaramu
(yang indah)
Selain al-Nasai, hadis ini juga diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad (4/283), Abu Daud dan Ibnu Majah
dalam kitab al-Sunan, Ibnu Hibban dalam kitab Shahîh-nya (660),
dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Hadis ini dinilai sahih oleh
ulama, seperti Imam al-Dzahabi dan al-Albani. Yang dimaksud menghiasi Al-Qur`an
dengan suara, membacanya dengan suara yang indah. Menghiasinya berarti
membacanya dengan bacaan indah yang memiliki nada dan irama yang enak didengar.
d. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
dari Abdullah Ibn Mughaffal.
حَدَّثَنَا
أَبُو إِيَاسٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَاللَّهِ بْنَ مُغَفَّلٍ، قَالَ:
«رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ وَهُوَ عَلَى
نَاقَتِهِ أَوْجَمَلِهِ، وَهِيَ تَسِيرُ بِهِ، وَهُوَ يَقْرَأُ سُورَةَ الفَتْحِ-
أَوْ مِنْ سُورَةِ الفَتْحِ – قِرَاءَةً لَيِّنَةً يَقْرَأُ وَهُوَ يُرَجِّعُ»
)صحيح
البخاري، 6/ 195(
Abdullah Ibn Mugahffal berkata, “Aku
pernah melihat Rasulullah membaca (Al-Qur`an) di atas kendaraan onta yang
sedang berjalan. Beliau membaca surah al-Fath, atau sebagian surah al-Fath,
dengan bacaan yang lembut dan (seperti) mengulang-ulang (bacaan karena irama
lagu).
Perawi hadis ini, Abdullah Ibn Mughaffal,
menjelaskan cara bacaan Nabi yang disebut tarjî` dengan membaca panjang
huruf alif sebanyak tiga kali. Menurut Ibn al-Qayyim, ini dilakukan oleh Nabi
secara sengaja di saat melantunkannya dengan lagu (Zâd al-Ma`âd, 1/483),
bukan terpaksa karena hentakan dan gerakan onta yang dikendarainya, seperti
kata al-Qurthubi (Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, 1/15).
e. Hadis Rasul yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari yang berisikan pujian kepada Abu Musa al-Asy`ari setelah mendengar
bacaannya yang merdu.
عَنْ
أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ: «يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ
مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ»
)صحيح
البخاري،6/ 195(
Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah
diberi ‘seruling’ (suara merdu) yang pernah diberikan kepada Nabi Daud.
Menurut pakar hadis, al-Khattabi, yang
dimaksud Âlu Dâwûd adalah Nabi Daud sendiri, bukan keluarganya, baik
anak-anak maupun kerabatnya, sebab tidak ada sumber yang menjelaskan bahwa
keluarga Nabi Daud memiliki suara bacaan yang merdu. Menurut riwayat Ibnu
Abbas, Nabi Daud dikenal sering melantunkan pujian dan doa yang terdapat dalam
Zabur dengan nada dan irama yang mencapai tujuh puluh varian lagu.
f. Hadis riwayat al-Bukhari dari al-Barra
yang menceritakan keindahan suara bacaan Nabi.
حَدَّثَنَا
عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ، سَمِعَ البَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " يَقْرَأُ: وَالتِّينِ
وَالزَّيْتُونِ فِي العِشَاءِ، وَمَا سَمِعْتُ أَحَدًا أَحْسَنَ صَوْتًا مِنْهُ
أَوْ قِرَاءَةً "
)صحيح
البخاري، 1/ 153(
Al-Barra RA berkata, “Aku pernah
mendengar Nabi membaca surah al-Tîn di waktu salat Isya. Sungguh, tidak pernah
aku mendengar seseorang yang memiliki suara dan bacaan yang baik dan indah
melebihi suara dan bacaan Nabi”.
Menurut pakar hadis, Ibnu Hajar al-Asqalani,
hadis ini menjelaskan tingkatan perbedaan suara bacaan dari segi nagham
(nada dan irama) (Fath al-Bâri, 13/136). Tidak ada seorang pun yang
mengungguli keindahan bacaan Nabi dari segi lagu.
3. Tinjauan Dalil Yang Melarang dan
Yang Membolehkan
Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan,
baik oleh yang melarang maupun yang membolehkan, dapat disimpulkan pangkal
persoalan yang menimbulkan perbedaan pandangan dalam hal ini adalah
ketidakpastian tentang formula suara bacaan yang indah seperti dianjurkan dan
dicontohkan oleh Nabi. Yang menolak berpendapat, memperindah bacaan berarti
membacanya dengan tartîl dan secara alamiah, tidak dipaksakan dan tidak
dibuat-buat dalam bentuk nada dan irama yang disepakati seperti dalam dunia
musik.
Hadis al-taghannî bi al-Qur`ân yang
dijadikan dalil kebolehan oleh yang mendukung lagu, seperti pada poin 1
dan 2, mereka tolak. Mengutip dari Sufyan bin Uyaynah, lam yataghanna bi
al-Qur`ân diartikan tidak merasa cukup dengan Al-Qur`an, sehingga masih
membutuhkan yang lainnya. Al-taghannî dalam arti al-istighnâ
(tidak merasa cukup) biasa digunakan dalam bahasa Arab klasik. Pengertian ini
didukung oleh Waki` Ibn al-Jarrah, dan sepertinya menjadi makna pilihan Imam
al-Bukhari, sebab ia mengutipnya setelah menyebutkan hadis tersebut (Shahih
al-Bukhari, 6/191), dan mengaitkannya dengan firman Allah :
أَوَلَمْ
يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ
]العنكبوت:
51[
Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa
Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) yang dibacakan kepada mereka?( QS. Al-Ankabut; 51)
Argumen ini ditolak oleh ulama yang mendukung
kebolehan lagu dalam bacaan Al-Qur`an. Meskipun secara bahasa kata al-taghannî
bisa diartikan al-istighnâ, tetapi sejumlah hadis turut menjelaskan
bahwa yang dimaksud yataghannâ pada hadis tersebut adalah membacanya
dengan lagu. Sama halnya dengan ayat-ayat Al-Qur`an, hadis-hadis Nabi saling
menafsirkan antara satu dengan lainnya (yufassiru ba`dhuhu ba`dhan).
Dalam satu riwayat dari Imam Muslim, kalimat yataghannâ
bi al-Qur`an, didahului dengan kata ‘hasani al-shawt’ (pemilik suara
indah), dan ditegaskan pada akhirnya bahwa yang dimaksud dengan yataghannâ
bi al-Qur`an adalah yajharu bihi (melantunkannya dengan suara
keras).
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
يَقُولُ: «مَا أَذِنَ اللهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ
يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ، يَجْهَرُ بِهِ»
)صحيحمسلم،1/
545(.
Dari Abu Hurairah RA, ia pernah mendengar
Rasulullah Saw bersabda, “Allah tidak mengizinkan sesuatu seperti yang
pernah diizinkan kepada Nabi (Muhammad) pemilik suara indah dan merdu untuk
membaca Al-Qur`an dengan lagu, dengan mengeraskan suara bacaannya” (HR.
Muslim).
Menurut al-Thabari, hadis ini menjadi dalil
dan penjelasan yang paling tegas bahwa yang dimaksud adalah membacanya dengan
lagu. Kalau benar apa yang dikatakan Ibnu Uyaynah, bahwa yang dimaksud adalah al-istighnâ,
maka penyebutan kata hasan al-shawt dan yajharu bihi tidak
bermakna apa-apa (Fath al-Bâri, 9/87, Zâd al-Ma`âd, 1/486).
Imam Syafi`i, ketika ditanya tentang
pandangan Ibnu Uyaynah di atas, menjawab, “kami lebih mengerti tentang makna
dimaksud. Seandainya yang dimaksud al-istighnâ (tidak merasa cukup),
maka redaksi hadis tersebut akan berbunyi, lam yastaghni bi al-Qur`an.
Tetapi ketika Rasulullah menyatakan, yataghannâ bi al-Qur`ân, maka dapat
dipahami bahwa yang dimaksud adalah membacanya dengan lagu” (Al-Jâmi` li
Ahkâm al-Qur`ân, Al-Qurthubi, 1/13).
Dalam riwayat yang dikutip oleh pakar hadis,
Ibnu Hajar, dari Abu Hurairah, terdapat redaksi “hasani al-tarannum bi
al-Qur’ân” (seseorang melagukan bacaan Al-Qur`an dengan baik) (Fath
al-Bâri, 9/87) yang semakin mempertegas bahwa yang dimaksud yataghannâ
adalah melagukannya. Dalam al-Sunan al-Kubrâ li al-Bayhaqi,
redaksi hadisnya berbunyi:
مَا
أَذِنَ اللهُ لِشَيْءٍ إِذْنَهُ لِنَبِيٍّ حَسَنِ التَّرَنُّمِ بِالْقُرْآنِ
)السنن
الكبرى للبيهقي، 10/ 386(
Allah tidak memberi izin untuk sesuatu
seperti izin yang diberikan kepada Nabi yang pandai melantukan bacaan Al-Qur`an
dengan lagu (al-Sunan al-Kubrâ, 10/386)
Selanjutnya, dalam dua hadis yang menjadi
dalil larangan membaca dengan lagu, tersirat kesan melantunkan bacaan Al-Qur`an
dengan lagu adalah tradisi ahlul kitab dan orang-orang fasik yang tidak perlu
ditiru. Meniru mereka berarti akan termasuk golongan mereka (man tasyabbaha
biqawmin fahuwa minhum). Seandainya riwayat hadis ini benar tersambung
kepada Rasulullah, tentu dapat menjadi pedoman. Tetapi para ulama hadis menilai
ketiga hadis tersebut lemah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Hadis yang pertama, diriwayatkan oleh
al-Hakim al-Turmudzi dalam Nawâdir al-Ushûl, al-Thabrani dalam al-Mu`jam
al-Awsath dan al-Bayhaqi dalam Syu`ab al-Îmân, dengan mata rantai
sanad/ periwayatan dari Baqiyyat Ibn al-Walid, dari al-Hushain al-Fazari,
dari Abu Muhammad, dari Huzaifah Ibn al-Yaman. Menurut Imam al-Dzahabi dalam
kitab al-Mîzân, ada tiga alasan yang membuat hadis tersebut cacat
sehingga tertolak, pertama: Baqiyyat meriwayatkan seorang diri, dan dia tidak
bisa dijadikan sandaran; kedua: dari segi redaksi hadis tersebut juga janggal
dan tertolak (munkar), dan; ketiga: Abu Muhammad tidak diketahui siapa
dia (majhûl) (Al-Mîzân).
Sedangkan pada hadis yang kedua, di antara
perawinya terdapat Abu al-Yaqzhân Usman bin Umayr, yang disepakati lemah oleh
para ulama hadis, dan Zâdzân yang disangsikan kebenaran akidahnya dan dikenal
banyak bicara, sehingga dinilai lemah.
Hal yang sama terjadi pada hadis yang
melarang azan dengan menggunakan lagu. Bahkan, salah seorang perawi hadis itu,
yaitu Ishaq bin Abi Yahya al-Ka`biy, oleh al-Daruquthni sendiri dinyatakan
dha`if, dan oleh pakar kritik hadis, Imam al-Dzahabi, dinyatakan hadis-hadisnya
banyak yang munkar (tertolak) (Mîzân al-I`tidâl, 1/205).
Ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh ulama
yang melarang lagu dalam bacaan Al-Qur`an, tidak mengandung penegasan
menggunakan lagu terlarang. Ayat-ayat tersebut berisikan etika yang harus
diperhatikan oleh siapa pun yang membaca Al-Qur`an, baik menggunakan lagu maupun
tidak. Al-Qur`an memang untuk dipahami dan dihayati (tadabbur)
pesan-pesannya. Penggunaan lagu justru dimaksudkan untuk mendukung tercapainya
penghayataan tersebut. Menurut pakar hadis Ibnu Hajar al-Asqalani, jiwa manusia
lebih senang dan lebih condong kepada bacaan yang menggunakan lagu daripada
yang tidak, sebab lagu akan lebih mudah mengetuk hati, sehingga air mata
bercucuran saat dibacakan Al-Qur`an (Fath al-Bâri, 9/88-89).
Berdasarkan tinjauan di atas dapat
disimpulkan dalil yang digunakan oleh ulama yang berpandangan boleh menggunakan
lagu dalam bacaan Al-Qur`an lebih kuat dibanding dalil yang melarangnya.
Seperti disimpulkan oleh ulama hadis, Ibnu Hajar, membaca Al-Qur`an dengan
suara merdu itu sangat diperlukan, dan salah satu cara memperbagusnya adalah
dengan menggunakan kaidah dalam nagham, dan pada saat yang sama juga
memperhatikan kaidah ilmu tajwid dan qira`at. Nagham tidak berarti
apa-apa ketika tajwid dilanggar. Tetapi ketika keduanya dapat berjalan
beriringan, maka tentu akan menambah keindahan bacaan seperti dianjurkan oleh
Nabi (Fath al-Bari, 9/89).
Dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an banyak
orang berlomba menulis teksnya (mushaf) dengan khath/kaligrafi (tulisan)
yang indah. Bahkan, segala daya dan upaya dilakukan untuk itu. Memperindah bacaan
Al-Qur`an dengan lagu tidak kalah pentingnya dengan memperindah tulisan, sebab
tujuannya sama, yaitu mengagungkan dan memuliakan Al-Qur`an.
D. Hukum Membaca dengan Langgam Jawa
atau Lainnya
Gagasan dan langkah yang diambil Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin menuai kontroversi. Apakah dalam melagukan
bacaan dibolehkan menggunakan langgam selain langgam yang sudah populer,
seperti langgam Jawa atau lainnya yang berasal dari kawasan Nusantara? Ada
yang setuju dan ada yang menolak. Ide ini, konon pernah dilontarkan oleh A.
Mukti Ali, Menteri Agama di era tahun tujuh puluhan, tetapi ditentang oleh
banyak ulama kemudian tenggelam bersamaan dengan berlalunya waktu. Di Mesir,
pada tahun 1958, koran ternama al-Ahrâm memberitakan lima surah dalam
Al-Qur`an telah disusun nada dan irama bacaan seperti dalam musik oleh Shaleh
Amin, seorang pengawas musik pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada
awal tahun 1958, harian al-Akhbâr di Mesir memberitakan seorang musikus,
Zakariya Ahmad, akan membuat aransemen baru dalam langgam bacaan Al-Qur`an
seperti dalam musik yang selama ini ia tekuni. Gagasan ini tidak berlanjut dan
kemudian hilang dengan sendirinya.
Sebelum membahas dalil dari masing-masing
yang mendukung dan yang menolak, perlu disepakati pentingnya melihat masalah
ini secara obyektif, dari kaca mata hukum syar`i, dan bukan semata emosi. Tidak
sedikit, hemat penulis, yang kehilangan obyektifitasnya dan lebih mengedepankan
emosi dan reaksi yang berlebihan, terutama dari mereka yang menolak.
Retorika lebih mengemuka ketimbang logika,
sehingga kalimat-kalimat yang keluar seperti serangan dan ancaman, bukan
ungkapan pikiran. Paling tidak, ini yang penulis lihat, dengar dan rasakan
dalam pertemuan ormas-ormas Islam (Front Pembela Islam/FPI, Front Umat
Islam/FUI, Forum Betawi Bersatu/FBB, Hizbut Tahrir Indonesia/HTI dan Majelis
Mujahidin/MM) dengan Menteri Agama, kamis, 28 Mei 2015, di gedung Kementerian
Agama.
Nada serupa dapat dibaca dalam buku kecil
yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (FPI) berisikan
kumpulan berita dan artikel FPI untuk ganyang liberal, yang diberi judul Ahlussunnah
vs Ahlul Fitnah, Membongkar Propaganda JIN (Jaringan Islam Nusantara), Di Balik
Baca Al-Qur`an dengan Langgam Jawa. Kecaman terhadap ulama yang mendukung
langgam pun mengalir dengan berbagai tuduhan yang tidak sepatutnya dilontarkan
kepada ulama, terlepas dari setuju atau tidak dengan pandangan yang
dikemukakannya.
Boleh jadi ada yang tidak nyaman dengan
langgam tersebut dan marah. Meski itu manusiawi, tetapi tidak sepatutnya
kemarahan itu membawa kepada sikap yang tidak sepantasnya dalam menyikapi
persoalan khilafiah keagamaan. Sesama Muslim kita diminta untuk selalu
berprasangka baik, lebih-lebih kepada ulama yang memiliki kemampuan untuk
menimbang berbagai persoalan hukum dalam kerangka ijtihad.
Melihat retorika para penolak langgam Jawa,
terdapat banyak faktor yang menambah runyam persoalan ini. Mulai dari persoalan
politik, etnik sampai kepada persoalan ‘perang pemikiran’ (al-ghazw al-fikriy),
membuat polemik soal langgam semakin ramai, seperti minyak yang ditumpahkan ke
dalam api yang sedang membara. Yang tidak ahli pun ikut berbicara,
sampai-sampai tidak bisa membedakan antara nagham(nada, irama, langgam),
tilawah dan qirâ`at. Oleh karenanya, pada bagian ini, penulis akan
membuang jauh-jauh hal-hal yang tidak terkait langsung dengan inti masalah, dan
hanya fokus pada argumen syar`i masing-masing pihak yang menolak dan yang
mendukung.
1. Dalil Yang Menolak
Mereka yang tidak setuju sebenarnya terbagi
dua. Pertama; yang mengikuti pandangan ulama yang mengatakan makruh hukumnya
membaca Al-Qur`an dengan lagu atau langgam apa pun, kedua: yang mengatakan
boleh menggunakan lagu/langgam, tetapi dibatasi pada langgam-langgam yang sudah
populer.
Dalil-dalil kelompok pertama telah dibahas
pada bagian terdahulu. Pada bagian ini akan dibahas dalil kelompok kedua yang
mengatakan boleh tetapi hanya dengan langgam-langgam yang sudah populer. Dalil
mereka antara lain sebagai berikut:
a. Al-Qur`an diturunkan dengan lisan dan
bahasa Arab (qur’ânan `arabiyyan – bi lisânin `arabiyyin mubîn).
Oleh karenanya, membacanya juga harus dengan cara lisan Arab, tidak boleh
dengan cara Jawa atau lainnya. Alasan ini juga diperkuat dengan hadis yang
telah dikemukakan di atas, “bacalah Al-Qur`an dengan langgam dan suara orang
Arab (iqra`û al-qur`âna bi luhûn al-`arabi wa ashwâtihâ).
b. Membaca Al-Qur`an dengan langgam Jawa
dianggap mempermainkan dan memperolok (istihzâ) bacaan yang sangat
mulia. Allah melarang untuk menjadikan Al-Qur`an sebagai bahan olok-olokan.
Dalam dialog antara ormas-ormas Islam dengan Menteri Agama, Ketua FUI,
Al-Khattat, menyitir firman Allah yang berbunyi:
كَمَا
أَنْزَلْنَا عَلَى الْمُقْتَسِمِينَ (90) الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْآنَ عِضِينَ
(91(
Sebagaimana (Kami telah memberi
peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang yang memilah-milah
(Kitab Allah), (yaitu) orang-orang) yang telah menjadikan Al-Qur'an itu
terbagi-bagi
(QS. Al-Hijr; 90-91).
Demikian argumen penolakan yang dikemukakan.
Hadis yang menyatakan “Bacalah Al-Qur`an dengan langgam dan suara orang Arab (iqra`û
al-qur`âna bi luhûn al-`arabi wa ashwâtihâ), jika sahih tentu akan menjadi
kata pemutus dan yang harus dipedomani dalam masalah ini. Tetapi, seperti telah
dikemukakan terdahulu, hadis ini dha`if, tidak bisa
dipertanggungjawabkan kesahihannya. Seandainya hadis ini benar, pertanyaan
selanjutnya, bagaimana langgam dan suara bacaan Arab yang sesungguhnya? Fakta
sejarah menunjukkan, jenis-jenis nagham (lagu/langgam) yang populer
sekarang ini tidak semua berasal dari Arab, tetapi sebagian dari Persia, dan
baru berkembang belakangan, jauh setelah masa Rasul. Seandainya hadis itu
benar, maka sejumlah nagham yang populer saat ini, seperti Sikah,
Jiharkah, Nahawand dan Rost, tidak boleh digunakan, karena bukan berasal dari
Arab.
Oleh karenanya, kita tidak dapat berkata
bahwa yang membaca Al-Qur`an dengan langgam selain Arab telah melanggar
syariat, karena tidak ada ketentuan syariat dalam hal ini. Sama halnya kita
tidak dapat berkata bahwa yang membaca dengan langgam Jawa telah mempermainkan
atau memperolok-olok Al-Qur`an (istihzâ). Kita tentu berbaik sangka,
seorang Menteri Agama di sebuah negara Muslim terbesar tidak mungkin berani
mempermainkan atau melecehkan Al-Qur`an. Terlalu besar pertaruhannya. Kita
tidak berhak untuk mengetahui hakikat yang sesungguhnya dari isi hatinya.
Hakikat isi hati manusia (al-sarâ`ir) adalah hak prerogatif Allah. Oleh
karenanya, Rasulullah murka ketika mengetahui Usamah bin Zaid tetap membunuh
orang yang sudah menyerah dan mengucapkan kalimat syahadat, karena Usamah
mengira bahwa itu dilakukan sekadar pura-pura untuk menyelamatkan jiwa dan
hartanya.
Ayat yang dikutip oleh al-Khattat juga tidak
tepat, sebab yang dimaksud ayat itu adalah ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dan
orang-orang musyrik serta yang sejalan dengan mereka, yang membenarkan sebagian
isi Al-Qur`an dan menolak sebagian lainnya. Bahkan, seperti disebutkan dalam
beberapa kitab tafsir, orang-orang musyrik membagi-bagi para tokoh mereka,
seperti al-walid Ibn al-mughirah, ubah bin al-walid, al-Nadhr Ibn al-Harits dan
lainnya, untuk menghadapi Nabi Muhammad dengan tuduhan-tuduhan palsu, seperti
mengatakan Al-Qur`an adalah sihir, dongeng, ucapan penyair, ucapan dukun atau
orang gila, dan sebagainya. Mereka itulah yang disebut al-muqtasimîn,
begitu pula yang sejalan dengan mereka. (Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 14/86).
Memang benar Al-Qur`an menyebut dirinya
sebagai qur`ânan `arabiyyan – bilisânin `arabiyyin mubîn, tetapi Arab
yang dimaksud pada ungkapan tersebut adalah bahasanya. Al-Qur`an diturunkan
dalam bahasa Arab yang jelas dan fasih; menggunakan huruf, kalimat dan ungkapan
yang biasa digunakan oleh masyarakat Arab saat diturunkannya Dengan begitu,
Al-Qur`an mudah diterima dan dipahami.
2.Dalil yang Mendukung Langgam Jawa
Mereka yang membolehkan bacaan langgam Jawa
atau lainnya, berpegangan pada dalil-dali sebagai berikut;
a. Hadis-hadis Nabi yang membolehkan dan
menganjurkan untuk membaca Al-Qur`an dengan suara yang merdu, termasuk dengan
lagu/ langgam tertentu, seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu.
Dalil-dalil ulama yang membolehkan penggunaan lagu dalam bacaan Al-Qur`an juga
menjadi dalil utama yang membolehkan langgam Jawa atau lainnya.
b. Berdasarkan informasi hadis-hadis
tersebut, diketahui bahwa Nabi tidak menentukan jenis lagu atau langgam
tertentu, dan tidak ada larangan terkait jenis lagu atau langgam tertentu, baik
secara tersirat maupun tersurat. Dalam persoalan agama, halal dan haram ditetapkan
melalui dalil yang tegas dari Al-Qur`an, atau Sunnah Nabi Saw, atau ijma`
ulama. Dalam hal yang tidak ditemukan dalil halal dan haramnya, terutama dalam
masalah muamalat, maka hukum asalnya adalah boleh. Dalam kaidah fiqih
disebutkan, al-ashlu fil asyyâ`i al-ibâhatu (hukum asal segala sesuatu
adalah boleh).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bazzar dari Abu Darda RA, Rasululllah bersabda:
مَا
أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا
سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوا مِنَ اللَّهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ
اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا، ثُمَّ تَلا هَذِهِ الآيَةَ: {وَمَا كان
ربك نسيا} (مسند البزار = البحر الزخار (10/ 26(
Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam
kitab-Nya itu (jelas) halal. Apa yang diharamkan itu (jelas) haram, dan apa
yang didiamkan itu adalah bentuk kemudahan dan toleransi, maka terimalah
kemudahan dari Allah itu, sebab Allah tidak mungkin lupa (dengan membiarkan
atau mendiamkan itu). Kemudian beliau membaca firman Allah yang berbunyi;
Tuhanmu tidak pernah lupa (Musnad al-Bazzar)
Hadis serupa juga diriwayatkan oleh al-Hakim
dalam al-Mustadrak (2/375) dan dinilai sahih oleh al-Dzahabi, dan
al-Thabrani dalam al-Mu`jam al-Kabîr, yang dinilai hasan(baik)
riwayatnya oleh al-Haytsami (Majma` al-Zawâid, 1/171)
c. Membaca Al-Qur`an dengan tartîl,
sesuai ketentuan bacaan, dan dengan berbagai varian qirâ`at adalah
ibadah, yang harus tunduk pada tata cara membaca yang dicontohkan oleh Nabi.
Ketiadaan jenis langgam atau lagu tertentu dari Nabi menunjukkan bahwa
persoalan langgam atau lagu adalah bagian dari adat dan kebiasaan yang
dikembalikan kepada manusia dengan memperhatikan kondisi setiap orang atau
masyarakat.
Pakar hukum Islam, Imam Syathibi dalam kitab al-Muwâfaqât
merumuskan sebuah kaidah yang sangat penting:
الْأَصْلُ
فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ
إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي
Hukum asal dalam masalah ibadah bagi seorang mukallaf
(Muslim) adalah al-ta`abbud (mencontoh dan mengikuti ketentuan Allah dan
Rasulnya), tanpa perlu mencari atau mempertanyakan alasan dan makna di balik
penetapannya. Sedangkan hukum asal masalah adat dan kebiasaan (mu’amalât)
adalah mencari makna, alasan dan hikmah di balik itu (Al-Muwâfaqât,
2/513).
d. Sebagai bagian dari adat dan kebiasaan,
komunitas Muslim di berbagai wilayah memiliki langgam dan lagu yang
berbeda-beda dalam membaca Al-Qur`an, karena perbedaan cara melafalkan, meski
tidak menyalahi kaidah ilmu tajwid. Muslim Indonesia boleh jadi akan merasa
aneh mendengar langgam orang Maroko, Sudan atau negara-negara Afrika lainnya,
misalnya, dalam membaca Al-Qur`an, karena memiliki nada dan irama yang khas
masing-masing wilayah. Keragamaan bahasa dan cara melafalkannya adalah bagian
dari tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Allah berfirman:
وَمِنْ
آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ
وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ ]الروم: 22[
Dan di antara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna
kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mengetahui (QS. Al-Rum; 22).
e. Langgam adalah bagian dari seni yang
mengandung unsur keindahan yang bisa dirasakan oleh akal, fitrah dan jiwa
manusia. Keindahan adalah bagian dari al-tahyyibât (hal-hal yang baik)
yang dihalalkan oleh Allah Swt. Salah satu misi risalah Nabi Muhammad SAW
adalah menghalalkan yang baik-baik (al-thayyibât). Allah berfirman:
الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا
عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ
عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي
كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ
وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
]الأعراف:
157[
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti
Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka
berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan
segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka,
dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.Adapun
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti
cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah
orang-orang beruntung
(QS. Al-Araf; 157).
قُلْ
مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ
الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً
يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
]الأعراف:
32[
Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya
dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang
beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari
Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang
mengetahui
(QS. Al-A’raf; 32).
Demikian beberapa argumen yang membolehkan.
Penulis melihat argumen kelompok yang membolehkan lebih kuat daripada yang
melarangnya, sehingga cenderung membolehkan dengan beberapa syarat. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melantunkan bacaan Al-Qur`an dengan
menggunakan langgam selain yang sudah populer, antara lain :
a. Memperhatikan kaidah-kaidah ilmu tajwid,
seperti panjang pendek bacaan, makhârijul hurûf, waqaf-ibtidâ`,
dan lain sebagainya. Jangan sampai karena terbawa dan terpengaruh langgam,
panjang pendek bacaan dan makhârijul hurûf menjadi tidak tepat, sehingga
berpotensi mengubah lafal dan merusak arti.
Salah baca karena pengaruh lagu,
tercatat pertama kali dilakukan oleh al-Haitsam dan Ibnu A`yun, qari pada abad
ke-2 hijriah. Dalam bacaan, keduanya sering terdengar mengubah huruf, seperti
limasâkîn menjadi limiskîn,yang berpotensi merubah redaksi dan merusak arti.
Menurut pakar hadis, Ibnu Hajar al-Asqalani,
yang mensyarah kitab Shahîhal-Bukhârî,memperindah bacaan Al-Qur’ansangat
dianjurkan. Tetapi hendaknya memperhatikan aturan baca (kaidah tajwid) agar
terhindar dari kesalahan. Alasan inilah yang mendasari Lembaga Fatwa Mesir (Dâr
al-Iftâ') melarang lantunan Al-Qur`andengan lagu bila ternyata bacaan
tersebut tidak sesuai kaidah. Para ulama sepakat, jika bacaan dengan lagu itu
melanggar kaidah ilmu tajwid danqira’atmaka tidak diperbolehkan.
وَحَكَى
الْمَاوَرْدِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْقِرَاءَةَ بِالْأَلْحَانِ إِذَا
انْتَهَتْ إِلَى إِخْرَاجِ بَعْضِ الْأَلْفَاظِ عَنْ مخارجها حرم
Imam al-Mawardi meriwayatkan dari Imam
Syafi`i, bacaan dengan lagu, bila dilantunkan secara tidak tepat makhrajnya,
hukumnya haram
(Fath al-Bari, 9/72).
Fenomena menyimpang karena lagu bacaan,
diidentifikasi Mustafa Shadiq Rafi`i, seorang sastrawan pengkaji i`jâzAl-Qur`an
asal Mesir, dalam beberapa bentuk; at-Tar’qîsh, yaitu sengaja berhenti
pada huruf mati, namun menghentakkan bacaan pada huruf hidup secara tiba-tiba,
seakan-akan sedang melompat atau berjalan cepat (meliuk-liuk seperti penari); at-Tahzîn, yaitu
membaca dengan mimik atau gaya yang dibuat sedih atau hampir menangis yang
bertujuan semata-mata sebagai daya tarik bagi pendengar; at-Tar‘ìd,
yaitu mengalunkan suara yang terlalu bergetar sehingga seperti suara orang
kedinginan atau kesakitan, dan; At-Tathrîb, yaitu mendendangkan dan
melagukan Al-Qur`ansehingga membaca panjang (madd) bukan pada tempatnya,
atau menambahnya bila kebetulan pada tempatnya.
b. Memperhatikan adab tilawah, antara lain
disertai niat ikhlas karena Allah, menghadirkan kekhusyukan, tadabbur
(penuh penghayatan dan pemaknaan/meresapi makna), ta’atstsur dan tajâwub
(responsif terhadap pesan ayat yang sedang dibaca), sehingga merasakan
kesedihan bahkan menangis saat dibaca ayat-ayat siksa dan kepedihan, misalnya.
c. Tidak berlebihan (isrâf) dan tidak
dibuat-buat (takalluf). Dalam segala sesuatu, seperti makan, minum,
berpakaian dan sebagainya, Allah melarang manusia untuk berlebihan. Firman-Nya:
يَابَنِي
آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
وَلَاتُسْرِفُوا إِنَّهُ لَايُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
]الأعراف:
31[
Wahai anak cucu Adam! Pakailah
pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi
jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS. Al-A`raf; 31).
Langgam bacaan yang berlebihan dan
dibuat-buat akan berpotensi melanggar kaidah-kaidah bacaan (tajwid) dan
mengalahkan bacaan untuk kepentingan lagu/ langgam. Imam Nawawi berkata:
أَجْمَعَ
الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ تَحْسِينِ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ مَا لَمْ
يَخْرُجْ عَنْ حَدِّ الْقِرَاءَةِ بِالتَّمْطِيطِ فَإِنْ خَرَجَ حَتَّى زَادَ
حَرْفًا أَوْ أَخْفَاهُ حَرُمَ
Para ulama sepakat tentang anjuran
memperbagus suara bacaan Al-Qur`an, selama bacaan itu tidak keluar batas, dan
kalau sampai keluar batas yang berakibat menambah atau mengilangkan/
menyembunyikan huruf maka haram hukumnya.
d. Langgam yang digunakan hendaknya tidak
berasal dari lagu atau langgam yang biasa digunakan dalam hal kemaksiatan atau
menjauhkan seseorang dari ingatan kepada Yang Mahakuasa.
e. Tidak diringi dengan musik yang dapat
mengganggu kekhusyukan pembaca dan atau pendengar, sehingga tujuan membaca
Al-Qur`an, yaitu men-tadabburi nya, tidak tercapai. Sebab Al-Qur`an
adalah kalamullâh yang harus diperlakukan berbeda dengan kalam lainnya.
Demikian beberapa syarat dan ketentuan yang
harus diperhatikan ketika menggunakan langgam Jawa atau Nusantara dalam
melantunkan bacaan Al-Qur`an. Ketentuan ini juga berlaku bagi siapa pun yang
akan menggunakan langgam apa pun.
Meski dibolehkan, tetapi bacaan langgam
Nusantara masih memerlukan waktu panjang untuk bisa diterima semua kalangan,
baik di tingkat lokal maupun internasional. Hemat penulis, paling tidak ada dua
tantangan yang terkait dengan pengembangan langgam nusantara dalam bacaan
Al-Qur`an; pertama; menjadikannya bersifat universal, sehingga akrab di
telinga semua orang, dan itu perlu waktu untuk memopulerkannya. Sejauh ini,
langgam-langgam Nusantara belum bersifat universal. Berbeda dengan langgam yang
sudah populer di dunia lainnya yang bila dibaca oleh Muslim manapun dari
seluruh dunia itu akan bisa diresapi. Langgam Nusantara ini masih perlu waktu
panjang untuk bisa bersifat universal atau bisa diterima semua pihak,dan pada
akhirnya nanti langgam-langgam itu akan terseleksi secara alami.
Kedua; seperti dijelaskan
terdahulu, naghamât dalam berbagai bentuk dan tingkatannya yang telah
populer itu mampu mengekspresikan pesan-pesan Al-Qur`an, sehingga makna dan
lagu bisa beriringan. Lalu bagaimana dengan langgam Nusantara? Apakah nada
dalam langgam Nusantara dapat mengekspresikan ragam pesan Al-Qur`an? Dalam
langgam Jawa misalnya kita mengenal Kinanthi yang bersifat senang, asih
dan kasmaran dan mituturi (memberi pitutur); Asmarandhana menggambarkan
tresna, sengsem, sedih (cinta); Dandhanggula berwatak luwes,
gembira, indah (biasanya sebagai pembuka lagu dalam langgam Jawa); Pangkur
mencerminkan seneng, nepsu (marah), gandrung (kasmaran); Durma
yang berwatak nepsu (marah), gereget dan menggambarkan amarah dan
semangat perang, dan sebagainya.
Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi
para ahli, baik dalam bidang musik maupun Al-Qur`an. Tidak mudah untuk
menyelaraskan antara langgam, tajwid dan pesan makna. Yang tak kalah sulitnya
juga, membuat langgam tersebut diterima oleh semua kalangan, bukan etnis
tertentu saja. Dan pada akhirnya, waktulah yang akan menguji, apakah gagasan
ini akan terus berlanjut dan berkembang, atau terkubur dalam perjalanan waktu.
Demikian, wallahua`lam. []
*) Penulis adalah Kepala Lajnah
Pentshihan Al-Quran Kementerian Agama Republik Indonesia. Makalah ini
disampaikan dan dibagikan secara umum dalam Seminar Nasional ”Kontroversi
Tilawah Langgam Nusantara” yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Jam’iyyatul
Qurra` Wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) pada 16 Juni 2015 di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar