Kamis, 25 Juni 2015

(Ngaji of the Day) Menimbang Argumen Bacaan Al-Qur’an Langgam Nusantara



Menimbang Argumen Bacaan Al-Qur’an Langgam Nusantara
Oleh: Muchlis M. Hanafi

Al-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Cahayanya menjadi penerang bagi manusia dalam meniti jalan menuju kebahagiaan. Sebagai karunia terbesar, Al-Qur`an menjadi obat penyejuk hati dan rahmat bagi siapa pun, lebih-lebih yang berpegang teguh pada petunjuknya. Tak heran, bila umat Islam sepanjang sejarah berupaya memberi perhatian terhadap segala sesuatu yang terkait Al-Qur`an. Tidak ada kitab apa pun di dunia ini yang mendapat perhatian melebihi perhatian umat Islam terhadap Al-Qur`an, mulai dari tulisan, bacaan dan hafalan, sampai kepada pemahaman dan pengamalan. Tidak berlebihan bila ada pakar yang berkata, Al-Qur`an telah menjadi poros bagi peradaban Islam.

Bacaan Al-Qur`an mendapat perhatian besar, bukan saja karena setiap huruf yang dibaca mendatangkan pahala, tetapi juga karena bacaan yang berkualitas akan menambah keimanan dan ketenangan (QS. Al-Anfal: 2). Ketika dibacakan Al-Qur`an, hati orang beriman akan bergetar, dan kulit pun merinding karena keagungan kalam Tuhan (QS. Al-Zumar: 23). Bahkan, seperti dilukiskan dalam QS. Al-Hasyr: 21 gunung-gunung pun tertunduk khusyuk dan pecah berkeping-keping seandainya Al-Qur`an diturunkan kepadanya.

Bacaan dengan suara yang indah dan merdu, lebih-lebih Al-Qur`an, akan lebih menyentuh dan menambah kekhusyukan hati serta menarik perhatian untuk didengar, sehingga pesan-pesannya lebih mudah diterima. Ibnu al-Qayyim mengilustrasikannya seperti rasa manis yang diletakkan pada obat. Orang tak akan segan meminumnya, sehingga efek obat akan terasa ketika menyentuh titik penyakit yang akan disembuhkannya.

Rasulullah, dalam banyak riwayat disebutkan senang mendengar bacaan Al-Qur`an yang merdu, bahkan menganjurkan untuk memperindah bacaan. Atas dasar itu, para ulama dan qurrâ` (pembaca dan penghafal Al-Qur`an) mencari formula suara bacaan yang merdu, sehingga terciptalah bentuk-bentuk nagham (nada dan irama bacaan) yang dikenal hingga saat ini. Di antara nada dan irama (naghamât) yang sangat populer adalah Bayati, Shaba, Sikah, Jiharkah, Hijaz, Rost dan Nahawand. Adalah Ubaidillah (w. 79 H), putra salah seorang Sahabat Nabi, Abu Bakrah, yang pertama kali membaca Al-Qur’an dengan nada dan irama dalam maqâmât seperti dikenal saat ini.

Dari sekian banyak bentuk nagham, tidak diketahui persis suara indah bacaan generasi pada masa Nabi. Apakah menggunakan nada dan irama/ langgam tertentu, atau tidak. Oleh karenanya, sejak dulu para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan membaca Al-Qur`an dengan lagu. Pertanyaan hukum yang muncul, bagaimana sebenarnya bacaan Nabi Saw dan para Sahabatnya yang dikenal merdu dan indah? Apakah dibolehkan menggunakan lagu dalam bacaan? Keterbatasan transmisi suara bacaan generasi awal Islam, karena belum dikenal alat perekam suara, melahirkan perbedaan pandangan di kalangan ulama.

Bila dengan langgam yang sudah populer saja masih diperdebatkan kebolehannya, lebih-lebih bila menggunakan langgam-langgam baru yang belum dikenal sebelumnya, seperti langgam Jawa, Sunda atau lainnya yang ada di Nusantara. Tak pelak, ketika pada peringatan Isra Miraj di Istana Negara, Jumat, 15 Mei 2015, seorang qari melantunkan bacaan Al-Qur’an dengan cengkok atau langgam Jawa, langkah ini menuai kontroversi. Gagasan ini sebelumnya dilontarkan Menag saat menghadiri Milad ke-18 Bayt Al-Qur`an dan Museum Istiqlal di Jakarta. Ia mengatakan, langgam bacaan Al-Quran khas Nusantara, dengan kekayaan alam dan keragaman etniknya, menarik untuk dikaji dan dikembangkan. Tentu saja dengan tetap memperhatikan kaidah ilmu tajwid.

Sebelum itu, dunia Islam pernah dibuat heboh akibat ulah kreatif putra Indonesia. Avip Priatna,salah seorang konduktor terbaik Indonesia dalam khazanah musik klasik,menggelar konser orkestra “The Symphony of My Life” pada 3 Desember 2011. Dalam konser yang diiringi musik oleh Batavia Madrigal Singers (BMS) dan Paduan Suara Mahasiswa Unika Parahyangan, Avip mengalunkan bacaan QS. Al-Hujurat: 13 yang menjelaskan keragaman suku dan bangsa diiringi irama yang mengharukan dengan dinamika bunyi yang menggetarkan.

Persoalan ini perlu mendapat penjelasan hukum, sebab boleh jadi akan muncul kreativitas baru dalam bacaan Al-Qur`an di bawah semangat melantunkan Al-Qur`an dengan suara merdu. Tulisan ini akan berusaha memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang muncul; 1) Bagaimana sebenarnya bacaan Nabi Saw dan para Sahabatnya yang dikenal merdu dan indah?; 2) Bagaimana sejarah munculnya nagham bacaan Al-Qur`an?; 3) Bagaimana pandangan ulama tentang hukum membaca Al-Qur`an dengan lagu?, dan; 4) Apakah dalam melagukan bacaan dibolehkan menggunakan langgam selain langgam yang sudah populer, seperti langgam Nusantara?

Bacaan Nabi Saw dan Sejarah Naghamât Bacaan Al-Qur`an

Rasulullah adalah panutan dan teladan dalam segala hal yang terkait ibadah, termasuk dalam membaca Al-Qur`an. Bacaan setiap Muslim hendaknya menyerupai bacaan Nabi Saw, sebab beliau menerima langsung Al-Qur`an dari Allah melalui Malaikat Jibril (QS. Al-Syu’ara : 135-139).

Sesuai perintah Allah, bacaan Nabi bersifat tartîl (QS. Al-Muzzammil; 3), yaitu perlahan-lahan dalam melafalkan huruf-huruf Al-Qur`an, sehingga bunyi huruf tersebut keluar dari mulut dengan jelas. Isteri beliau, Aisyah RA, memberi gambaran, huruf-huruf yang keluar mulut beliau seperti bisa dihitung satu per satu. Tujuannya, agar dapat dihafal dan diterima pendengarnya dengan baik. Yang membaca dan mendengarnya pun dapat men-tadabburi makna-maknanya, sehingga ucapan lisan tidak mendahului kerja akal dalam memahami (Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 29/260).

Sahabat Nabi, Anas bin Malik, pernah ditanya tentang bacaan Nabi. Ia menjawab, Nabi biasa memanjangkan huruf-huruf yang perlu dibaca panjang untuk meresapi maknanya (HR. Al-Bukhari). Pada setiap akhir ayat Nabi berhenti.

Nabi pernah ditegur oleh Allah ketika membaca Al-Qur`an cepat-cepat mengikuti bacaan Malikat Jibril.

لَاتُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَبِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَاجَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19) [القيامة: 16 – 19[

Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya (QS. Al-Qiyamah; 16-19). 

Suara bacaan Nabi pun terdengar indah dan merdu. Salah seorang Sahabat, al-Barra Ibn Azib RA, yang pernah mendengar Nabi membaca surah al-Tin dalam salat melaporkan, tidak ada orang yang bisa menandingi keindahan suara bacaan Nabi. Di lain kesempatan, Abdullah Ibn Mughaffal, mengilustrasikan keindahan suara bacaan Nabi ketika melantunkan surah al-Fath mampu membuat unta yang ditungganginya terperanjat. Saat itu Nabi membacanya dengan lembut dan dengan suara mendayu seperti terulang huruf-hurufnya (tarjî`), yaitu melafalkan huruf alif (â) seperti terulang tiga kali (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).  

Meski memiliki suara merdu, Nabi senang mendengar bacaan merdu dari para sahabatnya. Abdullah Ibnu Mas’ud sempat terheran, mengapa Nabi memintanya membacakan Al-Quran, padahal Al-Qur`an diturunkan kepadanya. Dalam mendengar dan membaca Al-Qur`an tidak jarang air mata bercucuran karena merasakan keagungan Tuhan yang menurunkan Al-Qur`an.

Klan Asy`ari adalah salah satu yang dikenal memiliki suara merdu saat itu. Nabi Saw senang mendengar bacaan Abu Musa al-Asy`ari, bahkan memujinya sebagai orang yang diberi ‘seruling’ Nabi Daud, karena keindahan suaranya. Nabi Daud, seperti diriwayatkan Ibnu Abbas, dikenal sering melantunkan pujian dan doa dalam Zabur hingga mencapai tujuh puluh nada dan irama (lahn) secara bervariasi. Demikian pula Umar bin Khattab sering meminta Abu Musa untuk memperdengarkan bacaannya yang  indah. Ia mengatakan, “siapa yang bisa melantunkan Al-Qur`an dengan lagu seperti Abu Musa, lakukanlah”.

Meski banyak para sahabat Nabi diketahui memiliki suara merdu dalam bacaan Al-Qur’an, dan Nabi menganjurkan untuk memperindah bacaan, tetapi tidak diketahui persis nada dan irama bacaan mereka.

Membaca Al-Qur`an dengan suara merdu disebut dengan beberapa istilah, antara lain al-taghannî, al-tarannum, al-tathrîb, al-tarjî`, al-qirâ`atu bil alhân. Sedangkan nada dan irama atau langgam yang biasa digunakan dalam melantunkan bacaan Al-Qur`an disebut nagham (jamak: naghamât). Bentuk atau tingkatannya disebut maqâmât. Yang paling populer, antara lain Bayati, Shaba, Sikah, Jiharkah, Hijaz, Rost dan Nahawand.

Nagham pada hakikatnya adalah paduan berbagai jenis suara yang tersusun sehingga menjadi bunyi yang beraturan. Pencarian manusia terhadap nagham berlangsung lama, dan bersifat alamiah. Orang biasa mendapatkan suara-suara indah dari desiran angin, suara pepohonan, halilintar, kicauan burung, suara binatang dan sebagainya. Angin yang bertiup di sela-sela pepohonan, seperti pohon bambu, melahirkan suara merdu. Dari situ manusia belajar membuat alat musik seperti seruling. Begitu juga, ketika kayu atau bambu ditabuh atau dipukul akan menimbulkan suara, yang lama kelamaan suara itu dibuat semakin beraturan. Demikian pula suara manusia, ketika berbagai jenis suara dipadukan akan melahirkan nada dan irama yang enak didengar.

Oleh karenanya, ilmu seni suara sudah dikenal lama, paling tidak sejak Yunani kuno. Aristoteles, Plato dan pemikir Yunani lainnya telah berbicara tentang itu. Sebelum Nabi Muhammad lahir, orang-orang Arab sudah mengenal kesenian musik yang digunakan untuk mengiringi nyanyian para budak atau pembacaan syair. Tradisi ini terus berlanjut pada masa Islam, tetapi dengan mengalihkan nada  dan irama pada nyanyian dan syair kepada Al-Qur`an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal perkembangan naghamât (lagu) Al-Qur`an pada era selanjutnya. Meski dalam perkembangannya, naghamât (lagu) bacaan Al-Qur`an memiliki karakter yang berbeda dengan lagu pada seni musik biasa.

Jadi, penerapan nagham sebagai unsur estetika dalam bacaan Al-Qur`an sudah tumbuh sejak periode awal Islam. Kendati demikian, sulit untuk melacak seperti apa proses perkembangan nagham tersebut hingga memunculkan berbagai bentuk varian nagham seperti dikenal saat ini. Hal itu disebabkan tidak ada bukti yang dapat dikaji, karena belum ada alat perekam suara.

Dalam buku Jamâl al-Tilâwah fî al-Shawt wa al-Nagham yang diterbitkan oleh Jam`iyyat al-Qur`an al-karîm li al-Tawjîh wa al-Irsyâd, Beirut pada tahun 2012, disebutkan Ubaidillah (w. 79 H), putra salah seorang Sahabat Nabi, Abu Bakrah, adalah yang pertama kali membaca Al-Qur`an dengan nada dan irama dalam maqâmât seperti dikenal saat ini. Selain berprofesi sebagai qâdhî (hakim)di Basrah ia dikenal memiliki suara bacaan Al-Qur`an yang merdu. Kajian tentang nada dan irama Arab dalam bentuk musik dimulai pada permulaan masa dinasti Abbasiyah, dan selanjutnya berkembang sepanjang sejarah di berbagai kawasan wilayah Islam.

Penemuan bentuk-bentuk nagham tersebut tidak terlepas dari penghayataan masyarakat Muslim di beberapa wilayah pada masa awal Islam terhadap pesan-pesan Al-Qur’an. Setiap wilayah memiliki kekhasan, seperti nada bayati yang lahir dari sebuah keluarga al-Bayâti di Irak; Nahawand, sebuah kota di Iran; Hijaz, sebuah kota di jazirah Arab; Rost dan Sika yang berasal dari bahasa Persia. Dari nama-nama tersebut, tidak semuanya berasal dari Arab, sehingga dapat disebut sebagai nada dan irama Arab (luhûn al-Arab).

Langgam tersebut mengekspresikan pesan Al-Qur’an yang ingin disampaikan. Misal, langgam Shabâ, menggambarkan suasana rohani dan emosi yang menggelora, sehingga sangat tepat untuk ayat-ayat azab dan kesedihan. Sebaliknya, langgam Nahawand penuh nuansa kegembiraan, sehingga tepat untuk melantunkan ayat tentang surga dan nikmat karunia Allah lainnya. Dasar penggunaan nagham, seperti kata qari terkemuka asal Mesir, Al-Thablawi, adalah makna, bukan sekadar rasa atau karsa.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, kendati Nabi menganjurkan untuk melantunkan Al-Qur`an dengan suara merdu, tetapi beliau tidak menetapkan bentuk lagu atau nada dan irama tertentu dalam bacaan, sehingga kita tidak dapat berkata lagu bacaan Al-Qur`an bersifat tawqîfiy (ditetapkan). Dengan demikian, varian bacaan terbuka bagi kreatifitas manusia sepanjang sejarah, sesuai dengan perkembangan estetika dan rasa seni manusia.

Hukum Membaca Al-Qur`an dengan Lagu

Para ulama sepanjang sejarah umat Islam (salaf dan khalaf) sepakat, seperti dinyatakan oleh al-Nawawi, tentang kebolehan dan anjuran memperindah suara dalam bacaan Al-Qur`an, dengan memperhatikan unsur tartîl, yaitu ketepatan dalam melafalkan bacaan sesuai dengan ilmu tajwid dan qirâ`at. Bacaan indah dan merdu tentu akan lebih menyentuh dan menambah kekhusyukan dalam hati, serta mendorong akal pikiran untuk mengambil pelajaran.

Mereka juga bersepakat dalam hal larangan membaca Al-Qur`an dengan lagu yang dilantunkan secara berlebihan, sehingga berpotensi merubah kata dan maknanya, seperti membaca pendek huruf yang seharusnya dipanjangkan, atau sebaliknya memendekkan bacaan huruf yang seharusnya dibaca panjang. Lagu bacaan yang berlebihan dan berakibat menambah huruf atau menghilangkannya (al-tamthîth), menurut al-Nawawi, haram hukumnya. Bukan hanya bagi pembacanya, tetapi seperti kata al-Mawardi, juga bagi pendengarnya (al-Tibyân fî Âdâb Hamalatil Qur`ân, h. 107-108).

Bagimana jika bacaan yang menggunakan lagu (lahn) tersebut tidak berlebihan, yaitu tetap memperhatikan kaidah ilmu tajwid dan qirâ`at? Di sini, para ulama berbeda. Ada yang berpandangan makruh hukumnya, bahkan mendekati kepada haram (karâhat tahrîm). Pendapat ini dikemukakan oleh Anas Ibn Malik, Said Ibn al-Musayyab, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Sufyan Ibn Uyaynah, mayoritas ulama mazhab Maliki dan ulama mazhab Hambali (Syarh Shahîh al-Bukhari, Ibn Baththal, 10/258).

Ulama lain dari kalangan Sahabat dan tabi’in, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Atha Ibn Abi Rabah, membolehkan bacaan Al-Qur`an dengan lagu. Imam al-Thahawi menjelaskan, Abu Hanifah dan murid-muridnya biasa mendengarkan Al-Qur`an dilagukan. Demikian pula, Muhammad bin al-Hakam pernah melihat ayahnya, al-Hakam dan Imam Syafi`i sedang mendengar bacaan Al-Qur`an yang menggunakan lagu (Ibnu Bathal, 10/261). Berikut ini argumen para ulama yang melarang dan yang membolehkan.

1. Dalil Ulama yang Melarang

a. Ayat-ayat Al-Qur`an yang menyatakan keadaan orang-orang yang beriman ketika dibacakan Al-Qur`an hati mereka bergetar, iman pun bertambah dan air mata bercucuran.

Allah berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) [الأنفال: 2[

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allahgemetar hatinya, danapabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepadamereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (QS. Al-Anfal; 2)

وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ [المائدة: 83[

Dan apabila mereka mendengarkan apa (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri), seraya berkata, “Ya Tuhan, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur'an dan kenabian Muhammad) (QS. Al-Maidah; 83).

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا [محمد: 24[

Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur'an ataukah hati mereka sudah terkunci? (QS. Muhammad; 24)

Menurut mereka, bacaan Al-Qur`an dengan lagu akan melalaikan pendengarnya dari rasa khusyuk, dan menjauhkan dari pelajaran yang seharusnya dapat dipetik.

b. Hadis Nabi yang diriwayatkan Al-Thabrani, al-Bayhaqi dan al-Hakim al-Turmudzi dari Hudzaifah bin al-Yaman, yang menyatakan:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ بِلُحُونِ الْعَرَبِ وأَصْوَاتِها، وَإِيَّاكُمْ ولُحُونَ أَهْلِ الْكِتَابَيْنِ، وَأَهْلِ الْفسقِ، فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ بَعْدِي قَوْمٌ يُرَجِّعُونَ بِالْقُرْآنِ تَرْجِيعَ الْغِنَاءِ وَالرَّهْبَانِيَّةِ وَالنَّوْحِ، لَايُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، مفتونةٌ قُلُوبُهُمْ، وقلوبُ مَنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنُهُمْ
)الطبراني في المعجم الأوسط،7/183(

Bacalah Al-Qur`an dengan lagu dan suara orang Arab. Hindarilah nada dan irama yang biasa digunakan oleh Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang fasik. Sesungguhnya akan datang suatu saat, setelah aku nanti, kaum yang melagukan bacaan Al-Qur`an seperti lagu, nyanyian gereja dan tangisan sedih. Bacaan yang tidak sampai melebihi kerongkongan. Hati mereka sakit terpedaya, sama halnya dengan hati mereka yang mengaguminya (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu`jam al-Awsath, 7/183).

c. Hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad dari ‘Abis Ibn Abs al-Ghifari yang menceritakan tanda-tanda kedatangan kiamat, antara lain:

يَتَّخِذُونَ الْقُرْآنَ مَزَامِيرَ يُقَدِّمُونَهُ يُغَنِّيهِمْ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْهُمْ فِقْهًا (رواه أحمد في مسنده، 25/ 427(

..... Mereka menjadikan Al-Qur`an sebagai nyanyian. Mereka mendahulukan orang yang melagukan bacaan Al-Qur`an untuk mereka, meskipun orang tersebut tidak lebih alim dalam hal pemahaman keagamaan daripada mereka.  

d. Rasulullah, dalam suatu hadis, dikabarkan pernah melarang seorang muazin untuk menggunakan lagu dalam adzannya. Dalam riwayat Al-Daruquthni dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:

إِنَّ الْأَذَانَ سَهْلٌ سَمْحٌ فَإِنْ كَانَ أَذَانُكَ سَمْحًا سَهْلًا وَإِلَّا فَلَاتُؤَذِّنْ
)سننالدارقطني،2/ 461(

Sesungguhnya azan itu mudah. Kalau suara azanmu itu mudah silakan, bila tidak maka tidak usah azan (Sunan al-Daruquthni, 2/461).

Bila dalam azan saja Nabi melarang untuk mengumandangkannya dengan lagu, apalagi dalam bacaan Al-Qur`an yang mulia.

2. Dalil Ulama yang Membolehkan

Para ulama yang membolehkan bacaan Al-Qur`an dengan lagu, berdalil sebagai berikut:

a. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan al-Nasai dari Abu Hurairah. Rasulullah bersabda:

لَمْ يَأْذَنِ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِيِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالقُرْآنِ»،وَقَالَ صَاحِبٌ لَهُ: يُرِيدُ يَجْهَرُبِهِ

“Allah tidak mengizinkan sesuatu seperti yang pernah diizinkan kepada Nabi (Muhammad) untuk membaca Al-Qur`an dengan lagu”. Yang dimaksud adalah, “lagu bacaan yang dilantunkan dengan suara keras”.

Kata ya`dzan dan adzina dalam hadis, selain bermakna ‘mengizinkan’ juga bermakna ‘mendengarkan’ dan ‘memperhatikan’ (al-istimâ`) (Fath al-Bâri, 9/68). Sedangkan  yataghannâ berasal dari kata al-ghinâ, yang berarti memperbagus suara dengan lagu. Hadis ini secara tegas memuat kebolehan dan anjuran untuk melantunkan bacaan Al-Qur`an dengan lagu.

b. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالقُرْآنِ»،وَزَادَ غَيْرُهُ: «يَجْهَرُبِهِ»
)صحيح البخاري،9/ 154(

“Bukan termasuk golongan kami yang tidak melagukan (bacaan) Al-Qur`an”. Yang lain menambahkan, “membacanya dengan suara keras”.

Ketika ditanya, bagaimana cara melagukannya jika seseorang tidak memiliki suara yang bagus, Ibnu Abi Malikah, salah seorang perawi hadis tersebut, mengatakan, ‘hendaknya ia memperbagus bacaannya semampunya (sekuat tenaga)’. 

c. Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Nasai dari al-Barra RA.

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
)سنن النسائي،2/ 179(

Hiasilah Al-Qur`an dengan suaramu (yang indah)

Selain al-Nasai, hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad (4/283), Abu Daud dan Ibnu Majah dalam kitab al-Sunan, Ibnu Hibban dalam kitab Shahîh-nya (660), dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Hadis ini dinilai sahih oleh ulama, seperti Imam al-Dzahabi dan al-Albani. Yang dimaksud menghiasi Al-Qur`an dengan suara, membacanya dengan suara yang indah. Menghiasinya berarti membacanya dengan bacaan indah yang memiliki nada dan irama yang enak didengar.

d. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abdullah Ibn Mughaffal.

حَدَّثَنَا أَبُو إِيَاسٍ، قَالَ:  سَمِعْتُ عَبْدَاللَّهِ بْنَ مُغَفَّلٍ، قَالَ: «رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ أَوْجَمَلِهِ، وَهِيَ تَسِيرُ بِهِ، وَهُوَ يَقْرَأُ سُورَةَ الفَتْحِ- أَوْ مِنْ سُورَةِ الفَتْحِ – قِرَاءَةً لَيِّنَةً يَقْرَأُ وَهُوَ يُرَجِّعُ»
)صحيح البخاري، 6/ 195(

Abdullah Ibn Mugahffal berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah membaca (Al-Qur`an) di atas kendaraan onta yang sedang berjalan. Beliau membaca surah al-Fath, atau sebagian surah al-Fath, dengan bacaan yang lembut dan (seperti) mengulang-ulang (bacaan karena irama lagu).

Perawi hadis ini, Abdullah Ibn Mughaffal, menjelaskan cara bacaan Nabi yang disebut tarjî` dengan membaca panjang huruf alif sebanyak tiga kali. Menurut Ibn al-Qayyim, ini dilakukan oleh Nabi secara sengaja di saat melantunkannya dengan lagu (Zâd al-Ma`âd, 1/483), bukan terpaksa karena hentakan dan gerakan onta yang dikendarainya, seperti kata al-Qurthubi (Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, 1/15).

e. Hadis Rasul yang diriwayatkan oleh al-Bukhari yang berisikan pujian kepada Abu Musa al-Asy`ari setelah mendengar bacaannya yang merdu.

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ: «يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ»
)صحيح البخاري،6/ 195(

Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah diberi ‘seruling’ (suara merdu) yang pernah diberikan kepada Nabi Daud.

Menurut pakar hadis, al-Khattabi, yang dimaksud Âlu Dâwûd adalah Nabi Daud sendiri, bukan keluarganya, baik anak-anak maupun kerabatnya, sebab tidak ada sumber yang menjelaskan bahwa keluarga Nabi Daud memiliki suara bacaan yang merdu. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi Daud dikenal sering melantunkan pujian dan doa yang terdapat dalam Zabur dengan nada dan irama yang mencapai tujuh puluh varian lagu.

f. Hadis riwayat al-Bukhari dari al-Barra yang menceritakan keindahan suara bacaan Nabi.

حَدَّثَنَا عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ، سَمِعَ البَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " يَقْرَأُ: وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ فِي العِشَاءِ، وَمَا سَمِعْتُ أَحَدًا أَحْسَنَ صَوْتًا مِنْهُ أَوْ قِرَاءَةً "
)صحيح البخاري، 1/ 153(

Al-Barra RA berkata, “Aku pernah mendengar Nabi membaca surah al-Tîn di waktu salat Isya. Sungguh, tidak pernah aku mendengar seseorang yang memiliki suara dan bacaan yang baik dan indah melebihi suara dan bacaan Nabi”.

Menurut pakar hadis, Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis ini menjelaskan tingkatan perbedaan suara bacaan dari segi nagham (nada dan irama) (Fath al-Bâri, 13/136). Tidak ada seorang pun yang mengungguli keindahan bacaan Nabi dari segi lagu.

3. Tinjauan Dalil Yang Melarang dan Yang Membolehkan

Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan, baik oleh yang melarang maupun yang membolehkan, dapat disimpulkan pangkal persoalan yang menimbulkan perbedaan pandangan dalam hal ini adalah ketidakpastian tentang formula suara bacaan yang indah seperti dianjurkan dan dicontohkan oleh Nabi. Yang menolak berpendapat, memperindah bacaan berarti membacanya dengan tartîl dan secara alamiah, tidak dipaksakan dan tidak dibuat-buat dalam bentuk nada dan irama yang disepakati seperti dalam dunia musik.

Hadis al-taghannî bi al-Qur`ân yang dijadikan dalil kebolehan oleh yang mendukung lagu, seperti pada poin  1 dan 2, mereka tolak. Mengutip dari Sufyan bin Uyaynah, lam yataghanna bi al-Qur`ân diartikan tidak merasa cukup dengan Al-Qur`an, sehingga masih membutuhkan yang lainnya. Al-taghannî dalam arti al-istighnâ (tidak merasa cukup) biasa digunakan dalam bahasa Arab klasik. Pengertian ini didukung oleh Waki` Ibn al-Jarrah, dan sepertinya menjadi makna pilihan Imam al-Bukhari, sebab ia mengutipnya setelah menyebutkan hadis tersebut (Shahih al-Bukhari, 6/191), dan mengaitkannya dengan firman Allah :

أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ
]العنكبوت: 51[

Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) yang dibacakan kepada mereka?( QS. Al-Ankabut; 51)

Argumen ini ditolak oleh ulama yang mendukung kebolehan lagu dalam bacaan Al-Qur`an. Meskipun secara bahasa kata al-taghannî bisa diartikan al-istighnâ, tetapi sejumlah hadis turut menjelaskan bahwa yang dimaksud yataghannâ pada hadis tersebut adalah membacanya dengan lagu. Sama halnya dengan ayat-ayat Al-Qur`an, hadis-hadis Nabi saling menafsirkan antara satu dengan lainnya (yufassiru ba`dhuhu ba`dhan).

Dalam satu riwayat dari Imam Muslim, kalimat yataghannâ bi al-Qur`an, didahului dengan kata ‘hasani al-shawt’ (pemilik suara indah), dan ditegaskan pada akhirnya bahwa yang dimaksud dengan yataghannâ bi al-Qur`an adalah yajharu bihi (melantunkannya dengan suara keras).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «مَا أَذِنَ اللهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ، يَجْهَرُ بِهِ»
)صحيحمسلم،1/ 545(.

Dari Abu Hurairah RA, ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Allah tidak mengizinkan sesuatu seperti yang pernah diizinkan kepada Nabi (Muhammad) pemilik suara indah dan merdu untuk membaca Al-Qur`an dengan lagu, dengan mengeraskan suara bacaannya” (HR. Muslim).

Menurut al-Thabari, hadis ini menjadi dalil dan penjelasan yang paling tegas bahwa yang dimaksud adalah membacanya dengan lagu. Kalau benar apa yang dikatakan Ibnu Uyaynah, bahwa yang dimaksud adalah al-istighnâ, maka penyebutan kata hasan al-shawt dan yajharu bihi tidak bermakna apa-apa (Fath al-Bâri, 9/87, Zâd al-Ma`âd, 1/486).

Imam Syafi`i, ketika ditanya tentang pandangan Ibnu Uyaynah di atas, menjawab, “kami lebih mengerti tentang makna dimaksud. Seandainya yang dimaksud al-istighnâ (tidak merasa cukup), maka redaksi hadis tersebut akan berbunyi, lam yastaghni bi al-Qur`an. Tetapi ketika Rasulullah menyatakan, yataghannâ bi al-Qur`ân, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah membacanya dengan lagu” (Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân, Al-Qurthubi, 1/13).

Dalam riwayat yang dikutip oleh pakar hadis, Ibnu Hajar, dari Abu Hurairah, terdapat redaksi “hasani al-tarannum bi al-Qur’ân” (seseorang melagukan bacaan Al-Qur`an dengan baik) (Fath al-Bâri, 9/87) yang semakin mempertegas bahwa yang dimaksud yataghannâ adalah melagukannya.  Dalam al-Sunan al-Kubrâ li al-Bayhaqi, redaksi hadisnya berbunyi:

مَا أَذِنَ اللهُ لِشَيْءٍ إِذْنَهُ لِنَبِيٍّ حَسَنِ التَّرَنُّمِ بِالْقُرْآنِ
)السنن الكبرى للبيهقي، 10/ 386(

Allah tidak memberi izin untuk sesuatu seperti izin yang diberikan kepada Nabi yang pandai melantukan bacaan Al-Qur`an dengan lagu (al-Sunan al-Kubrâ, 10/386)

Selanjutnya, dalam dua hadis yang menjadi dalil larangan membaca dengan lagu, tersirat kesan melantunkan bacaan Al-Qur`an dengan lagu adalah tradisi ahlul kitab dan orang-orang fasik yang tidak perlu ditiru. Meniru mereka berarti akan termasuk golongan mereka (man tasyabbaha biqawmin fahuwa minhum). Seandainya riwayat hadis ini benar tersambung kepada Rasulullah, tentu dapat menjadi pedoman. Tetapi para ulama hadis menilai ketiga hadis tersebut lemah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Hadis yang pertama, diriwayatkan oleh al-Hakim al-Turmudzi dalam Nawâdir al-Ushûl, al-Thabrani dalam al-Mu`jam al-Awsath dan al-Bayhaqi dalam Syu`ab al-Îmân, dengan mata rantai sanad/ periwayatan dari Baqiyyat Ibn al-Walid, dari  al-Hushain al-Fazari, dari Abu Muhammad, dari Huzaifah Ibn al-Yaman. Menurut Imam al-Dzahabi dalam kitab al-Mîzân, ada tiga alasan yang membuat hadis tersebut cacat sehingga tertolak, pertama: Baqiyyat meriwayatkan seorang diri, dan dia tidak bisa dijadikan sandaran; kedua: dari segi redaksi hadis tersebut juga janggal dan tertolak (munkar), dan; ketiga: Abu Muhammad tidak diketahui siapa dia (majhûl) (Al-Mîzân).

Sedangkan pada hadis yang kedua, di antara perawinya terdapat Abu al-Yaqzhân Usman bin Umayr, yang disepakati lemah oleh para ulama hadis, dan Zâdzân yang disangsikan kebenaran akidahnya dan dikenal banyak bicara, sehingga dinilai lemah.

Hal yang sama terjadi pada hadis yang melarang azan dengan menggunakan lagu. Bahkan, salah seorang perawi hadis itu, yaitu Ishaq bin Abi Yahya al-Ka`biy, oleh al-Daruquthni sendiri dinyatakan dha`if, dan oleh pakar kritik hadis, Imam al-Dzahabi, dinyatakan hadis-hadisnya banyak yang munkar (tertolak) (Mîzân al-I`tidâl, 1/205).

Ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh ulama yang melarang lagu dalam bacaan Al-Qur`an, tidak mengandung penegasan menggunakan lagu terlarang. Ayat-ayat tersebut berisikan etika yang harus diperhatikan oleh siapa pun yang membaca Al-Qur`an, baik menggunakan lagu maupun tidak. Al-Qur`an memang untuk dipahami dan dihayati (tadabbur) pesan-pesannya. Penggunaan lagu justru dimaksudkan untuk mendukung tercapainya penghayataan tersebut. Menurut pakar hadis Ibnu Hajar al-Asqalani, jiwa manusia lebih senang dan lebih condong kepada bacaan yang menggunakan lagu daripada yang tidak, sebab lagu akan lebih mudah mengetuk hati, sehingga air mata bercucuran saat dibacakan Al-Qur`an (Fath al-Bâri, 9/88-89).

Berdasarkan tinjauan di atas dapat disimpulkan dalil yang digunakan oleh ulama yang berpandangan boleh menggunakan lagu dalam bacaan Al-Qur`an lebih kuat dibanding dalil yang melarangnya. Seperti disimpulkan oleh ulama hadis, Ibnu Hajar, membaca Al-Qur`an dengan suara merdu itu sangat diperlukan, dan salah satu cara memperbagusnya adalah dengan menggunakan kaidah dalam nagham, dan pada saat yang sama juga memperhatikan kaidah ilmu tajwid dan qira`at. Nagham tidak berarti apa-apa ketika tajwid dilanggar. Tetapi ketika keduanya dapat berjalan beriringan, maka tentu akan menambah keindahan bacaan seperti dianjurkan oleh Nabi (Fath al-Bari, 9/89).

Dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an banyak orang berlomba menulis teksnya (mushaf) dengan khath/kaligrafi (tulisan) yang indah. Bahkan, segala daya dan upaya dilakukan untuk itu. Memperindah bacaan Al-Qur`an dengan lagu tidak kalah pentingnya dengan memperindah tulisan, sebab tujuannya sama, yaitu mengagungkan dan memuliakan Al-Qur`an.

D. Hukum Membaca dengan Langgam Jawa atau Lainnya 

Gagasan dan langkah yang diambil Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menuai kontroversi. Apakah dalam melagukan bacaan dibolehkan menggunakan langgam selain langgam yang sudah populer, seperti langgam Jawa atau lainnya yang berasal dari kawasan Nusantara? Ada yang setuju dan ada yang menolak. Ide ini, konon pernah dilontarkan oleh A. Mukti Ali, Menteri Agama di era tahun tujuh puluhan, tetapi ditentang oleh banyak ulama kemudian tenggelam bersamaan dengan berlalunya waktu. Di Mesir, pada tahun 1958, koran ternama al-Ahrâm memberitakan lima surah dalam Al-Qur`an telah disusun nada dan irama bacaan seperti dalam musik oleh Shaleh Amin, seorang pengawas musik pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada awal tahun 1958, harian al-Akhbâr di Mesir memberitakan seorang musikus, Zakariya Ahmad, akan membuat aransemen baru dalam langgam bacaan Al-Qur`an seperti dalam musik yang selama ini ia tekuni. Gagasan ini tidak berlanjut dan kemudian hilang dengan sendirinya.

Sebelum membahas dalil dari masing-masing yang mendukung dan yang menolak, perlu disepakati pentingnya melihat masalah ini secara obyektif, dari kaca mata hukum syar`i, dan bukan semata emosi. Tidak sedikit, hemat penulis, yang kehilangan obyektifitasnya dan lebih mengedepankan emosi dan reaksi yang berlebihan, terutama dari mereka yang menolak.

Retorika lebih mengemuka ketimbang logika, sehingga kalimat-kalimat yang keluar seperti serangan dan ancaman, bukan ungkapan pikiran. Paling tidak, ini yang penulis lihat, dengar dan rasakan dalam pertemuan ormas-ormas Islam (Front Pembela Islam/FPI, Front Umat Islam/FUI, Forum Betawi Bersatu/FBB, Hizbut Tahrir Indonesia/HTI dan Majelis Mujahidin/MM) dengan Menteri Agama, kamis, 28 Mei 2015, di gedung Kementerian Agama.

Nada serupa dapat dibaca dalam buku kecil yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (FPI) berisikan kumpulan berita dan artikel FPI untuk ganyang liberal, yang diberi judul Ahlussunnah vs Ahlul Fitnah, Membongkar Propaganda JIN (Jaringan Islam Nusantara), Di Balik Baca Al-Qur`an dengan Langgam Jawa. Kecaman terhadap ulama yang mendukung langgam pun mengalir dengan berbagai tuduhan yang tidak sepatutnya dilontarkan kepada ulama, terlepas dari setuju atau tidak dengan pandangan yang dikemukakannya.

Boleh jadi ada yang tidak nyaman dengan langgam tersebut dan marah. Meski itu manusiawi, tetapi tidak sepatutnya kemarahan itu membawa kepada sikap yang tidak sepantasnya dalam menyikapi persoalan khilafiah keagamaan. Sesama Muslim kita diminta untuk selalu berprasangka baik, lebih-lebih kepada ulama yang memiliki kemampuan untuk menimbang berbagai persoalan hukum dalam kerangka ijtihad.

Melihat retorika para penolak langgam Jawa, terdapat banyak faktor yang menambah runyam persoalan ini. Mulai dari persoalan politik, etnik sampai kepada persoalan ‘perang pemikiran’ (al-ghazw al-fikriy), membuat polemik soal langgam semakin ramai, seperti minyak yang ditumpahkan ke dalam api yang sedang membara. Yang tidak ahli pun ikut berbicara, sampai-sampai tidak bisa membedakan antara nagham(nada, irama, langgam), tilawah dan qirâ`at. Oleh karenanya, pada bagian ini, penulis akan membuang jauh-jauh hal-hal yang tidak terkait langsung dengan inti masalah, dan hanya fokus pada argumen syar`i masing-masing pihak yang menolak dan yang mendukung.

1. Dalil Yang Menolak

Mereka yang tidak setuju sebenarnya terbagi dua. Pertama; yang mengikuti pandangan ulama yang mengatakan makruh hukumnya membaca Al-Qur`an dengan lagu atau langgam apa pun, kedua: yang mengatakan boleh menggunakan lagu/langgam, tetapi dibatasi pada langgam-langgam yang sudah populer.

Dalil-dalil kelompok pertama telah dibahas pada bagian terdahulu. Pada bagian ini akan dibahas dalil kelompok kedua yang mengatakan boleh tetapi hanya dengan langgam-langgam yang sudah populer. Dalil mereka antara lain sebagai berikut:

a. Al-Qur`an diturunkan dengan lisan dan bahasa Arab (qur’ânan `arabiyyanbi lisânin `arabiyyin mubîn). Oleh karenanya, membacanya juga harus dengan cara lisan Arab, tidak boleh dengan cara Jawa atau lainnya. Alasan ini juga diperkuat dengan hadis yang telah dikemukakan di atas, “bacalah Al-Qur`an dengan langgam dan suara orang Arab (iqra`û al-qur`âna bi luhûn al-`arabi wa ashwâtihâ).

b. Membaca Al-Qur`an dengan langgam Jawa dianggap mempermainkan dan memperolok (istihzâ) bacaan yang sangat mulia. Allah melarang untuk menjadikan Al-Qur`an sebagai bahan olok-olokan. Dalam dialog antara ormas-ormas Islam dengan Menteri Agama, Ketua FUI, Al-Khattat, menyitir firman Allah yang berbunyi:

كَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى الْمُقْتَسِمِينَ (90) الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْآنَ عِضِينَ (91(

Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang yang memilah-milah (Kitab Allah), (yaitu) orang-orang) yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi (QS. Al-Hijr; 90-91)

Demikian argumen penolakan yang dikemukakan. Hadis yang menyatakan “Bacalah Al-Qur`an dengan langgam dan suara orang Arab (iqra`û al-qur`âna bi luhûn al-`arabi wa ashwâtihâ), jika sahih tentu akan menjadi kata pemutus dan yang harus dipedomani dalam masalah ini. Tetapi, seperti telah dikemukakan terdahulu, hadis ini dha`if, tidak bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya. Seandainya hadis ini benar, pertanyaan selanjutnya, bagaimana langgam dan suara bacaan Arab yang sesungguhnya? Fakta sejarah menunjukkan, jenis-jenis nagham (lagu/langgam) yang populer sekarang ini tidak semua berasal dari Arab, tetapi sebagian dari Persia, dan baru berkembang belakangan, jauh setelah masa Rasul. Seandainya hadis itu benar, maka sejumlah nagham yang populer saat ini, seperti Sikah, Jiharkah, Nahawand dan Rost, tidak boleh digunakan, karena bukan berasal dari Arab.

Oleh karenanya, kita tidak dapat berkata bahwa yang membaca Al-Qur`an dengan langgam selain Arab telah melanggar syariat, karena tidak ada ketentuan syariat dalam hal ini. Sama halnya kita tidak dapat berkata bahwa yang membaca dengan langgam Jawa telah mempermainkan atau memperolok-olok Al-Qur`an (istihzâ). Kita tentu berbaik sangka, seorang Menteri Agama di sebuah negara Muslim terbesar tidak mungkin berani mempermainkan atau melecehkan Al-Qur`an. Terlalu besar pertaruhannya. Kita tidak berhak untuk mengetahui hakikat yang sesungguhnya dari isi hatinya. Hakikat isi hati manusia (al-sarâ`ir) adalah hak prerogatif Allah. Oleh karenanya, Rasulullah murka ketika mengetahui Usamah bin Zaid tetap membunuh orang yang sudah menyerah dan mengucapkan kalimat syahadat, karena Usamah mengira bahwa itu dilakukan sekadar pura-pura untuk menyelamatkan jiwa dan hartanya.

Ayat yang dikutip oleh al-Khattat juga tidak tepat, sebab yang dimaksud ayat itu adalah ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik serta yang sejalan dengan mereka, yang membenarkan sebagian isi Al-Qur`an dan menolak sebagian lainnya. Bahkan, seperti disebutkan dalam beberapa kitab tafsir, orang-orang musyrik membagi-bagi para tokoh mereka, seperti al-walid Ibn al-mughirah, ubah bin al-walid, al-Nadhr Ibn al-Harits dan lainnya, untuk menghadapi Nabi Muhammad dengan tuduhan-tuduhan palsu, seperti mengatakan Al-Qur`an adalah sihir, dongeng, ucapan penyair, ucapan dukun atau orang gila, dan sebagainya. Mereka itulah yang disebut al-muqtasimîn, begitu pula yang sejalan dengan mereka. (Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 14/86).

Memang benar Al-Qur`an menyebut dirinya sebagai qur`ânan `arabiyyan – bilisânin `arabiyyin mubîn, tetapi Arab yang dimaksud pada ungkapan tersebut adalah bahasanya. Al-Qur`an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan fasih; menggunakan huruf, kalimat dan ungkapan yang biasa digunakan oleh masyarakat Arab saat diturunkannya Dengan begitu, Al-Qur`an mudah diterima dan dipahami.

2.Dalil yang Mendukung Langgam Jawa

Mereka yang membolehkan bacaan langgam Jawa atau lainnya, berpegangan pada dalil-dali sebagai berikut;

a. Hadis-hadis Nabi yang membolehkan dan menganjurkan untuk membaca Al-Qur`an dengan suara yang merdu, termasuk dengan lagu/ langgam tertentu, seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu. Dalil-dalil ulama yang membolehkan penggunaan lagu dalam bacaan Al-Qur`an juga menjadi dalil utama yang membolehkan langgam Jawa atau lainnya.

b. Berdasarkan informasi hadis-hadis tersebut, diketahui bahwa Nabi tidak menentukan jenis lagu atau langgam tertentu, dan tidak ada larangan terkait jenis lagu atau langgam tertentu, baik secara tersirat maupun tersurat. Dalam persoalan agama, halal dan haram ditetapkan melalui dalil yang tegas dari Al-Qur`an, atau Sunnah Nabi Saw, atau ijma` ulama. Dalam hal yang tidak ditemukan dalil halal dan haramnya, terutama dalam masalah muamalat, maka hukum asalnya adalah boleh. Dalam kaidah fiqih disebutkan, al-ashlu fil asyyâ`i al-ibâhatu (hukum asal segala sesuatu adalah boleh).

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Abu Darda RA, Rasululllah bersabda:

مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوا مِنَ اللَّهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا، ثُمَّ تَلا هَذِهِ الآيَةَ: {وَمَا كان ربك نسيا} (مسند البزار = البحر الزخار (10/ 26(

Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya itu (jelas) halal. Apa yang diharamkan itu (jelas) haram, dan apa yang didiamkan itu adalah bentuk kemudahan dan toleransi, maka terimalah kemudahan dari Allah itu, sebab Allah tidak mungkin lupa (dengan membiarkan atau mendiamkan itu). Kemudian beliau membaca firman Allah yang berbunyi; Tuhanmu tidak pernah lupa (Musnad al-Bazzar)

Hadis serupa juga diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/375) dan dinilai sahih oleh al-Dzahabi, dan al-Thabrani dalam al-Mu`jam al-Kabîr, yang dinilai hasan(baik) riwayatnya oleh al-Haytsami (Majma` al-Zawâid, 1/171)

c. Membaca Al-Qur`an dengan tartîl, sesuai ketentuan bacaan, dan dengan berbagai varian qirâ`at adalah ibadah, yang harus tunduk pada tata cara membaca yang dicontohkan oleh Nabi. Ketiadaan jenis langgam atau lagu tertentu dari Nabi menunjukkan bahwa persoalan langgam atau lagu adalah bagian dari adat dan kebiasaan yang dikembalikan kepada manusia dengan memperhatikan kondisi setiap orang atau masyarakat.

Pakar hukum Islam, Imam Syathibi dalam kitab al-Muwâfaqât merumuskan sebuah kaidah yang sangat penting:

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي

Hukum asal dalam masalah ibadah bagi seorang mukallaf (Muslim) adalah al-ta`abbud (mencontoh dan mengikuti ketentuan Allah dan Rasulnya), tanpa perlu mencari atau mempertanyakan alasan dan makna di balik penetapannya. Sedangkan hukum asal masalah adat dan kebiasaan (mu’amalât) adalah mencari makna, alasan dan hikmah di balik itu (Al-Muwâfaqât, 2/513).

d. Sebagai bagian dari adat dan kebiasaan, komunitas Muslim di berbagai wilayah memiliki langgam dan lagu yang berbeda-beda dalam membaca Al-Qur`an, karena perbedaan cara melafalkan, meski tidak menyalahi kaidah ilmu tajwid. Muslim Indonesia boleh jadi akan merasa aneh mendengar langgam orang Maroko, Sudan atau negara-negara Afrika lainnya, misalnya, dalam membaca Al-Qur`an, karena memiliki nada dan irama yang khas masing-masing wilayah. Keragamaan bahasa dan cara melafalkannya adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Allah berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ ]الروم: 22[

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (QS. Al-Rum; 22).

e. Langgam adalah bagian dari seni yang mengandung unsur keindahan yang bisa dirasakan oleh akal, fitrah dan jiwa manusia. Keindahan adalah bagian dari al-tahyyibât (hal-hal yang baik) yang dihalalkan oleh Allah Swt. Salah satu misi risalah Nabi Muhammad SAW adalah menghalalkan yang baik-baik (al-thayyibât). Allah berfirman:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
]الأعراف: 157[

(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang beruntung (QS. Al-Araf; 157).

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
]الأعراف: 32[

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui (QS. Al-A’raf; 32).

Demikian beberapa argumen yang membolehkan. Penulis melihat argumen kelompok yang membolehkan lebih kuat daripada yang melarangnya, sehingga cenderung membolehkan dengan beberapa syarat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melantunkan bacaan Al-Qur`an dengan menggunakan langgam selain yang sudah populer, antara lain :

a. Memperhatikan kaidah-kaidah ilmu tajwid, seperti panjang pendek bacaan, makhârijul hurûf, waqaf-ibtidâ`, dan lain sebagainya. Jangan sampai karena terbawa dan terpengaruh langgam, panjang pendek bacaan dan makhârijul hurûf menjadi tidak tepat, sehingga berpotensi mengubah lafal dan merusak arti.

Salah baca karena pengaruh lagu, tercatat pertama kali dilakukan oleh al-Haitsam dan Ibnu A`yun, qari pada abad ke-2 hijriah. Dalam bacaan, keduanya sering terdengar mengubah huruf, seperti limasâkîn menjadi limiskîn,yang berpotensi merubah redaksi  dan merusak arti.

Menurut pakar hadis, Ibnu Hajar al-Asqalani, yang mensyarah kitab Shahîhal-Bukhârî,memperindah bacaan Al-Qur’ansangat dianjurkan. Tetapi hendaknya memperhatikan aturan baca (kaidah tajwid) agar terhindar dari kesalahan. Alasan inilah yang mendasari Lembaga Fatwa Mesir (Dâr al-Iftâ') melarang lantunan Al-Qur`andengan lagu bila ternyata bacaan tersebut tidak sesuai kaidah. Para ulama sepakat, jika bacaan dengan lagu itu melanggar kaidah ilmu tajwid danqira’atmaka tidak diperbolehkan.

وَحَكَى الْمَاوَرْدِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْقِرَاءَةَ بِالْأَلْحَانِ إِذَا انْتَهَتْ إِلَى إِخْرَاجِ بَعْضِ الْأَلْفَاظِ عَنْ مخارجها حرم

Imam al-Mawardi meriwayatkan dari Imam Syafi`i, bacaan dengan lagu, bila dilantunkan secara tidak tepat makhrajnya, hukumnya haram (Fath al-Bari, 9/72).

Fenomena menyimpang karena lagu bacaan, diidentifikasi Mustafa Shadiq Rafi`i, seorang sastrawan pengkaji i`jâzAl-Qur`an asal Mesir, dalam beberapa bentuk; at-Tar’qîsh, yaitu sengaja berhenti pada huruf mati, namun menghentakkan bacaan pada huruf hidup secara tiba-tiba, seakan-akan sedang melompat atau berjalan cepat (meliuk-liuk seperti penari); at-Tahzîn, yaitu membaca dengan mimik atau gaya yang dibuat sedih atau hampir menangis yang bertujuan semata-mata sebagai daya tarik bagi pendengar; at-Tar‘ìd, yaitu mengalunkan suara yang terlalu bergetar sehingga seperti suara orang kedinginan atau kesakitan, dan; At-Tathrîb, yaitu mendendangkan dan melagukan Al-Qur`ansehingga membaca panjang (madd) bukan pada tempatnya, atau menambahnya bila kebetulan pada tempatnya.

b. Memperhatikan adab tilawah, antara lain disertai niat ikhlas karena Allah, menghadirkan kekhusyukan, tadabbur (penuh penghayatan dan pemaknaan/meresapi makna), ta’atstsur dan tajâwub (responsif terhadap pesan ayat yang sedang dibaca), sehingga merasakan kesedihan bahkan menangis saat dibaca ayat-ayat siksa dan kepedihan, misalnya.

c. Tidak berlebihan (isrâf) dan tidak dibuat-buat (takalluf). Dalam segala sesuatu, seperti makan, minum, berpakaian dan sebagainya, Allah melarang manusia untuk berlebihan. Firman-Nya:

يَابَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَاتُسْرِفُوا إِنَّهُ لَايُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
]الأعراف: 31[

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS. Al-A`raf; 31).

Langgam bacaan yang berlebihan dan dibuat-buat akan berpotensi melanggar kaidah-kaidah bacaan (tajwid) dan mengalahkan bacaan untuk kepentingan lagu/ langgam. Imam Nawawi berkata:

أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ تَحْسِينِ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ مَا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ حَدِّ الْقِرَاءَةِ بِالتَّمْطِيطِ فَإِنْ خَرَجَ حَتَّى زَادَ حَرْفًا أَوْ أَخْفَاهُ حَرُمَ

Para ulama sepakat tentang anjuran memperbagus suara bacaan Al-Qur`an, selama bacaan itu tidak keluar batas, dan kalau sampai keluar batas yang berakibat menambah atau mengilangkan/ menyembunyikan huruf maka haram hukumnya.

d. Langgam yang digunakan hendaknya tidak berasal dari lagu atau langgam yang biasa digunakan dalam hal kemaksiatan atau menjauhkan seseorang dari ingatan kepada Yang Mahakuasa.

e. Tidak diringi dengan musik yang dapat mengganggu kekhusyukan pembaca dan atau pendengar, sehingga tujuan membaca Al-Qur`an, yaitu men-tadabburi nya, tidak tercapai. Sebab Al-Qur`an adalah kalamullâh yang harus diperlakukan berbeda dengan kalam lainnya.

Demikian beberapa syarat dan ketentuan yang harus diperhatikan ketika menggunakan langgam Jawa atau Nusantara dalam melantunkan bacaan Al-Qur`an. Ketentuan ini juga berlaku bagi siapa pun yang akan menggunakan langgam apa pun.

Meski dibolehkan, tetapi bacaan langgam Nusantara masih memerlukan waktu panjang untuk bisa diterima semua kalangan, baik di tingkat lokal maupun internasional. Hemat penulis, paling tidak ada dua tantangan yang terkait dengan pengembangan langgam nusantara dalam bacaan Al-Qur`an; pertama; menjadikannya bersifat universal, sehingga akrab di telinga semua orang, dan itu perlu waktu untuk memopulerkannya. Sejauh ini, langgam-langgam Nusantara belum bersifat universal. Berbeda dengan langgam yang sudah populer di dunia lainnya yang bila dibaca oleh Muslim manapun dari seluruh dunia itu akan bisa diresapi. Langgam Nusantara ini masih perlu waktu panjang untuk bisa bersifat universal atau bisa diterima semua pihak,dan pada akhirnya nanti langgam-langgam itu akan terseleksi secara alami.

Kedua; seperti dijelaskan terdahulu, naghamât dalam berbagai bentuk dan tingkatannya yang telah populer itu mampu mengekspresikan pesan-pesan Al-Qur`an, sehingga makna dan lagu bisa beriringan. Lalu bagaimana dengan langgam Nusantara? Apakah nada dalam langgam Nusantara dapat mengekspresikan ragam pesan Al-Qur`an? Dalam langgam Jawa misalnya kita mengenal Kinanthi yang bersifat senang, asih dan kasmaran dan mituturi (memberi pitutur); Asmarandhana menggambarkan tresna, sengsem, sedih (cinta); Dandhanggula berwatak luwes, gembira, indah (biasanya sebagai pembuka lagu dalam langgam Jawa); Pangkur mencerminkan seneng, nepsu (marah), gandrung (kasmaran); Durma yang berwatak nepsu (marah), gereget dan menggambarkan amarah dan semangat perang, dan sebagainya.

Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi para ahli, baik dalam bidang musik maupun Al-Qur`an. Tidak mudah untuk menyelaraskan antara langgam, tajwid dan pesan makna. Yang tak kalah sulitnya juga, membuat langgam tersebut diterima oleh semua kalangan, bukan etnis tertentu saja. Dan pada akhirnya, waktulah yang akan menguji, apakah gagasan ini akan terus berlanjut dan berkembang, atau terkubur dalam perjalanan waktu. Demikian, wallahua`lam. []

 *) Penulis adalah Kepala Lajnah Pentshihan Al-Quran Kementerian Agama Republik Indonesia. Makalah ini disampaikan dan dibagikan secara umum dalam Seminar Nasional ”Kontroversi Tilawah Langgam Nusantara” yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra` Wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) pada 16 Juni 2015 di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar