Kamis, 11 Juni 2015

BamSoet: Jokowi Berjudi dengan Daya Tahan Rakyat



Jokowi Berjudi dengan Daya Tahan Rakyat
Oleh: Bambang Soesatyo

Politik ekonomi Presiden Joko Widodo bisa menjadi bumerang yang meruntuhkan pemerintahannya jika daya tahan rakyat tak mampu lagi memberi toleransi.

Apalagi, beberapa indikator ekonomi memperlihatkan rendahnya kompetensi dan kapabilitas Kabinet Kerja mengaktualisasi dan mengamankan politik ekonomi sang Presiden. Ketika berbicara dalam acara Silaturahmi Pers Nasional di Auditorium TVRI, Jakarta, April lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memaparkan garis besar dari politik ekonomi pemerintahannya.

Dia menegaskan, setiap perubahan besar dalam membangun bangsa memang menyakitkan, bahkan seperti menelan pil pahit. Namun, ini harus dilakukannya walaupun popularitasnya anjlok. Presiden yakin, ketika saatnya tiba, rakyat akan merasakan manfaat dari kebijakan pemerintahannya sebab perekonomian nasional akan lebih kokoh dan kondisi bangsa lebih baik.

Politik ekonomi seperti itu sebuah pertaruhan besar. Sangat jelas bahwa Presiden mengajak dan sekaligus sedang menguji daya tahan rakyat untuk melalui masa-masa sulit akibat kebijakan pemerintahannya. Pertanyaannya, sudahkah Presiden mengukur daya tahan rakyat? Pil pahit atau masa sulit itu kini sedang berproses menuju puncaknya yakni krisis ekonomi.

Benih krisis itu mulai terlihat dan bisa dirasakan langsung oleh hampir semua elemen masyarakat; ibu rumah tangga, pengusaha kecil, maupun para manajer serta para bos besar dari perusahaan-perusahaan terkemuka. Beberapa indikator sektoral menggambarkan tren negatif perekonomian nasional. Indikator yang dipaparkan beberapa asosiasi bisnis memang tidak enak didengar.

Industri automotif sudah mengalami kemerosotan penjualan sampai 20%. Penurunan omzet bisnis sektor perhotelan mencapai 40%. Industri makanan minuman merosot 10%. Sementara kelesuan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) digambarkan sangat parah. Kelesuan di sektor swasta berdampak negatif pada target perolehan pajak tahun ini.

Jika dikaitkan lagi dengan gejala menurunnya konsumsi dalam negeri, hampir bisa dipastikan bahwa target penerimaan pajak 2015 tidak akan tercapai. Kemungkinan lain sulit dihindari adalah langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kelesuan di sektor swasta. Gambaran kelesuan tak hanya terlihat pada sektor swasta. Kinerja pemerintah pun terbilang buruk.

Hingga pekan pertama Juni 2015 penyerapan anggaran diperkirakan baru mencapai 18%. Penyerapan anggaran sebesar itu bisa memberi gambaran tentang lambannya realisasi banyak proyek sepanjang sisa tahun ini. Alih-alih terealisasi, bahkan akan banyak proyek ditunda atau dibatalkan. Konsekuensinya tentu pada target pertumbuhan ekonomi.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu motor pembangunan dan pertumbuhan. Kalau pengelolaan APBN tidak efektif seperti sekarang, akan muncul tafsir bahwa mesin pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sedang rusak parah. Dari tafsir seperti itu, lahir pesimisme. Dan, pesimisme akan mendorong modal keluar dari negara ini karena pemodal tak mau ambil risiko.

Masih ada berita buruk lainnya bagi Presiden Jokowi dan pemerintahannya. Sejak awal Juni 2015 harga aneka komoditas kebutuhan pokok mulai naik. Momentum jelang bulan suci Ramadan selepas paruh pertama Juni 2015 menjadi sentimen pemicu kenaikan harga kebutuhan pokok.

Pada tahap inilah Presiden perlu memperhitungkan daya tahan rakyat menghadapi masa- masa sulit akibat kebijakan dari politik ekonominya. Dengan daya beli yang terus merosot akibat tidak ada kenaikan upah, daya tahan itu bisa goyah. Apalagi jika masih harus menanggung beban lonjakan harga jelang bulan Ramadan hingga Lebaran tahun ini.

Jebakan

Kenaikan harga saat ini bisa dikendalikan jika Presiden mau belajar dari pengalaman. Kenaikan harga jelang Ramadan adalah gejala yang berulang. Kalau pemerintah belajar dari pengalaman, mestinya sudah diterapkan langkah-langkah antisipatif untuk mencegah kenaikan harga itu.

Presiden Jokowi baru-baru ini memastikan bahwa stok pangan selama bulan suci Ramadan dan hari raya Idul Fitri aman dengan harga yang stabil. ”Saya ingin memastikan bahwa stok dan stabilitas harga pangan aman menjelang bulan puasa dan Lebaran,” kata Jokowi.

Tetapi, dengan fakta bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok sudah terjadi, para menteri ekonomi di Kabinet Kerja tampak tidak kompeten dan tidak kapabel. Kalau mengendalikan harga kebutuhan pokok saja tidak mampu, kemampuan para menteri patut pula diragukan dalam mengawal dan mengamankan politik ekonomi Presiden Jokowi.

Kenaikan harga kebutuhan pokok saat ini bukan lagi pahit, melainkan terlalu pahit bagi rakyat kebanyakan. Presiden Jokowi boleh saja mencanangkan perubahan besar bagi masa depan pembangunan bangsa. Semangat dan kemauan keras Presiden patut diapresiasi serta didukung.

Tetapi, pengabdian dari kepemimpinan Presiden Jokowi tidak boleh semata-mata terfokus pada perubahan besar yang ingin diwujudkannya. Sebesar apa pun ambisi Presiden, dia harus tetap peduli pada kebutuhan dasar rakyat; pangan, sandang, dan papan. Siapa pun presidennya, setiap pemerintahan harus melayani dan menyediakan pangan murah, sandang murah, dan papan murah.

Itulah kebutuhan dasar rakyat yang tak pernah boleh ditawar-tawar. Pangan murah atau terjangkau harganya menjadi faktor kunci bagi terwujudnya stabilitas nasional dan ketertiban umum. Dengan politik pangan murah itulah, Orde Baru bisa menjaga stabilitas nasional dalam rentang waktu puluhan tahun.

Presiden Jokowi sebaiknya fokus dan memberi perhatian ekstra pada masalah ini. Sekarang ini pemerintahan Presiden Jokowi sudah memasuki bulan kedelapan. Alih-alih memberi rasa nyaman, pemerintahan Jokowi justru sedang mengakumulasi masalah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Pada level akar rumput, setiap orang mungkin hanya menggerutu karena mahalnya harga kebutuhan pokok. Tetapi, pada level menengah dan atas, mereka sudah menggunjingkan benih-benih krisis ekonomi dengan mengacu pada beberapa indikator tersebut. Belum lagi jika dimasukkan faktor semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Banyak kalangan bahkan mulai mengalkulasi resep apa yang akan digunakan Presiden Jokowi untuk mengakselerasi pembangunan nasional sepanjang enam bulan ke depan. Pemerintah pernah menjanjikan pemberian stimulus ekonomi untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Sayangnya, stimulus itu masih berstatus janji yang tak diketahui kapan akan dipenuhi.

Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi dan para menteri sedang menghadapi perjudian besar yang cukup berbahaya. Dengan harga kebutuhan pokok yang semakin mahal, beban rakyat jelas menjadi sangat berat. Rakyat mungkin tidak mampu lagi untuk memenuhi ajakan Presiden melalui masa-masa sulit sekarang ini.

Maka, patut bagi Presiden memperhitungkan manakala daya tahan rakyat tak mampu lagi memberi toleransi. Perjudian berikutnya adalah pengelolaan APBN 2015. Kalau penyerapan anggaran hingga akhir tahun jauh dari persentase yang ideal, Presiden Jokowi dan Kabinet Kerja akan dinilai tidak kompeten dan tidak kapabel. Alih-alih optimisme, pemerintahan ini hanya memunculkan pesimisme.

Semua selalu berharap keadaan bisa bertambah baik dari hari ke hari. Namun, hari-hari ini keprihatinan dan kecemasan tak bisa lagi ditutup-tutupi karena politik ekonomi Presiden Jokowi justru menciptakan jebakan yang cenderung membahayakan eksistensi pemerintahannya. Dan, disadari atau tidak, Jokowi tampaknya tengah berjudi dengan nasib rakyatnya sendiri. []

Koran SINDO, 9 Juni 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar/ Anggota Komisi III DPR RI dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar