Rabu, 24 Juni 2015

(Ngaji of the Day) Tingkatan dan Hikmah Berpuasa Menurut al-Ghazali



Tingkatan dan Hikmah Berpuasa Menurut al-Ghazali
Oleh: Muhammad Iqbal Mansury

Alhamdulillah Allah subhanahu wata’ala telah memberikan kepada kita kesempatan bertemu kembali dengan bulan Suci nan penuh berkah, bulan yang di dalamnya dijanjikan berbagai pahala ibadah dilipatgandakan dan Allah telah memilih ibadah puasa sebagai ibadah yang diwajibkan selama sebulan penuh ini. Allah telah mengistimewakan ibadah berpuasa dengan berfirman bahwa Dia sendiri yang akan membalas pahalanya.

Dalam sebuah hadits qudsi dikatakan:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول الله سبحانه وتعالى : كل حسنة بعشر أمثالها إلى سبع مئة ضعف إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به. رواه البخاري

Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah subhanahu wata’ala berfirman, ‘Setiap amal kebaikan memiliki balasan pahala sepuluh kali lipatnya sampai tujuh ratus kali lipat kecuali ibadah puasa , karena sesungguhnya puasa itu adalah untukku dan aku yang akan membalaskan pahalanya’." (HR. Bukhari).

Mengenai keistimewaan puasa di sisi Allah ini, Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya " al-Arba'in fii Ushuul al-Diin" menjelaskan bahwa keistimewaan ini tidak lain karena dua hal:

Yang pertama, adalah karena puasa merupakan ibadah yang bersifat individual untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat. Puasa juga merupakan sebuah amal ibadah yang bersifat rahasia, tidak dapat diketahui kecuali hanya Allah dan orang yang melakukan puasa, tidak seperti shalat, zakat dan lain sebagainya.

Yang kedua, adalah puasa sendiri merupakan cara mencegah dan melemahkan musuh Allah, dan seburuk-buruk musuh Allah adalah syaithan. Sesungguhnya syaithan tidak akan menjadi kuat kecuali hanya dengan perantara syahwat hawa nafsu yang mengalahkan manusia. Dalam hal ini rasa lapar dapat mengalahkan syahwat dan hawa nafsu. Nabi pernah bersabda:

إن الشيطان ليجري من ابن آدم مجرى الدم فضيقوا مجرى الدم فضيقوا مجارى الشيطان بالجوع. أخرجه ابن المبارك

"Sesungguhnya syaithan mengalir dari dalam darah Bani Adam seperti mengalirnya darah, maka semptikakanlah tempat mengalir mereka dengan rasa lapar!" Hadits ini menafsirkan hadits yang lain yaitu:

إذا دخل رمضان فتحت أبواب الجنان وغلقت أبواب النيران وصفدت الشياطين ونادى مناد : يا باغي الخير هلم يا باغي الشر أقصر. متفق عليه

Apabila Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga dibukakan dan pintu-pintu neraka dikunci, para syaithan pun diikat. Dan muncul sebuah panggilan, “Wahai orang yg menginginkan kebaikan kemarilah, wahai yang menginginkan keburukan menjauhlah!”

Jikalau pada bulan Ramadhan kita melihat ada sebagian orang melakukan perbuatan maksiat, bukan berarti kita mempermasalahkan hadits yang mengatakan bahwa syaithan pada saat itu telah diikat. Syaithan telah meninggalkan benih-benih hawa nafsu syahwat dalam jiwa manusia, sehingga apabila tidak segera dihentikan akan berdampak buruk pada jiwa manusia sehingga ia melakukan pebuatan maksiat. Berpuasa adalah cara untuk meminimalisirnya dan mencegahnya. Oleh karena itu Imam Ghazali membedakan tingkatan-tingkatan puasa menjadi tiga:

Pertama, puasa orang awwam, yakni berpuasa dengan cara sebatas menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum, akan tetapi tidak menjaga anggota tubuhnya dari hal-hal yang bersifat makruh untuk dilakukan. Secara lahiriah ini cukup disebut berpuasa.

Kedua, puasa khusus, berpuasa dengan cara mencegah dari hal-hal yang membatalkan puasa, juga menjaga anggota tubuh dari melakukakan hal-hal yang makruh dan dosa, seperti menjaga lisan dari berbuat ghibah, menjaga pandangan mata, dan seluruh anggota tubuh yang lainnya.

Ketiga, tingkatan puasa paling tinggi, yakni berpuasanya anggota tubuh dari hal-hal yang membatalkan puasa, hal-hal yang makruh, perkara-perkara syubhat, dan yang tidak kalah penting, menjaga hati dari berpikiran yang macam-macam, rasa waswas, hasud, dan penyakit hati lainnya. Puasa dipenuhi hanya dengan berzikir kepada Allah. Puasa ini adalah puasa khususul khusus (hanya beberapa orang yang dapat melakukannya yang sudah mencapai derajat tinggi dalam tashawwuf).

Menurut Imam al-Ghazali, jika puasa dilihat secara amliyah, puasa Daud (yakni sehari berpuasa, sehari tidak) lebih tinggi tingkatannya daripada puasa lainnya, karena ia tidak dilakukan hanya pada waktu-waktu tertentu. Pelaku puasa Daud menunaikan puasa dalam kesehariannya, sehingga ia terbiasa dan dapat menjaga dirinya dengan mudah dari perbuatan-perbuatan maksiat dan mendapatkan derajat yang dijanjikan oleh Allah, yaitu taqwa.

Oleh karena itu, alfaqir mengajak, marilah kita  semua bermuhasabah diri, apakah puasa kita telah mencapai kesempurnaan dan memiliki pengaruh ke dalam kehidupan kita sehari-hari. akankah seiring bertambahnya umur, dan Bulan Ramadhan yang telah dilewati meningkatkan puasa kita ataukah sama saja. Wallahu a'lam bishawwab. []

Penulis: Muhammad Iqbal Mansury, Casablanca, Maroko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar