Tingkatan dan Hikmah
Berpuasa Menurut al-Ghazali
Oleh: Muhammad Iqbal Mansury
Alhamdulillah Allah subhanahu wata’ala telah
memberikan kepada kita kesempatan bertemu kembali dengan bulan Suci nan penuh
berkah, bulan yang di dalamnya dijanjikan berbagai pahala ibadah
dilipatgandakan dan Allah telah memilih ibadah puasa sebagai ibadah yang
diwajibkan selama sebulan penuh ini. Allah telah mengistimewakan ibadah
berpuasa dengan berfirman bahwa Dia sendiri yang akan membalas pahalanya.
Dalam sebuah hadits qudsi dikatakan:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول الله سبحانه وتعالى : كل حسنة بعشر أمثالها إلى
سبع مئة ضعف إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به. رواه البخاري
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Allah subhanahu wata’ala berfirman, ‘Setiap amal kebaikan memiliki
balasan pahala sepuluh kali lipatnya sampai tujuh ratus kali lipat kecuali
ibadah puasa , karena sesungguhnya puasa itu adalah untukku dan aku yang akan
membalaskan pahalanya’." (HR. Bukhari).
Mengenai keistimewaan puasa di sisi Allah
ini, Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya "
al-Arba'in fii Ushuul al-Diin" menjelaskan bahwa keistimewaan ini tidak
lain karena dua hal:
Yang pertama, adalah karena puasa merupakan
ibadah yang bersifat individual untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat.
Puasa juga merupakan sebuah amal ibadah yang bersifat rahasia, tidak dapat
diketahui kecuali hanya Allah dan orang yang melakukan puasa, tidak seperti
shalat, zakat dan lain sebagainya.
Yang kedua, adalah puasa sendiri merupakan
cara mencegah dan melemahkan musuh Allah, dan seburuk-buruk musuh Allah adalah
syaithan. Sesungguhnya syaithan tidak akan menjadi kuat kecuali hanya dengan
perantara syahwat hawa nafsu yang mengalahkan manusia. Dalam hal ini rasa lapar
dapat mengalahkan syahwat dan hawa nafsu. Nabi pernah bersabda:
إن
الشيطان ليجري من ابن آدم مجرى الدم فضيقوا مجرى الدم فضيقوا مجارى الشيطان
بالجوع. أخرجه ابن المبارك
"Sesungguhnya syaithan mengalir dari
dalam darah Bani Adam seperti mengalirnya darah, maka semptikakanlah tempat
mengalir mereka dengan rasa lapar!" Hadits ini menafsirkan hadits yang
lain yaitu:
إذا
دخل رمضان فتحت أبواب الجنان وغلقت أبواب النيران وصفدت الشياطين ونادى مناد : يا
باغي الخير هلم يا باغي الشر أقصر. متفق عليه
Apabila Ramadhan datang, maka pintu-pintu
surga dibukakan dan pintu-pintu neraka dikunci, para syaithan pun diikat. Dan
muncul sebuah panggilan, “Wahai orang yg menginginkan kebaikan kemarilah, wahai
yang menginginkan keburukan menjauhlah!”
Jikalau pada bulan Ramadhan kita melihat ada
sebagian orang melakukan perbuatan maksiat, bukan berarti kita mempermasalahkan
hadits yang mengatakan bahwa syaithan pada saat itu telah diikat. Syaithan
telah meninggalkan benih-benih hawa nafsu syahwat dalam jiwa manusia, sehingga
apabila tidak segera dihentikan akan berdampak buruk pada jiwa manusia sehingga
ia melakukan pebuatan maksiat. Berpuasa adalah cara untuk meminimalisirnya dan
mencegahnya. Oleh karena itu Imam Ghazali membedakan tingkatan-tingkatan puasa
menjadi tiga:
Pertama, puasa orang awwam, yakni berpuasa
dengan cara sebatas menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan
dan minum, akan tetapi tidak menjaga anggota tubuhnya dari hal-hal yang
bersifat makruh untuk dilakukan. Secara lahiriah ini cukup disebut berpuasa.
Kedua, puasa khusus, berpuasa dengan cara
mencegah dari hal-hal yang membatalkan puasa, juga menjaga anggota tubuh dari
melakukakan hal-hal yang makruh dan dosa, seperti menjaga lisan dari berbuat
ghibah, menjaga pandangan mata, dan seluruh anggota tubuh yang lainnya.
Ketiga, tingkatan puasa paling tinggi, yakni
berpuasanya anggota tubuh dari hal-hal yang membatalkan puasa, hal-hal yang
makruh, perkara-perkara syubhat, dan yang tidak kalah penting, menjaga hati
dari berpikiran yang macam-macam, rasa waswas, hasud, dan penyakit hati
lainnya. Puasa dipenuhi hanya dengan berzikir kepada Allah. Puasa ini adalah
puasa khususul khusus (hanya beberapa orang yang dapat melakukannya yang sudah
mencapai derajat tinggi dalam tashawwuf).
Menurut Imam al-Ghazali, jika puasa dilihat secara
amliyah, puasa Daud (yakni sehari berpuasa, sehari tidak) lebih tinggi
tingkatannya daripada puasa lainnya, karena ia tidak dilakukan hanya pada
waktu-waktu tertentu. Pelaku puasa Daud menunaikan puasa dalam kesehariannya,
sehingga ia terbiasa dan dapat menjaga dirinya dengan mudah dari
perbuatan-perbuatan maksiat dan mendapatkan derajat yang dijanjikan oleh Allah,
yaitu taqwa.
Oleh karena itu, alfaqir mengajak, marilah
kita semua bermuhasabah diri, apakah puasa kita telah mencapai
kesempurnaan dan memiliki pengaruh ke dalam kehidupan kita sehari-hari. akankah
seiring bertambahnya umur, dan Bulan Ramadhan yang telah dilewati meningkatkan
puasa kita ataukah sama saja. Wallahu a'lam bishawwab. []
Penulis: Muhammad Iqbal Mansury, Casablanca,
Maroko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar