Jumat, 12 Juni 2015

Kang Sobary: Presiden Kita Mantu



Presiden Kita Mantu
Oleh: Mohamad Sobary

Rakyat pilek itu soal biasa. Mungkin rumahnya bocor, mungkin kebanjiran, mungkin kehujanan di jalan. Rakyat tak bisa memilih daerah perumahan yang lebih baik.

Pilek, rumah bocor, kebanjiran, kehujanan, semua bagian dari ciri-ciri kehidupan rakyat. Di mana-mana rakyat tak punya pilihan. Kurang makan, kurang vitamin, kurang daya tahan alami, dan perumahan kurang layak untuk dihuni, semua milik rakyat. Apa yang serbagelap dan suram itu ciri hidup rakyat.

Mereka tak bisa memilih yang lebih baik. Dalam puisinya yang berjudul “Kampung”, Wiji Thukul berkata: Orang-orang bergegas/ rebutan sumur umum/ lalu gadis-gadis umur belasan/ keluar kampung menuju pabrik/ pulang petang/ bermata kusut keletihan/ menjalani hidup tanpa pilihan.

Rakyat pilek, flu, demam, lapar, dan kehujanan itu bukan berita. Tapi, kalau Presiden pilek, apa lagi pilek berat dan suaranya terdengar agak sengau, itu berita besar. Kalau Presiden sampai tak bisa melayani permintaan wawancara orang-orang media, itu berita lebih besar lagi. Rakyat mantu, di hari baik dan bulan baik pun bukan berita. Mantu memang urusan besar. Biayanya besar.

Kesibukannya besar. Tapi, bagi rakyat, yang biasa bersikap fleksibel, apa yang besar itu bisa dibikin kecil. Memang bergengsi kalau bisa berpesta di gedung megah. Tapi kalau biaya tak mencukupi, perayaan pesta di masjid pun jadi. Itu juga gedung. Tapi, kalau di masjid masih terasa berat, pesta di rumah tak menjadi soal. Rumahnya hanya kecil? Tidak masalah. Rumah kecil juga rumah.

Rumah kecil tanpa halaman? Minta izin RT atau RW dan lurah, untuk menutup jalan di depan rumah, sudah beres. Jalan yang ditutup itu untuk sementara dianggap halaman. Para saudara, famili atau tetangga, sahabat atau kenalan, jauh atau dekat, bisa datang ke rumah dan turut memberikan doa restu. Pesta pun dengan begitu berjalan dengan baik, penuh kegembiraan, penuh berkah.

Rakyat juga bisa berpesta. Namanya pesta khas milik rakyat. Rakyat pun bisa mantu . Itu peristiwa rutin. Hidup lalu diwarnai suasana pesta. Kita lihat di sini mantu, di sana mantu. Di sini pesta, di sana pun pesta. Semua tanda kehidupan rakyat yang tidak istimewa. Itu tanda keseharian hidup mereka sejak dulu hingga sekarang ini. Juga nanti, di hari depan yang masih belum lagi pasti.

***

Rakyat mantu itu soal biasa. Tapi, Presiden mantu, jelaslah itu peristiwa luar biasa. Keluarga yang menjadi besan Presiden jelas bangga setengah mati. Derajatnya, kewibawaannya, gengsinya, naik secara dadakan. Mungkin keluarga itu sendiri tak pernah mengira bakal menjadi besan Presiden. Anaknya? Dia menjadi menantu Presiden. Mimpi apa dia (semalam) kok bisabisanya menjadi menantu Presiden?

Derajatnya pun naik. Wibawa dan citra hidupnya melejit setinggi langit. Mantu Presiden...! Betapa luar biasanya. Presiden itu setara dengan raja-raja. Bahkan di dalam suatu masyarakat di mana raja dan kerajaan tak lagi terasa relevan secara politik maupun kebudayaan, presiden jelas lebih besar dari raja, lebih berwibawa dari raja dan lebih penting dari raja.

Besan presiden, mantu presiden, dan menjadi keluarga presiden, betapa mulianya. Kalau dalam acara itu sang Presiden menggunakan fasilitas negara, wibawa mereka turut terangkat ke angkasa. Ada presiden yang berpesta di istana kepresidenan. Bahkan bisa saja pesta itu diselenggarakan di dua istana yang berbeda. Bahkan bisa pula di beberapa istana. Anak pertama di istana A, anak kedua di istana B, anak ketiga, keempat, dan lain-lain, di istana yang lain lagi.

Presiden yang menggunakan aji mumpung, akan menggunakan sebesar mungkin fasilitas negara, tak peduli bagaimana susahnya kehidupan rakyatnya. Kalau ada lima istana dan yang bersangkutan memiliki lima anak, apa salahnya lima istana itu digunakan semua?

Bukankah fasilitas itu disediakan negara dan dibenarkan untuk dipakai semuanya? Dan, jika semuanya dinikmati, memangnya apa salahnya? Jika pesta berlangsung seperti zaman dahulu, siapa bakal melarang? Presiden berkuasa. Dan, dia bisa menggunakan kekuasaannya . Pesta tujuh hari tujuh malam apa dosanya?

***

Presiden Jokowi juga akan menyelenggarakan pesta mantu. Tapi, Presiden ini tidak akan menggunakan Istana sebagai fasilitas yang harus dinikmati untuk menyenangkan anak dan menantu serta besannya. Apa kesenangan hanya ada di Istana? Tidak. Di rumah pun kesenangan juga ada. Di gedung biasa, yang biasa disewa orang yang tak berpangkat, ada pula kesenangan.

Mungkin bahkan juga kebahagiaan. Kelihatannya Jokowi ya Jokowi. Presiden atau bukan, tak terlalu dibedakan. Kita tak diberi tahu, dan media pun diam, adakah ini tanda Presiden yang merakyat? Adakah ini tanda kesederhanaan yang tak dipidatokan pada para pejabat bawahannya, tapi dilaksanakan dengan baik sebagai cara hidup bersahaja? Dan, mungkin sebaiknya Presiden Jokowi tak perlu mengatakannya.

Apa gunanya kata-kata, pidato dan pengarahan gaya lama yangtakadajuntrungannya? Bukankah lebih baik dilaksanakan, dan bila ada yang meneladaninya, silakan saja menjadikannya contoh. Bagi Presiden Jokowi mungkin ini bukan zaman pidato, bukan zaman omong besar, tapi zaman memberi teladan nyata biarpun tanpa katakata. Fasilitas negara untuk Presiden tak perlu dan tak harus dinikmati.

Simpan saja di perbendaharaan negara. Biar saja, kalau mungkin, dinikmati rakyat, dengan mekanisme apa pun. Fasilitas negara itu asalnya dari rakyat. Jadi, baik sekali bila yang dari rakyat itu kembali kepada rakyat. Hadiah-hadiah bagi pengantin? KPK sudah memiliki standar aturan yang dilaksanakan dengan baik. Presiden Jokowi tidak bermewah- mewah bukan karena minta dipuji.

Tidak mewah itu sudah merupakan ciri identitasnya. Istrinya tidak menuntut yang bukan-bukan. Lain dari istri para presiden yang lain. Sang suami telah memberinya teladan. Jadi, apa istimewanya presiden kita mantu dan tidak mantu ? Mungkin ada bedanya. Tapi, tak terlalu dibedakan, tak perlu diistimewakan. Presiden kita mantu , sama dengan orang lain mantu . Presiden mantu tak memboroskan fasilitas negara.

Presiden kita mantu membukakan mata dan hati kita bahwa presiden mantu dengan cara bersahaja pernah terjadi. Dan, apa yang pernah terjadi itu mungkin menjadi cermin bagi kita. []

Koran SINDO, 10 Juni 2015
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar