Kala Kartini Berguru
pada Kiai (2)
Kalau membaca surat
surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Raden
Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Surat-surat RA Kartini
yang notabene sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene
merupakan aparat pemerintah kolonial Belanda plus Orientalis itu.
Dalam surat-surat
Kartini beliau sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kiai Sholeh
bin Umar dari Darat, Semarang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai
Sholeh Darat. Alhamdullilah, Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kiai Sholeh Darat,
tergerak menuliskan kisah ini.
Takdir, menurut Ny
Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kiai Sholel Darat. Pertemuan
terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat,
yang juga pamannya.
Kemudian ketika
berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan
diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau
sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik
dengan Mbah Sholeh Darat.
Kiai Sholeh Darat
memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang
pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh
Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang
penceramah.
Ini bisa dipahami
karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu
makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian,
Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kiai Sholeh Darat. Sang
paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil.
Berikut dialog Kartini-Kiai Sholeh.
“Kiai, perkenankan
saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan
ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kiai Sholeh tertegun,
tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kiai Sholeh balik
bertanya.
“Kiai, selama hidupku
baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama
dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar
Kartini.
Kiai Sholeh tertegun.
Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan
buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini
para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa
Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi
manusia?”
Dialog berhenti
sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali
subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan
pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa. []
(Ajie Najmuddin/dari
berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar